Kehadiran Tjitarum sebagai toko bolu dan kue bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan. Namun simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Ayo Biz

Bernapas Budaya, Tjitarum Menyulam Rasa dan Cerita Jawa Barat dalam Setiap Gigitan

Senin 01 Des 2025, 21:40 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Bandung, kota yang selalu identik dengan kreativitas dan kuliner, kembali menorehkan babak baru dalam dunia oleh-oleh. Kehadiran Tjitarum, toko bolu dan kue di bawah naungan PT Hidangan Kota Kembang, di Jl. Van Deventer, bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan.

Destinasi kuliner ini kini hadir sebagai simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. Di balik etalase kue yang tampak sederhana, tersimpan ambisi besar yakni menjadikan rasa sebagai medium untuk menjaga identitas Jawa Barat.

Nama Tjitarum dipilih dengan penuh makna. Terinspirasi dari Sungai Citarum yang menjadi nadi kehidupan Jawa Barat, brand ini ingin mengalirkan cerita dari hulu ke hilir, dari sejarah ke masa kini.

Sungai yang pernah menjadi saksi peradaban Sunda kini dihidupkan kembali dalam bentuk kuliner. Filosofi ini menjadikan Tjitarum lebih dari sekadar toko, melainkan simbol perjalanan rasa dan budaya yang bisa dibawa pulang oleh siapa pun.

Kehadiran Tjitarum sebagai toko bolu dan kue bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan. Namun simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Masih satu keluarga dengan Tji Laki 9, brand yang lebih dulu dikenal dengan bolu pisang bernuansa nostalgia, Tjitarum hadir membawa napas baru. Jika Tji Laki 9 adalah pintu ke masa lalu Bandung, maka Tjitarum adalah jendela ke masa depan Jawa Barat, di mana lebih luas, lebih beragam, lebih berani.

“Lewat Tji Laki 9 dan Tjitarum, kami berusaha mengembalikan makna bahwa oleh-oleh Bandung seharusnya mencerminkan Bandung itu sendiri: kota dengan sejarah panjang, cita rasa khas, dan karakter desain yang otentik,” ujar Hedi Rusdian, Brand Owner Tjitarum saat ditemui Ayobandung.

Komitmen itu tampak jelas dalam tagline “Ngamumule Rasa, Ngahargaan Carita”. Bukan sekadar slogan, melainkan manifesto untuk melestarikan rasa yang akrab di lidah, sekaligus menghargai cerita yang melekat di setiap detail budaya. Filosofi ini menegaskan bahwa oleh-oleh bukan hanya soal makanan, melainkan tentang membawa pulang identitas sebuah daerah.

Produk-produk Tjitarum bukan hanya kudapan, melainkan medium narasi. Dari Bolu Labu Lapis, Bolu Gulung dengan varian pandan, ketan hitam, peyeum kalapa, hingga nanas, brownies, pie susu, bagelen, dan kue kering, semuanya dirancang untuk menghadirkan rasa yang familiar sekaligus segar. Setiap produk adalah jembatan antara tradisi dan inovasi, antara nostalgia dan relevansi masa kini.

Kehadiran Tjitarum sebagai toko bolu dan kue bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan. Namun simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

“Familiaritas menjadi kunci kami. Jadi jangan sampai kayak begitu pengunjung datang kayak ‘aku mah gak ngerti sama rasanya’ karena ini asing gitu rasanya. Walaupun dia tumbuh di Jawa Barat, misalnya. Dan tentu kita gak ke sana,” tegas Hedi.

Dengan menghadirkan rasa yang sudah akrab di meja keluarga, Tjitarum, kata Kedi, memastikan setiap orang merasa dekat dengan Jawa Barat. Inovasi hadir tanpa kehilangan akar. Bagelen yang biasanya bulat kini dibuat kotak, bolu klasik diberi sentuhan labu.

Pembaruan ini bukan sekadar estetika, melainkan cara Tjitarum menjaga relevansi di tengah selera generasi baru. Produk klasik diberi wajah baru, sehingga tetap bisa diterima lintas generasi. Lebih dari rasa, Hedi ingin menegaskan bahwa Tjitarum juga menaruh perhatian besar pada kemasan.

“Misalnya ketika proses penemuan warna kemasan ini tuh beneran sangat kompleks kayak emang dicelup-celup sampai akhirnya bisa mencapai warna yang sesuai dengan nilai kami,” jelas Hedi.

Kehadiran Tjitarum sebagai toko bolu dan kue bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan. Namun simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Kemasan ini pun, lanjut Hedi, menjadi ruang ekspresi budaya, bukan sekadar wadah. Detail ini menunjukkan betapa seriusnya Tjitarum dalam menghadirkan nilai budaya hingga ke lapisan paling kecil.

“Bahkan sebetulnya yang menarik adalah ketika tanaman tarung yang digunakan untuk pewarnaan kemasan ini warna awalnya itu ungu, tapi dia dengan proses sedemikian rupa bisa menghasilkan degradasi warna seperti ini,” lanjutnya.

Hedi menerangkan, kemasan yang mereka usung bbukan sekadar wadah, melainkan kanvas budaya. Ikon burung bangau dari batik Ciwaringin, misalnya, diangkat sebagai simbol. Batik ini erat dengan tradisi santri, sehingga setiap produk membawa lapisan makna spiritual dan sosial.

“Jadi memang pemilihan ikon-ikon di kemasan biar nanti juga ketika kita lagi mengembangkan produk, dari setiap ikon ini bisa dipanjangin storytelling dan value di dalamnya,” ujar Hedi.

Kehadiran Tjitarum sebagai toko bolu dan kue bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan. Namun simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Dengan pendekatan ini, Tjitarum menjadikan oleh-oleh sebagai artefak budaya. Setiap bolu, setiap bagelen, setiap kue kering bukan hanya kudapan, melainkan cerita yang bisa dibawa pulang. Pelanggan tidak hanya membeli makanan, tetapi juga membawa pulang potongan narasi Jawa Barat.

Tjitarum juga membuka ruang bagi pengunjung untuk mencicipi bolu slice di tempat. Meski bukan café, pengalaman icip-icip ini menjadi cara untuk merasakan langsung narasi rasa sebelum dibawa pulang. Namun, Hedi menegaskan, Tjitarum tetap toko oleh-oleh, bukan tempat nongkrong.

“Jadi misalnya nanti datang customer beli oleh-olehnya tapi juga pengen nyoba yang potongannya bisa,” jelas Hedi.

Optimisme menjadi bahan bakar lahirnya Tjitarum. Antusiasme besar terhadap Tji Laki 9 mendorong ekspansi. “Kalau kemarin Tji Laki 9 itu Bandung dan romantismenya dan nostalgic-nya. Nah, kalau Tjitarum versi lebih gede, lebih luas, lebih ke Jawa Barat. Terus lebih dalam lagi gitu narasinya,” ungkap Hedi.

Kehadiran Tjitarum sebagai toko bolu dan kue bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan. Namun simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Dengan ruang yang lebih besar, Tjitarum bisa menghadirkan produk lebih beragam tanpa kehilangan fokus. Filosofinya sederhana yakni menghadirkan rasa yang familiar, agar setiap orang merasa dekat dengan Jawa Barat. Familiaritas ini menjadi jembatan antara tradisi dan pasar modern.

Produk-produk seperti kastengel dan lidah kucing, yang biasa hadir di meja keluarga saat Lebaran, kini dikemas ulang dengan sentuhan khas Tjitarum. Familiaritas ini membuat produk mudah diterima lintas generasi, sekaligus memperkuat posisi Tjitarum sebagai toko oleh-oleh yang relevan.

Data dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat menunjukkan bahwa kuliner tradisional menjadi salah satu daya tarik utama wisatawan, dengan kontribusi signifikan terhadap kunjungan domestik dan mancanegara. Kehadiran Tjitarum memperkuat ekosistem ini dengan menawarkan produk yang bukan hanya lezat, tetapi juga sarat makna budaya.

Sementara itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI menekankan pentingnya gastronomi sebagai bagian dari strategi pariwisata berkelanjutan. Tjitarum hadir sejalan dengan visi ini: menjadikan kuliner bukan hanya konsumsi, tetapi juga atraksi budaya.

Kehadiran Tjitarum sebagai toko bolu dan kue bukan sekadar membuka ruang baru bagi wisatawan untuk membeli buah tangan. Namun simbol bagaimana kuliner bisa menjadi bahasa pelestarian budaya. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)

Badan Pangan Nasional mencatat bahwa Jawa Barat termasuk wilayah dengan ketersediaan pangan olahan yang stabil, sehingga memberi ruang bagi UMKM seperti Tjitarum untuk berinovasi tanpa khawatir pada pasokan bahan baku. Stabilitas ini menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan usaha kuliner.

Dengan dukungan ekosistem kuliner yang kuat, Tjitarum tidak hanya menjadi toko oleh-oleh, tetapi juga bagian dari gerakan pelestarian budaya. Ia menjembatani masa lalu dan masa kini, tradisi dan inovasi, lokal dan global.

“Justru kita pengen dengan produk yang familiar ini orang pasti menerima, orang pasti kayak langsung suka, termasuk kita bawanya di cerita-cerita di packagingnya,” pungkas Hedi.

Alternatif oleh-oleh khas Bandung atau Jawa barat dan produk serupa:

  1. https://s.shopee.co.id/9pWvg0nzZe
  2. https://s.shopee.co.id/30gbXTVXph
  3. https://s.shopee.co.id/8fKyHuvPoz
  4. https://s.shopee.co.id/1qUe9POTnw
  5. https://s.shopee.co.id/9zqLsU5JhW
Tags:
Tji Laki 9pelestarian budayawisatawantoko bolu dan kueTjitarum

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor