Salah satu driver ojol menunggu orderan di pinggir jalan. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Ayo Jelajah

Nestapa Ojol di Bandung saat 'Ngalong'

Selasa 20 Mei 2025, 17:54 WIB

AYOBANDUNG.ID — Jam menunjukkan pukul 10 malam, menandakan waktu istirahat tiba. Tapi deru motor Dadan (38) mulai dinyalakan, bersiap mencari orderan. Dia adalah pekerja ojek online (ojol) yang kerap on bid tengah malam alias ngalong.

Ditemui di Jalan PHH Mustofa, Kota Bandung, Dadan menuturkan alasannya kerja lebih dari 12 jam, waktu kerja yang kerap dikeluhkan para pekerja. Namun ia tetap semangat menembus gelapnya malam.

Hanya satu alasan yang membuat seperti itu: demi keluarga di rumah. Hidup serba keterbatasan membuatnya harus kerja lebih ekstra. Tanpa ngalong, ia mampu mengumpulkan uang hingga Rp150 ribu. Angka ini belum dipotong oleh uang bensin, rokok, dan makan.

“Kalau enggak ngalong ya segituan, paling bersihnya Rp70–50 ribu. Uang segitu mana cukup. Tapi ya disyukuri aja,” ungkapnya, Senin, 19 Mei 2025 malam.

Anaknya kini baru berusia tiga tahun. Keluarga kecilnya tinggal di sebuah kontrakan di kawasan Cicaheum. Paginya ia berangkat mengojek, sorenya pulang untuk istirahat sejenak. Malamnya, dia kembali mencari orderan.

Dadan bekerja di malam hari untuk menambah pundi-pundi rupiah. Rata-rata ia bisa mendapatkan Rp100 ribu pada malam hari. Dalam seminggu, ia bisa ngalong 3–4 hari. Pepatah “tidak ada hasil yang mengkhianati usaha” ia genggam.

“Kadang narik dari subuh sampai tengah malam, dapat bersih cuma Rp100 ribu. Itu belum dipotong bensin,” ucapnya di atas motor Honda Beat.

Dadan sudah sembilan tahun bekerja sebagai ojol. Ia mengaku makin berat memenuhi kebutuhan rumah tangga. Apalagi soal potongan aplikasi saat ini mencapai 20–30 persen dari tarif.

“Ya gimana ya, kita udah kayak mesin buat aplikator. Narik banyak, dapat sedikit,” keluhnya.

Dalam benaknya, ia ingin mengikuti aksi unjuk rasa ojol di Jakarta. Namun keadaan memaksanya untuk tetap mencari nafkah. Jika dirinya berangkat ke Jakarta, esoknya, keluarganya akan kesulitan untuk makan. Ibaratnya, Dadan bekerja agar besok bisa hidup.

Tak hanya itu, pria berjaket ojol itu juga meminta revisi tarif penumpang serta penghapusan program-program yang dianggap merugikan seperti hemat dan prioritas. Program tersebut dinilai menurunkan tarif dengan dalih promosi, tetapi tidak menguntungkan pengemudi sama sekali.

Dadan berkata, mencari orderan di malam hari dibayangi dengan berbagai ancaman. Mulai dari begal, kecelakaan, hingga penyakit. Risiko itu ia tanggung sendiri.

“Ya gimana lagi, demi anak istri jadi harus berani,” ucapnya.

Sehingga ketika ngalong, dirinya memakai jaket yang tebal agar tidak masuk angin dan penyakit lainnya.

Isu kesejahteraan pengemudi ojol bukan barang baru. Sejak 2017, ketika aplikasi ojek online mulai menjamur, nasib para pengemudi kerap luput dari perhatian negara. Sebagai pekerja informal, mereka tak punya perlindungan hukum kuat, tak ada jaminan kesehatan, apalagi upah minimum.

“Kalau sakit, ya berhenti. Kalau motor rusak, pinjam ke teman. Kita enggak punya jaminan apa-apa,” ujar Suryadi (48), pengemudi ojol asal Kiaracondong yang memiliki tiga anak. “Kadang saya sedih, ngasih makan keluarga dari uang yang udah kepotong ini-itu, tinggal sisa sedikit.”

Suryadi memang jarang bekerja begadang. Itu ia lakukan hanya di hari Sabtu. Sebab di hari Minggu biasanya ia memutuskan untuk libur, mengistirahatkan tubuh dan kuda besinya.

“Udah tua jadi ngerasa harus ada waktu istirahat aja, enggak sefit dulu,” ucapnya.

Biasanya ia berangkat pukul 6 pagi sembari mengantar buah hatinya pergi sekolah. Setelah 10 jam lebih bekerja, ia baru pulang ke rumah.

“Seharinya biasanya 12 jaman. Dapatnya paling Rp120–150 ribu. Kalau rame ya bisa sampai Rp250 ribu karena saya pakai tiga aplikasi. Tapi ya itu masih itung-itungan kotor,” akunya.

Sementara itu, Himpunan Driver Bandung Raya (yang menaungi pengemudi ojek dan taksi online) tidak menggelar aksi secara masif. Keputusan apakah akan mematikan aplikasi atau tidak diserahkan kepada driver.

“Untuk Bandung kembalikan ke driver, ke individunya masing-masing mau mematikan boleh karena sakit atau lainnya, atau tetap menyalakan karena anak harus jajan, menafkahi, dan sebagainya,” kata Ketua Himpunan Driver Bandung Raya, Restu Iyan, saat dikonfirmasi wartawan.

Restu juga menegaskan bahwa komunitas driver di Bandung mendukung aksi tersebut dan menginginkan agar tidak terjadi perselisihan di antara pengemudi, baik yang ikut aksi maupun yang tetap bekerja.

“Kalau Bandung mengapresiasi teman-teman aksi di tanggal 20, sangat mengapresiasi dan mendukung. Bagi teman-teman mau bekerja on bid silakan, tidak boleh gontok-gontokan,” kata dia.

Menurut Restu, akar masalah potongan dari aplikator terhadap para mitra berasal dari tidak adanya ketegasan pemerintah dalam menerapkan aturan.

Ia menyoroti kehadiran aplikator pesaing seperti InDrive dan Maxim yang menawarkan tarif rendah, sehingga Grab dan Gojek ikut menurunkan tarif demi menjaga daya saing.

“Karena ketegasan awal sanksi yang diberikan ke aplikator yang tidak mau mengikuti aturan pemerintah, sanksinya enggak ada. Enggak ada sanksi tegas,” kata dia.

Dia bilang, potongan 20 persen dari aplikator disebutnya tidak terlalu menjadi masalah. Lalu, ucapnya, masih ada driver yang belum mengetahui adanya potongan itu dipotong dari konsumen.

“Kalau potongan 20 persen enggak jadi masalah, jangan sampai 20 persen di-up lagi. Pembebanan bukan ke driver tapi potongan customer. Driver enggak banyak tahu, seolah-olah kepangkas besar,” bebernya.

Restu menyebut, dana yang dipotong itu dikembalikan kembali ke driver melalui beberapa program seperti sembako murah dan lainnya.

Tags:
ojek onlineojol

Gilang Fathu Romadhan

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor