AYOBANDUNG.ID - Pasar Baru Bandung bukan sekadar tempat belanja kain murah dan oleh-oleh khas Tanah Sunda. Di balik gegap gempita tawar-menawar dan kepulan asap dari pedagang makanan kaki lima, pasar yang kini berdiri megah di pusat kota itu menyimpan cerita panjang soal kota, konflik, dan perubahan wajah ekonomi Bandung sejak abad ke-19.
Tak banyak warga Bandung tahu bahwa pasar ini lahir dari tragedi berdarah. Kisah berdirinya Pasar Baru bermula dari kehancuran pasar lama di kawasan Ciguriang. Lokasi ini sekarang dikenal sebagai sekitaran Jalan Kepatihan, yang dulu menjadi pusat niaga warga Bandung. Namun, pada akhir 1842, kawasan itu luluh lantak oleh kobaran api.
Pemicunya adalah seorang pria keturunan Tionghoa Muslim asal Kudus bernama Munada. Ia bekerja pada Nagel, Asisten Residen Bandung. Dalam buku Menguak Pasar Tradisional Indonesia (2012), disebutkan bahwa Munada diberi amanah mengelola anggaran untuk pengadaan angkutan kereta. Namun ia menyalahgunakan kepercayaan tersebut—uang negara digunakan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, ia dipenjara oleh Nagel.
Dendam pun membara. Munada membalas perlakuan itu dengan menggalang dukungan dari beberapa orang, termasuk Raden Naranata, seorang priyayi yang juga punya masalah pribadi dengan penguasa kolonial. Mereka membakar Pasar Ciguriang. Aksi itu bukan hanya menghanguskan pusat perdagangan, tetapi juga memicu kekacauan besar yang menyebar hingga kawasan Alun-alun, Jalan Raya Pos, Pangeran Sumedangweg (kini Jalan Otto Iskandardinata), hingga ke Babatan dan Jalan ABC.
Dalam tulisannya Babah Liem Siang alias Munada, Atep Kurnia menukil pendapat Edi S. Ekadjati dan Aam Masduki dalam Wawacan Carios Munada (1993: 4), yang menyebut ada empat naskah penting berkaitan dengan sosok Munada. Keempatnya adalah Wawacan Carios Munada, Sajarah Timbanganten, Kitab Pancakaki, dan Babad Adipati Aria Martanagara. Munada, digambarkan sebagai seorang mualaf Tionghoa, sempat dipercaya Asisten Residen Nagel dalam proyek pengadaan kereta. Kepercayaan itu ia khianati.
Dalam naskah kuno Wawacan Carios Munada, yang kini menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, disebut bahwa kerusuhan besar ini berpuncak pada tanggal 30 Desember 1842. Dalam teks yang ditulis Mas Kartadinata berdasarkan wawancara dengan saksi-saksi hidup saat itu, disebutkan Munada bukan sekadar pelaku pembakaran, tapi juga pembunuh Nagel. Dalam Kitab Pancakaki (Cod. Or. 6499), yang ditulis Raden Natadimaja di Sumedang, peristiwa pembunuhan Nagel disebut terjadi pada 28 Desember 1845.
Tragedi itu membuat para pedagang tercerai-berai. Sebagai langkah penanganan, pemerintah Hindia Belanda membuka area baru untuk para pedagang pada 1844, di sisi barat kawasan Pecinan. Di sinilah cikal bakal Pasar Baru Bandung berdiri.
Pasar Terbersih di Hindia Belanda
Walau lahir dari kekacauan, Pasar Baru berkembang menjadi titik vital ekonomi lokal. Letaknya strategis, dekat dengan Stasiun Bandung yang baru beroperasi beberapa dekade kemudian, membuatnya kian ramai dan mudah diakses oleh pedagang maupun pembeli dari luar kota.
Berdasarkan catatan sejarawan A. Sobana Hardjasaputra, keputusan memindahkan pusat perdagangan ke tempat itu juga didorong oleh kedekatan dengan jalur logistik dan mobilitas warga. Aktivitas ekonomi di kawasan tersebut bahkan sudah terlihat sebelum penetapan resmi sebagai pasar.
Beberapa pengusaha dari masa itu kini diabadikan sebagai nama jalan di sekitar pasar, jejak yang menunjukkan peran mereka dalam menghidupkan denyut perdagangan kota ini.
Perkembangan besar Pasar Baru terjadi pada 1926 saat pemerintah kolonial memperluas kawasan pasar. Kompleks pertokoan dibangun lebih tertata, dan dua pos penjagaan bergaya arsitektur khas—atap diagonal dari bahan mirip ebonit—didirikan untuk mengapit jalan masuk utama. Estetika dan keteraturan ini mengantar Pasar Baru meraih predikat “Pasar Terbersih se-Hindia Belanda” pada 1935.
Zaman berganti. Modernisasi mulai menggusur wajah-wajah lama. Pada 1970, dilakukan perombakan besar-besaran. Pos-pos khas itu hilang, digantikan bangunan semi permanen dengan deretan toko di depan dan los-los pedagang di belakang. Aroma kolonial perlahan sirna, diganti suasana khas pasar tradisional yang padat, ramai, dan apa adanya.
Puncak transformasi datang pada awal abad ke-21. Pemerintah Kota Bandung memutuskan membangun ulang seluruh kompleks menjadi pasar modern berkonsep trade center. Proyek dimulai pada 2001 dan rampung dua tahun kemudian. Wajah Pasar Baru berubah total: menjulang hingga delapan lantai, lengkap dengan eskalator, area parkir, dan sistem keamanan yang lebih tertib.
Tapi satu hal yang tetap tinggal: semangat niaga yang membumi. Di balik etalase modern, masih ada semangat ribuan pedagang kecil yang mewarisi denyut sejarah panjang pasar ini, dari puing-puing kerusuhan ke arus deras perdagangan kota.
Kini, Pasar Baru bukan hanya menjadi saksi perputaran rupiah harian, tapi juga saksi hidup tentang bagaimana kota ini menata kembali dirinya usai terbakar oleh amarah dan pengkhianatan, lalu bangkit menjadi simbol perniagaan yang terus bertahan menghadapi zaman.