Soldatenkaffee Bandung. (Sumber: Amusing Planet.)

Ayo Jelajah

Hikayat Soldatenkaffee Bandung, Kafe NAZI yang Bikin Heboh Sekolong Jagat

Jumat 17 Okt 2025, 14:08 WIB

AYOBANDUNG.ID - Di sebuah sudut Jalan Cikawao, Bandung, pernah berdiri kafe dengan interior merah menyala dan foto besar Adolf Hitler di dindingnya. Namanya Soldatenkaffee. Di luar negeri, nama itu identik dengan kafe-kafe tempat nongkrong tentara Jerman pada masa pendudukan NAZI di Eropa. D Bandung, nama itu tiba-tiba menjadi bahan berita internasional.

Tidak ada yang istimewa sebetulnya. Kafe itu berdiri sejak 2011, dimiliki oleh seorang pengusaha lokal bernama Henry Mulyana. Ia seorang kolektor memorabilia perang, terutama dari era Perang Dunia II. Di ruang tamunya dulu, sebelum ada kafe, sudah ada helm baja, seragam militer, lencana, dan bahkan replika senjata dari era itu. Ia suka cerita perang, katanya. Ia kagum pada strategi militer dan disiplin Jerman.

Tapi yang terjadi setelah kafe itu buka, tidak ada yang menduga.

Di dalam Soldatenkaffee, dinding-dindingnya penuh poster propaganda NAZI, bendera dengan swastika tergantung di atas pintu, dan sebuah potret besar Hitler menatap tamu yang baru masuk. Para pelayan mengenakan seragam mirip tentara Wehrmacht, lengkap dengan topi dan simbol elang Reich. Menu makanannya pun bermain-main dengan tema itu: Nazi Goreng, Gestapo Burger, Himmler Cocktail. Sebuah ironi yang tidak disadari banyak orang di sana.

Di Bandung, kafe ini sempat dianggap biasa saja, sekadar kafe tematik, seperti kafe bertema Harry Potter atau steampunk. Tapi bagi orang luar, terutama di Eropa dan Amerika, tempat seperti itu adalah mimpi buruk sejarah yang dihidupkan kembali.

Segalanya berubah pada pertengahan 2013.

Seorang jurnalis dari Associated Press datang ke Bandung dan tanpa sengaja menemukan kafe itu. Ia mengambil foto interiornya, menulis laporan singkat, dan mengirimkannya ke redaksi. Dalam hitungan jam, foto-foto itu menyebar ke seluruh dunia. Al Jazeera, The Guardian, CBS News, semuanya memuat kisah yang sama: “Ada kafe bertema NAZI di Indonesia.”

Dalam waktu sehari, Soldatenkaffee berubah dari tempat nongkrong mahasiswa menjadi pusat kemarahan global.

Kemarahan itu datang dari banyak arah. Pusat Simon Wiesenthal, organisasi pemburu penjahat perang NAZI, menyebut kafe itu penghinaan terhadap korban Holocaust. Mereka menuntut agar pemerintah Indonesia segera menutupnya. Media internasional menyorotnya sebagai contoh kebodohan sejarah di Asia Tenggara.

Enam juta orang Yahudi dibunuh oleh NAZI. Swastika bukan sekadar tanda sejarah, tapi simbol genosida. Di Eropa, menampilkan simbol itu di ruang publik bahkan bisa berujung penjara. Tapi di Bandung, simbol itu dijual dalam bentuk dekorasi dan foto selfie.

Henry Mulyana kelimpungan. Ia tidak menyangka akan seheboh ini.

Ia menolak disebut rasis. Menurutnya, simbol-simbol NAZI di kafe itu hanya cara menarik pelanggan. Ia menyebutnya sebagai seni, bukan ideologi, katanya.

"Yang kami angkat adalah sejarah perang dunia, bukan khusus NAZI-nya tapi kan NAZI bagian dari sejarah juga," kata Henry kepada media.

Tapi bagi banyak orang, alasan itu tak cukup.

Di Indonesia, sejarah Holocaust nyaris tak dibahas di sekolah. Kurikulum sejarah lebih banyak bicara tentang penjajahan Belanda dan Jepang, perjuangan kemerdekaan, serta Pahlawan Nasional. Nama Hitler hanya muncul di film perang atau video game. Ia muncul sebagai tokoh antagonis yang karismatik, bukan sosok pembunuh massal.

Karena itulah banyak pengunjung yang datang ke Soldatenkaffee tidak merasa bersalah. Mereka melihatnya sebagai tempat yang unik dan keren.

Hiburan Bertema Sejarah Kelam

Pada Juli 2013, pemerintah Kota Bandung akhirnya turun tangan. Pejabat dari Dinas Pariwisata dan Polrestabes Bandung memanggil Henry Mulyana. Tidak ada undang-undang yang secara spesifik melarang simbol NAZI, tapi tekanan publik begitu kuat. Pemerintah khawatir citra pariwisata Bandung tercoreng.

"Kita harus tanya secara rinci apa maksud yang sebenarnya. Tapi yang jelas, Kota Bandung tidak akan membiarkan siapapun menghasut kebencian rasial," kata Wakil Wali kota Bandung, Ayi Vivananda.

Kafe itu akhirnya ditutup sementara. Tapi tidak lama.

Pengunjung Soldatenkaffee di Bandung. (Sumber: Warfare History Network)

Setahun kemudian, pada Juni 2014, Soldatenkaffee dibuka kembali. Kali ini dengan tema yang “lebih berimbang”. Potret besar Hitler diturunkan, dan di dinding kini berdampingan foto Winston Churchill dan Joseph Stalin. Henry mengatakan kepada media, “Dari awal saya bilang Soldatenkaffee bukan kafe NAZI. Ini kafe Perang Dunia II.”

Ia menambahkan memorabilia dari pihak Sekutu agar tampak netral. Tapi beberapa simbol NAZI masih dibiarkan menggantung. Swastika kecil masih ada di topi pelayan.

Outlet media seperti The Times of Israel mencatat bahwa swastika masih berlimpah di sana. Namun Henry bersikeras, itu hanya bagian dari sejarah perang.

Kafe itu kembali ramai. Di Bandung, Soldatenkaffee jadi tempat nongkrong seperti akfe pada umumnya. Pesta Tahun Baru 2014 bertema Black & White Night digelar di sana, menghadirkan model dari majalah Popular dan grup musik Cherrybelle. Di media sosial, foto-foto dinding merah dan dekorasi vintage kafe itu viral, tanpa konteks sejarah.

Sebagian orang datang karena ingin tahu. Sebagian lagi datang hanya karena penasaran dengan “kafe NAZI yang sempat dikecam dunia.”

Tapi di luar negeri, protes tidak berhenti. Petisi online di situs Change.org menuntut penutupan total. Di Indonesia, sejumlah aktivis HAM juga mulai bicara. Mereka menilai simbol seperti swastika berpotensi menormalisasi kebencian rasial. Tapi argumen itu tidak banyak menggema. Di mata banyak orang, itu hanya urusan luar negeri.

Bagi Bandung, Soldatenkaffee sudah menjadi bagian dari eksotisme kota kreatif: aneh, absurd, tapi tetap ramai.

Ditutup Permanen pada 2017

Pada awal 2017, Soldatenkaffee akhirnya tutup permanen. Tidak ada lagi bendera swastika di jendela, tidak ada lagi pelayan berseragam Wehrmacht membawa Gestapo Burger.

Henry Mulyana mengatakan alasannya sederhana: bisnis sepi. Lokasinya kurang strategis, katanya, bukan karena kontroversi. Tapi banyak pengamat berpendapat lain. Publisitas negatif membuat wisatawan asing enggan datang, sementara pelanggan lokal mulai bosan.

Kafe itu akhirnya menjadi kenangan.

Beberapa tahun kemudian, para peneliti budaya menulis tentangnya. Dalam artikel di Warfare History Network, Soldatenkaffee disebut sebagai contoh bagaimana simbol sejarah gelap bisa digunakan untuk mencari sensasi di negara yang tidak punya hubungan langsung dengan tragedinya.

Fenomena itu menunjukkan satu hal: ada jarak besar antara simbol dan makna. Swastika, misalnya, dalam agama Hindu dan Buddha adalah simbol matahari, keberuntungan, dan keabadian. Tapi sejak NAZI menggunakannya, simbol itu berubah menjadi tanda kebencian.

Bagi banyak anak muda Bandung, perbedaan itu kabur. Mereka lebih mengenal Hitler dari produk buaya popular, bukan dari sejarah.

Kini, bekas lokasi kafe di Jalan Cikawao sudah berubah menjadi tempat lain. Tapi kisahnya masih sering disebut dalam obrolan warga, terutama ketika muncul perdebatan soal batas kebebasan berekspresi.

Tags:
KafeNAZIBandungPerang Dunia

Hengky Sulaksono

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor