AYOBANDUNG.ID - Ketika villa-villa merangsek ke hutan dan kafe tumbuh lebih cepat daripada pohon, bukan hal aneh jika seekor king cobra tersesat ke permukiman. Seperti di Kampung Kerta Mulya, Cipatat, Minggu, 15 Juni 2025, seekor ular berbisa muncul tanpa undangan. Ia datang membawa pesan yang tak bisa diabaikan: alam mulai membalas.
Warga panik. Puluhan orang berkumpul, sebagian mengabadikan momen dengan ponsel, lainnya memilih menjaga jarak. Video rekaman evakuasi pun menyebar cepat di media sosial. Dalam cuplikan berdurasi kurang dari semenit itu, seekor ular terlihat menggeliat gesit, sementara seorang petugas pemadam kebakaran tampak berusaha mengalihkan perhatian si reptil dengan tongkat penjepit. Satu manuver keliru bisa berujung fatal. Tapi pada akhirnya, setelah ketegangan panjang, ular itu berhasil dijepit dan dimasukkan ke tabung plastik. Warga pun bersorak.
“Jenisnya king cobra dan ukurannya jumbo. Sangat agresif. Tapi petugas kami sudah terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini,” kata Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Diskar) Kabupaten Bandung Barat, Siti Amjnah.
Ular itu tak dibunuh. Komunitas pencinta reptil di Cipatat—yang anggotanya kebetulan termasuk salah satu petugas pemadam—langsung mengambil alih penanganan. Nasib si ular akan lebih baik di penangkaran atau hutan terpencil, jauh dari keriuhan manusia dan risiko digebuk massa.
Kemunculan king cobra di permukiman bukanlah insiden tunggal. Menurut data Diskar Bandung Barat, sepanjang Januari hingga Juni 2025 sudah ada 12 laporan kemunculan ular berbisa di pemukiman warga. Sepuluh di antaranya adalah ular kobra jawa, dan dua sisanya king cobra.
“Sebagian besar ular ditemukan sudah masuk ke pemukiman, bahkan sampai ke dapur rumah warga,” ujar Siti.
Distribusi kasus menyebar di Cipatat, Cililin, Padalarang, Parongpong, hingga Cikalong. Diskar menduga, gelombang migrasi ular ini didorong oleh dua hal: musim kawin yang berlangsung Juni hingga Agustus, dan kerusakan habitat akibat alih fungsi lahan.
“Selain sedang musim kawin, habitat mereka juga mulai terganggu akibat pembangunan infrastruktur,” kata Siti.
Ular yang menyusup ke rumah mungkin hanya satu gejala dari gangguan ekologis yang jauh lebih besar. Di Bandung Barat, terutama wilayah dataran tinggi seperti Lembang dan kawasan Bandung utara (KBU), vegetasi yang dulu lebat kini berlubang-lubang. Lubang itu tak diisi oleh pohon, melainkan beton.
Kasus king cobra di Cipatat memperlihatkan dinamika baru dalam konflik manusia-satwa liar. Ketika batas antara hutan dan perumahan menjadi kabur, ketika akar pohon digantikan pondasi bangunan, maka ruang gerak ular semakin sempit. Dan seperti banyak makhluk lainnya, mereka pun bertahan dengan cara yang sama: mendekati sumber makanan, air, dan tempat berteduh. Kadang, itu berarti menyusup ke kolong ranjang atau sudut dapur.
“Segera hubungi kami kalau menemukan hewan liar berbisa. Penanganan tanpa alat dan keahlian sangat berbahaya, apalagi jika itu king cobra,” ujar Siti mengingatkan warga.

Satu king cobra memang bisa bikin heboh satu kampung. Tapi puluhan kasus serupa dalam setengah tahun, dengan pola lokasi yang hampir seragam, menunjukkan bahwa masalahnya bukan sekadar soal ular. Ini adalah isyarat dari alam yang terusik.
Warga bisa jadi akan terus menyaksikan ular turun gunung, selama hutan-hutan di sekitar mereka terus dirampas oleh hotel-hotel dan villa-villa baru. Suatu hari nanti, ketika hujan turun deras dan ular kembali menyelinap di balik rak piring, mungkin kita akan sadar bahwa yang paling berbisa bukanlah ular itu sendiri, melainkan kerakusan kita terhadap lahan.
Fenomena ular masuk permukiman bukan sekadar peristiwa lokal yang bisa dilupakan begitu saja. Menurut Buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan Jamur terbitan Kementerian Kesehatan tahun 2023, Indonesia memiliki 350 hingga 370 spesies ular, dengan 77 di antaranya tergolong berbisa.
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia Toxinology Society mencatat rata-rata 135 ribu kasus gigitan ular per tahun, dengan tingkat kematian mencapai 10 persen. “Data ini belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil karena hanya dihimpun dari rumah sakit, puskesmas, dan laporan masyarakat,” tulis Kementerian Kesehatan dalam buku tersebut.
Deforestasi jadi Biang Keladi
Fenomena alih fungsi lahan terjadi secara masif. Dalam sepuluh tahun terakhir, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat (Jabar) mencatat laju alih fungsi lahan tahunan rata-rata mencapai 10–20 hektar. Hutan di KBU berubah wujud menjadi villa, hotel, perumahan, atau wahana wisata yang ramai di akhir pekan. Kawasan resapan air menghilang pelan-pelan. Kerusakan tak terelakkan. Air hujan yang dulu terserap tanah, kini meluber ke jalan dan selokan kecil yang tak memadai. Ketika hujan deras turun, banjir pun datang. Ironis, karena dataran tinggi semestinya lebih aman dari genangan.
Data Walhi juga mencatat, dari 40 ribu hektare luas kawasan KBU, sekitar 28 ribu hektare telah rusak dan berada dalam status rawan bencana. Angka itu menyumbang bagian dari lebih dari 1 juta hektare lahan kritis di seluruh Jawa Barat. Bahkan data Pemprov Jabar tahun 2021 menyebut tutupan lahan kritis masih berada di angka 907.683 hektare, dan angkanya makin bertambah sejak saat itu.
Fenomena itu bukan hanya mengancam manusia dengan genangan air, tapi juga mendorong satwa liar, termasuk ular, masuk ke pemukiman. Dengan vegetasi alami yang menghilang dan mangsa alami seperti tikus, katak, atau burung kecil semakin sedikit, ular mencari tempat dan makanan baru. Dan seringkali, yang mereka temukan adalah dapur manusia yang lembap dan hangat.

Penelitian terbaru dalam Jurnal Animals (2025) menguatkan adanya hubungan adekuat antara deforestasi dan peningkatan insiden gigitan ular. Wilayah dengan tingkat pembukaan hutan yang tinggi, kepadatan penduduk besar, dan lahan pertanian luas menunjukkan peluang lebih besar terjadinya kontak antara manusia dan ular.
Hasil analisis spasial dalam studi tersebut menemukan adanya pola pengelompokan gigitan di daerah padat penduduk dan dengan deforestasi tinggi. Peneliti menjelaskan bahwa semakin sempit habitat ular, semakin besar kemungkinan reptil ini bermigrasi ke permukiman, dalam upaya mencari tempat berlindung dan makanan.
“Ular kehilangan ruangnya, jadi mereka mencari habitat baru, dan kita yang jadi tetangganya,” tulis laporan itu. Walau studi dilakukan di Korea Selatan, peneliti menyebut tren serupa juga terjadi di banyak wilayah lain.
Konversi hutan menjadi kebun monokultur juga memutus rantai makanan ular. Dengan berkurangnya mangsa seperti tikus hutan dan burung kecil, ular terdorong masuk ke wilayah manusia yang justru menyimpan sumber makanan potensial dari kandang ayam hingga tikus got.
Persoalan ini juga lebih dari sekadar gangguan reptil yang tersesat. Ini adalah bagian dari pola ekologis yang lebih besar: invasi satwa liar ke wilayah manusia yang menyebabkan peningkatan risiko zoonosis—penyakit yang menular dari hewan ke manusia.
Wabah yang Lahir dari Dahan yang Ditebang
Kehadiran ular ke permukiman warga hanyalah satu contoh mencolok dari efek domino deforestasi. Lebih luas lagi, kerusakan hutan tropis telah lama dikaitkan dengan kemunculan penyakit menular baru. Dalam Jurnal Environmental Research Letters (2020), para peneliti menelusuri bagaimana perubahan ekosistem akibat deforestasi menjadi titik tolak lonjakan berbagai penyakit menular, mulai dari Nipah hingga HIV/AIDS.
Studi itu mencatat dua pemicu utama munculnya patogen baru: pertama, perubahan penggunaan lahan untuk pertanian dan pembangunan infrastruktur; kedua, meningkatnya populasi manusia di dekat atau di dalam hutan. “Kehadiran manusia di jantung hutan menyebabkan gangguan pada keseimbangan alami antara mikroba, inang hewan, dan vektor,” tulis laporan tersebut.
Kasus virus Nipah (NiV) di Malaysia pada 1999 terjadi setelah habitat kelelawar buah terganggu akibat deforestasi dan perluasan peternakan babi serta kebun mangga. Kelelawar yang kehilangan tempat tinggal beralih mencari buah di pohon mangga dekat peternakan. Buah yang tergigit dan jatuh dimakan babi. Babi terinfeksi. Lalu virus melompat ke manusia.
Di Bangladesh, pola serupa terjadi. Desa-desa yang berada di sekitar hutan yang sudah terfragmentasi menjadi tempat ideal bagi kelelawar Pteropus. Dengan banyaknya lahan pertanian dan pohon buah, kontak antara satwa liar dan manusia pun meningkat. Di Filipina, tahun 2014, virus yang sama menyerang 17 orang dan 10 kuda di kawasan deforestasi. Tak butuh waktu lama hingga virus itu menemukan jalannya ke tubuh manusia.
Perubahan lanskap ini tak hanya meningkatkan frekuensi kontak antarspesies, tapi juga memicu fenomena landscape spillover di mana patogen berpindah melalui jaringan ekologi yang telah rusak.
Lebih dari itu, deforestasi juga membuka jalan bagi penyebaran penyakit global seperti HIV/AIDS. Tak banyak yang tahu bahwa pandemi ini berakar dari hutan hujan Afrika. Sekitar tahun 1920-an, manusia di Kinshasa melakukan perburuan simpanse. Melalui penyembelihan serta konsumsi dagingnya, virus dari hewan itu menyeberang ke manusia.

Virus ini lalu menyebar melalui jaringan transportasi kayu, tempat pekerja seks, dan truk-truk yang membawa hasil hutan. Sejak itu, lebih dari 35 juta jiwa telah meregang nyawa. Sebuah contoh tragis bagaimana interaksi manusia dengan hutan tak lagi hanya soal eksploitasi, tetapi juga membawa risiko mematikan.
"Faktor-faktor yang dulu mendorong munculnya pandemi HIV/AIDS masih tetap ada di Afrika hingga kini. Fragmentasi dan deforestasi hutan tropis Afrika, bersama dengan pengembangan lahan pertanian, perilaku dan praktik manusia, serta dinamika demografi, menciptakan kondisi ideal untuk kontak manusia-satwa dan meningkatkan risiko penularan penyakit zoonosis." demikian peneliti.
Kini, ancaman itu tidak hanya berbentuk virus mikroskopis, tapi juga makhluk melata yang bergerak tanpa suara. Ketika akar-akar pohon dicabut dan habitat dihancurkan, ular dan patogen tak lagi bisa bertahan dalam keheningan rimba. Mereka bergerak ke tempat yang oleh orang-orang disebut rumah.
Lebih dari sekadar laporan ilmiah, temuan ini menjadi pengingat akan rapuhnya garis batas antara manusia dan alam. Ketika keseimbangan terganggu, bukan hanya makhluk liar yang kehilangan tempat tinggalnya, tapi juga manusia yang kehilangan rasa aman.
Krisis ekologis hari ini bukan lagi sekadar isu lingkungan. Ia telah merembes ke ranah kesehatan publik, ekonomi, dan ketahanan sosial. Deforestasi tak hanya melahirkan krisis iklim, tapi juga menciptakan lahan subur bagi wabah berikutnya.
Sebelum ular berikutnya muncul di kolong rumah atau virus baru lahir dari dahan yang ditebang, pertanyaan penting harus diajukan: Apakah kita siap hidup berdampingan dengan konsekuensi dari hutan yang hilang?