AYOBANDUNG.ID - Di balik dinginnya udara pagi Ujungberung, ketika kabut masih menggelayut di atas hamparan sawah, ada suara tabuhan kendang dan terebang yang kadang-kadang memecah kesunyian. Suara-suara itu bukan sekadar hiburan—mereka adalah sisa-sisa zaman, warisan leluhur, yang masih bertahan dari gempuran zaman. Namanya benjang, kesenian sekaligus olahraga tradisional khas Sunda yang berasal dari tanah subur di ujung timur Kota Bandung.
Benjang bukan sembarang pertunjukan. Ia bukan sekadar gulat. Ia bukan hanya seni. Ia adalah keduanya sekaligus. Sebuah “gelut” tradisional yang diracik dalam balutan ibingan, iringan musik, dan kadang disusupi makna-makna sufistik yang samar. Ada semacam ritual dalam setiap gerakannya, semacam doa dalam setiap sabetan, semacam falsafah dalam setiap ibingan.
Tidak jelas siapa yang pertama kali memperkenalkan benjang. Tapi menurut penuturan Kemendikbud, istilah “benjang” diduga berasal dari gabungan kata “sasamben budak bujang”. Artinya kurang lebih: para pemuda bujang yang bermain di amben, sebuah bale tempat berkumpul yang juga berfungsi sebagai panggung rakyat.
Pada mulanya benjang ditampilkan sebagai hiburan usai panen. Tempatnya bisa di tanah lapang, bisa pula di sawah yang sudah dipanen. Di situlah anak-anak muda adu kekuatan dengan gaya khas yang menyerupai gulat. Tapi sebelum mulai “gelut”, mereka terlebih dahulu harus menari. Ya, menari. Tradisi ini disebut “ngibing”. Ada empat gerakan wajib yang harus dilakukan: golempang, puyuh ngungkuk, beureum panon, dan julang ngapak.
Prosesi ini punya makna. Salah satunya, ketika si pebenjang (peserta benjang) harus membuka bajunya, menyisakan celana pendek, untuk menunjukkan bahwa ia tidak membawa senjata tersembunyi. Gulat ini murni pertarungan fisik, bukan sekadar unjuk tenaga, tapi juga unjuk kehormatan.
Seiring waktu, benjang tak lagi hanya dimainkan di pematang. Pada tahun 1938, warga Ujungberung mengenal bentuk lain dari benjang: “benjang heleran”. Kalau benjang gelut dilakukan malam hari, maka benjang heleran digelar pada siang, sebagai arak-arakan keliling kampung. Tujuannya untuk memberitahu masyarakat bahwa malam nanti akan ada pertunjukan benjang. Semacam woro-woro yang bukan sekadar teriakan, melainkan dengan musik lengkap dan parade.
Parade itu bisa sangat meriah. Kuda renggong menari, bangbarongan menakuti anak-anak, jampana mengusung sesaji, dan kuda lumping melompat-lompat seperti kesurupan. Alat musiknya tak jauh beda dengan benjang gelut: kendang, kecrek, terebang, dan terompet. Hanya saja ditambah bedug dan gong agar makin ramai. Dalam heleran ini, tidak jarang penari mengalami kesurupan. Penonton pun bisa bubar karena panik. Tapi bagi masyarakat setempat, kesurupan adalah bagian dari pertunjukan.

Tak lama setelah benjang heleran dikenal, muncul bentuk lain yang lebih halus: benjang topeng. Diperkenalkan pada tahun 1941, kesenian ini berbentuk tarian yang mengenakan topeng. Konon, benjang topeng ini mengandung nilai-nilai Islam. Ada yang mengaitkannya dengan ajaran “hablum minallah” dan “hablum minannas”: hubungan vertikal dengan Tuhan diwujudkan dalam benjang topeng dan heleran, sedangkan hubungan horizontal antar manusia ditunjukkan dalam benjang gelut.
Ketiganya—benjang gelut, benjang heleran, dan benjang topeng—biasa dipentaskan secara maraton. Siang hari heleran, sore benjang topeng, dan malam puncaknya adalah benjang gelut. Di masa kejayaannya antara tahun 1955 hingga 1965, satu pertunjukan benjang bisa berlangsung selama 24 jam penuh. Ujungberung pun jadi pusat perhatian.
Dilarang karena Terlalu Serius
Tapi semua yang terlalu meriah, kadang berakhir kacau. Seiring bertambahnya gengsi antar perguruan benjang, gulat tradisional ini mulai menimbulkan konflik. Pada tahun 1970, benjang gelut sempat dilarang karena dianggap memicu keributan antar warga. Rivalitas antar perguruan kerap berubah jadi baku hantam sungguhan, bukan lagi tontonan, tapi tontokan.
Pelarangan itu membuat pamor benjang gelut menurun drastis. Yang tersisa hanyalah benjang heleran dan benjang topeng. Masyarakat masih bisa merayakan benjang dalam bentuk yang lebih aman, tanpa takut bentrok fisik. “Kalau gelutnya dilarang, setidaknya budayanya jangan ikut hilang,” begitu kira-kira suara para sesepuh saat itu.
Bertahan di Tengah Kota yang Terus Tumbuh
Hari ini, Ujungberung tak lagi sepi. Gedung-gedung naik, jalan makin padat, anak muda lebih akrab dengan gawai ketimbang kendang. Tapi benjang belum benar-benar mati. Ia masih ada, meski tak segemuruh dulu. Masih ada perguruan-perguruan kecil yang diam-diam melatih anak-anak untuk tetap bisa ngibing dan gelut. Masih ada acara khitanan yang menggelar heleran benjang, meski musiknya kini kadang kalah oleh sound system dangdut.
Pada tahun 2018, benjang akhirnya diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pengakuan ini adalah semacam pelipur lara, sekaligus panggilan untuk generasi muda agar tak malu mewarisi kesenian sendiri.
Ujungberung memang sudah berubah. Tapi selama masih ada yang mau ngibing dan ngagelut dengan cara benjang, selama suara kendang dan terebang masih terdengar meski sayup-sayup, maka benjang belum mati.