Situs Sumur Bandung (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Ayo Jelajah

Kisah Sumur Bandung, Lidi Bertuah Bupati yang Jadi Penanda Kota

Jumat 04 Jul 2025, 18:26 WIB

AYOBANDUNG.ID - Tak ada meriam, tak ada kereta kuda. Bandung bukan dilahirkan oleh peluru atau istana, tapi oleh sebatang lidi yang ditancapkan ke tanah oleh seorang bupati. Dari tanah itu memancar air bening—dan dari situlah Kota Bandung ditetapkan sebagai ibu kota baru.

Kisah ini dimulai pada awal abad ke-19, ketika Raden Adipati (R.A.) Wiranatakusumah II mendapati ibu kota Kabupaten Bandung yang lama, yaitu Krapyak (sekarang Dayeuhkolot), terlalu sering digenangi air. Banjir bukan hanya merepotkan, tapi juga menurunkan wibawa seorang bupati yang seharusnya memimpin dari tempat yang tinggi dan kering, bukan dari kubangan.

Tahun 1809, Dalem Kaum—begitu gelar yang melekat pada Wiranatakusumah II—memulai pengembaraan. Bukan sekadar jalan-jalan atau inspeksi mendadak, tapi perjalanan spiritual dan politis untuk menemukan lokasi baru bagi pusat pemerintahan Bandung. Ia tidak membawa peta topografi atau drone. Yang ia bawa adalah keyakinan dan ilmu titen warisan leluhur Sunda.

Ia berjalan ke arah utara, mendekati jalur yang kelak jadi Jalan Raya Pos (Grote Postweg), yang dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Ia percaya bahwa tempat ideal untuk ibu kota baru harus memenuhi beberapa syarat gaib dan geografis: tanahnya bahe ngidul (miring ke selatan), dekat mata air, dan—ini yang menarik—merupakan bekas tempat paguyangan (berkubang) badak putih.

Suatu hari, ketika tengah beristirahat di wilayah barat Sungai Cikapundung, sang Bupati menancapkan lidi ke tanah. Beberapa versi menyebutnya tongkat. Dari lubang tancapan itu memancar air jernih. Air yang dianggap sebagai pertanda ilahi bahwa tempat itu telah diberkahi. Para pengiringnya menggali lubang di sekitar sumber air tersebut, dan jadilah sumur. Sumur itu kelak dinamai Sumur Bandung.

Tahun berikutnya, pada 25 September 1810, Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan besluit (keputusan resmi) yang menyetujui pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung dari Krapyak ke lokasi baru yang ditemukan sang Bupati. Tak hanya karena syarat spiritual terpenuhi, tetapi juga karena lokasinya dekat dengan jalur Grote Postweg yang strategis. Maka lahirlah Bandung yang kita kenal hari ini, bermula dari sebuah sumur dan sebatang lidi.

Sumur Bandung kini berdiri tenang di halaman belakang Kantor PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten, di pertigaan Jalan Asia-Afrika dan Jalan Cikapundung. Tapi sebelum sampai ke sana, sumur ini mengalami perjalanan panjang, termasuk menjadi bagian dari gedung kolonial bergaya art deco karya arsitek Belanda Wolff Schoemaker.

(Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Bangunan di atas Sumur Bandung dibangun tahun 1930-an dan diresmikan pada 26 Oktober 1939. Awalnya digunakan oleh N.V. Gemeentelijke Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO), perusahaan listrik milik pemerintah kolonial. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini beralih fungsi menjadi kantor PLN.

Pada masa awal kemerdekaan hingga 1990-an, Sumur Bandung berada di lobi gedung. Baru pada era Wali Kota Wahyu Hamidjaja, sumur dipindahkan ke halaman belakang gedung PLN pada 26 Oktober 1997. Pemindahan itu dilakukan untuk menjaga sumur agar lebih sakral dan tak terganggu aktivitas kantor.

Warga sekitar percaya, air sumur ini tak pernah kering meski kemarau panjang datang. Bahkan, airnya dulu pernah digunakan sebagai pasokan utama untuk Masjid Raya Bandung. Konon juga, air ini bisa menyembuhkan penyakit. Meski tidak ada bukti ilmiah, kepercayaan tetap mengalir seperti air di dasar sumur.

Sumur-Sumur Lain yang Tertimbun Zaman

Hasil penelusuran Komunitas Aleut, Sumur Bandung tak hanya satu. Setidaknya ada tujuh sumur serupa di kawasan sekitar pusat Kota Bandung. Dua di antaranya yang paling terkenal letaknya seperti saling berhadapan di sisi barat Sungai Cikapundung—dalam istilah Sunda, ngabandung.

Sumur Bandung kedua berada di halaman belakang Gedung Vorkink, yang dulunya berdiri di lahan kosong belakang kompleks pertokoan Palaguna. Gedung itu kini sudah lenyap, rata dengan tanah. Sumur ketiga ditemukan di belakang gedung Ned. Handemij—yang sebelumnya ditempati oleh Firma De Kock Sparkes & Co.—tapi sumur itu telah ditimbun untuk pondasi gedung pada awal abad ke-20.

Sumur keempat pernah ditemukan di lokasi Gedung Miramar, mal yang populer di tahun 1980-an. Tapi seperti nasib banyak bangunan di kota ini, sumur itu tertutup beton ketika mal mulai dibangun.

Tiga sumur lainnya ditemukan di kompleks Gedung De Vries, bangunan tua yang menyimpan banyak jejak kolonial. Sayangnya, ketiga sumur ini tidak terawat dengan baik. Beberapa hanya dipagari rantai seadanya, sebagian nyaris tak dikenali lagi bentuknya. Ada pula satu sumur yang disebut berada di Gedung De Zon, namun tidak diketahui dengan pasti apakah sumur itu masih ada atau telah dikubur beton seperti saudaranya yang lain.

Eks wali kota Bandung Yana Mulyana saat meninjau situs bersejarah Sumur Bandung. (Sumber: Ayobandung)

Sumur Bandung tak hanya menyimpan air, tetapi juga cerita mistis. Konon, sumur utama yang kini berada di kantor PLN itu dijaga oleh seorang perempuan gaib bernama Nyi Mas Dewi Kentring Manik.

Dalam mitologi Sunda, Kentring Manik bukan sosok sembarangan. Ia disebut sebagai istri Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan juga putri dari Prabu Susuk Tunggal. Dalam Mooi Bandoeng, majalah tahun 1937 yang dikutip oleh Komunitas Aleut, W.H. Hoogland menyebut sosok ini juga dikenal sebagai Nyi Ken Buniwangi, dewi penjaga mata air atau Bron-godin dalam istilah Belanda.

Keyakinan akan penjaga gaib ini membuat sebagian orang datang ke sumur bukan sekadar untuk menengok sejarah, melainkan juga untuk berziarah, berdoa, atau sekadar mohon karahayuan—memohon keselamatan dan kemakmuran.

Kini, nama Sumur Bandung abadi bukan hanya dalam sejarah, tetapi juga dalam administrasi dan tata ruang kota. Ia menjadi nama kecamatan yang mencakup area pusat pemerintahan Kota Bandung. Ia juga menjadi nama jalan yang menghubungkan kawasan Tamansari dengan Siliwangi.

Di tengah pembangunan yang terus membubung, dari hotel berbintang hingga kafe tematik, Sumur Bandung berdiri sebagai pengingat. Bahwa kota ini lahir bukan dari surat keputusan semata, tapi dari air, tanah yang miring, lidi, dan kepercayaan.

Dan mungkin, dari doa seorang Bupati yang tidak ingin rakyatnya terus kebanjiran.

Tags:
sejarahSejarah BandungSumur Bandung

Fira Nursyabani

Reporter

Hengky Sulaksono

Editor