Ilustrasi ledakan (Sumber: Freepik)

Ayo Jelajah

Ledakan Garut Tambah Panjang Kecelakaan Eksplosi Senjata dalam 2 Dekade

Rabu 14 Mei 2025, 18:51 WIB

AYOBANDUNG.ID - Pada pagi yang tenang di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, suara ledakan menggema memecah udara. Senin, 12 Mei 2025, menjadi saksi dari insiden maut dalam kegiatan pemusnahan amunisi tidak layak pakai oleh Tim Gupusmi 3 dari Jakarta. Tragedi ledakan amunisi Garut itu menewaskan 13 orang, terdiri dari sembilan warga sipil dan empat personel TNI.

Sebuah video amatir yang beredar di media sosial memperlihatkan momen sebelum dan sesaat setelah ledakan. Dalam rekaman itu, lokasi kejadian tampak seperti lahan terbuka, dikelilingi semak belukar, tanpa permukiman warga di sekitarnya. Sesaat sebelum dentuman, terdengar suara hitungan mundur dari seorang pria. Setelah hitungan selesai, dua ledakan terdengar berurutan, diiringi asap hitam tebal yang membumbung ke langit.

Beberapa detik kemudian, tampak sekelompok orang di atas sepeda motor datang dari arah barat, ekspresi mereka menunjukkan kepanikan. Mereka melaju menjauh dari sumber ledakan. Tak lama setelahnya, informasi mengenai korban mulai bermunculan.

Kecelakaan Saat Disposal

Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan, menyatakan bahwa insiden tersebut merupakan kecelakaan saat kegiatan disposal, yaitu proses pemusnahan amunisi yang sudah tidak layak digunakan. Ia memastikan jumlah korban yang meninggal sebanyak 13 orang.

“Bahwa bertempat di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, telah terjadi kecelakaan disposal oleh Tim Gupusmi 3 Jakarta,” kata Hendra siang hari setelah kejadian.

Dituturkan Hendra, pelaksanaan disposal oleh TNI AD dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional (SOP) yang berlaku. Namun demikian, ia menyebut insiden ini sebagai kecelakaan murni yang tidak terduga.

“TNI AD telah melakukan disposal sesuai SOP. Kejadian ini murni kecelakaan yang tidak terduga,” tambahnya.

Pihak kepolisian dan TNI kini masih menyelidiki penyebab pasti dari insiden tersebut. Hingga saat ini, belum ada penjelasan rinci mengenai mengapa ledakan bisa sampai menimbulkan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil.

Kapendam III Siliwangi, Kolonel Inf Mahmmudin, saat dikonfirmasi menyebutkan bahwa pihaknya masih mendalami kronologi lengkap kejadian tersebut. Ia juga sempat menyampaikan jumlah korban yang meninggal sebanyak sebelas orang. Belakangan, angka ini diperbarui menjadi 13. “Masih kita dalami, karena kejadiannya baru,” ucap Mahmmudin.

Para korban, termasuk anggota TNI dan warga, telah dievakuasi ke RSUD Pameungpeuk. Beberapa di antaranya diidentifikasi sebagai Kolonel Cpl Antonius Hermawan, Mayor Cpl Anda Rohanda, serta sejumlah warga bernama Agus bin Kasmin, Ipan bin Obur, dan lainnya.

Sejarah yang Berulang

Insiden ledakan akibat aktivitas penyimpanan atau pemusnahan amunisi bukan kejadian baru di Indonesia. Dalam dua dekade terakhir, catatan panjang peristiwa serupa menunjukkan bahwa risiko selalu mengintai dalam aktivitas yang melibatkan bahan peledak militer, terlebih bila pengelolaan dan pengamanannya tidak dilakukan secara ketat. Tragedi di Garut pada 12 Mei 2025 menambah daftar insiden berdarah yang berawal dari ledakan amunisi tidak layak pakai.

Salah satu yang paling anyar baru saja terjadi. Kurang dari sepekan sebelum ledakan di Garut, insiden serupa terjadi di ruas Tol Gempol, Pasuruan, Jawa Timur, Senin malam, 5 Mei 2025. Sebuah truk pengangkut amunisi milik Kostrad meledak dan terbakar di KM 774 arah Probolinggo. Truk tersebut merupakan bagian dari iring-iringan empat kendaraan yang membawa personel dan perlengkapan Brigif 509/Kostrad dari Surabaya menuju Jember.

Truk kedua dalam konvoi yang membawa granat tangan dan peluru kaliber kecil, menjadi sumber ledakan. Satu anggota TNI dilaporkan meninggal setelah terjatuh saat mencoba menyelamatkan diri dengan melompati pagar pembatas jalan tol.

Belum genap setahun, gudang amunisi milik Kodam Jaya di Ciangsana, Gunung Putri, Bogor, meledak pada 31 Oktober 2024. Gudang tersebut diketahui menyimpan sejumlah besar amunisi kedaluwarsa yang menunggu untuk dimusnahkan. Ledakan yang terjadi begitu besar hingga suara dentuman terdengar hingga radius beberapa kilometer.

Kepanikan terjadi saat ledakan. Warga di sekitar kompleks militer melakukan evakuasi mandiri, sementara kebakaran meluas di dalam gudang. Meski tidak ada korban jiwa, dampak kerusakan dan trauma warga menjadi peringatan keras bagi militer terkait sistem penyimpanan bahan peledak.

Ledakan di gudang senjata Kodam Jaya, Ciangsana, Gunung Putri, Bogor.

Kasus lain terjadi lebih awal, pada 14 September 2019, di Srondol, Semarang. Gudang amunisi milik Brimob Polda Jawa Tengah meledak saat dini hari. Ledakan itu melukai satu anggota Gegana Polda Jateng. Suara ledakan terdengar hingga lima kilometer dan menghancurkan sebagian bangunan di sekitarnya. Investigasi awal menyebutkan bahwa suhu dalam gudang yang terlalu tinggi kemungkinan menjadi pemicu bahan peledak menjadi tidak stabil.

Tragedi juga sempat mengguncang Tanjung Priok pada 2014 silam. Sebuah ledakan hebat mengguncang gudang amunisi milik Markas Komando Pasukan Katak TNI AL (Kopaska) yang berlokasi di Pondok Dayung, Jakarta Utara, pada 5 Maret. Dentuman keras itu menyebabkan kepanikan; orang-orang di sekitar lokasi berhamburan menyelamatkan diri.

Sebanyak 87 orang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Satu nyawa melayang, sementara 86 orang lainnya harus dilarikan ke berbagai rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan perawatan medis akibat luka-luka yang diderita.

Ledakan terkait senjata paling berakibat fatal di Indonesia terjadi pada 13 Maret 1985 di Bojong Koneng, Bandung. Peristiwa ini menewaskan 18 orang, enam di antaranya warga sipil. Letusan hebat muncul dari sebuah truk pengangkut amunisi kedaluwarsa yang akan dimusnahkan di gudang milik Depo Pusat Peralatan Angkatan Darat.

Seluruh petugas yang berada di dalam gudang saat itu, termasuk sopir truk, tewas seketika. Ketiadaan saksi mata membuat investigasi hanya bisa menyimpulkan kemungkinan besar insiden terjadi akibat kegagalan teknis.

Warga Bandung saat itu menyebut peristiwa tersebut sebagai beledug Bojongkoneng. Beberapa orang yang tinggal puluhan kilometer dari lokasi masih mengingat suara ledakan yang menggema pagi itu.

Korban jiwa dalam ledakan ini lebih besar ketimbang tragedi ledakan Tanjung Priok setahun sebelumnya yang punya daya eksplosi jauh lebih besar.

Pada 29 Oktober 1984, gudang peluru milik Korps Marinir TNI AL meledak hebat. Sekitar 2.000 ton amunisi yang terdiri dari peluru roket BM-14 buatan Rusia, meriam howitzer 122 mm, mortir, hingga granat, hancur bersama gudangnya.

Ledakan ini bahkan membuat peluru liar meluncur ke arah Rumah Sakit Fatmawati yang berjarak 2,5 kilometer, menyebabkan kebakaran kecil yang beruntung bisa segera dikendalikan. Total korban dalam insiden tersebut dilaporkan berjumlah 17 orang.

Deretan kasus besar ini menunjukkan pola yang berulang: keterbatasan fasilitas penyimpanan, lemahnya mitigasi risiko, dan kurangnya sosialisasi terhadap warga di sekitar kawasan militer. Meskipun beberapa insiden tidak menimbulkan korban jiwa, dampaknya tetap besar secara psikologis dan sosial. Tragedi di Garut membuktikan bahwa meski teknologi militer telah berkembang, masalah fundamental soal manajemen amunisi masih belum sepenuhnya selesai.

Ledakan Terbesar Sepanjang Sejarah

Ledakan yang menewaskan 13 orang di Garut memang tragis. Namun, dalam catatan sejarah dunia, ada peristiwa-peristiwa serupa yang skalanya jauh lebih besar, baik dalam hal daya hancur maupun jumlah korban jiwa. Salah satunya terjadi di Beirut pada 2020, dan yang paling mematikan terjadi di Lagos, Nigeria, dua dekade lalu.

Pada 4 Agustus 2020, Beirut diguncang ledakan besar yang bersumber dari 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan secara tidak aman di Pelabuhan Beirut. Bahan kimia itu telah berada di gudang selama bertahun-tahun tanpa pengamanan memadai, meski beberapa pejabat pemerintah sudah mendapat peringatan tentang bahayanya.

Ledakan itu menewaskan sedikitnya 218 orang, melukai lebih dari 7.000 lainnya, dan membuat sekitar 300.000 warga kehilangan tempat tinggal.

Daya ledaknya luar biasa: kaca jendela pecah hingga jarak puluhan kilometer, dan suara dentuman terdengar bahkan sampai negara tetangga. Rumah sakit di kota yang sedang bergulat dengan pandemi COVID-19 langsung kewalahan. Infrastruktur kota porak-poranda, termasuk silo gandum utama negara yang runtuh akibat hempasan gelombang kejut.

Peristiwa ini memicu gelombang protes publik terhadap pemerintah Lebanon dan menjadi simbol kegagalan negara dalam mengelola risiko dan keselamatan publik.

Dari sisi jumlah korban, ledakan Beirut masih belum menyamai peristiwa yang terjadi di Lagos, Nigeria, pada 27 Januari 2002: sebuah tragedi yang dicatat sebagai ledakan gudang senjata paling mematikan dalam sejarah masa damai.

Kala itu, api dari pasar tradisional di sekitar barak militer Ikeja merambat ke dalam kompleks, tepatnya ke gudang utama amunisi milik tentara Nigeria. Sekitar pukul enam sore, ledakan besar terjadi, melepaskan gelombang kejut yang mengguncang sebagian besar wilayah utara Lagos.

Ledakan awal meratakan blok-blok bangunan di dalam kompleks militer dan menewaskan ratusan tentara serta anggota keluarganya yang tinggal di sana.

Yang terjadi setelahnya jauh lebih tragis. Penduduk kota yang ketakutan dan tidak tahu-menahu sumber ledakan mulai berlarian menyelamatkan diri. Banyak dari mereka, dalam kepanikan dan kondisi gelap gulita, berlari ke arah kanal Oke Afa, sebuah saluran air lebar yang tertutup oleh tumbuhan air dan tampak seperti daratan.

Ratusan orang tenggelam di sana. Tak sedikit dari korban adalah anak-anak yang terlepas dari orang tuanya dalam hiruk pikuk pelarian.

Korban jiwa terus bertambah seiring malam berganti. Rumah-rumah terbakar, jendela pecah, dan bangunan roboh di banyak titik. Ambulans dan rumah sakit kewalahan. Tim SAR bekerja dalam keterbatasan, sementara suara ledakan susulan terdengar hingga keesokan harinya. Lebih dari 1.000 orang diperkirakan tewas dalam peristiwa ini, dan sekitar 1.000 keluarga kehilangan tempat tinggal.

Sayangnya, jumlah korban pasti dari ledakan ini tak pernah bisa dihitung dengan akurat. Banyak jenazah tidak ditemukan, sebagian hanyut, sebagian lagi tertimbun reruntuhan. Tidak adanya sistem pendataan korban yang terkoordinasi memperparah kekacauan. Bahkan setelah proses evakuasi usai, ratusan orang masih dinyatakan hilang.

Hasil penyelidikan menyimpulkan bahwa pihak militer gagal melakukan pengelolaan gudang amunisi secara layak. Setahun sebelumnya, ledakan kecil pernah terjadi di tempat yang sama, namun tidak ada tindak lanjut berarti.

Tags:
GarutCibalongamunisiledakan

Gilang Fathu Romadhan, Hengky Sulaksono

Reporter

Redaksi

Editor