AYOBANDUNG.ID - Kasus dugaan kekerasan seksual kembali mencuat dari lingkungan pesantren. Kali ini, seorang pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, diduga mencabuli sedikitnya delapan santriwati yang masih di bawah umur.
RR, pimpinan pondok pesantren tersebut, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Bandung usai proses penyelidikan dan pemeriksaan saksi. Dugaan pencabulan berlangsung sejak 2023 hingga 2025, dan melibatkan korban yang tinggal serta menempuh pendidikan di pondok pesantren tersebut.
“Para korban rata-rata berusia di bawah 18 tahun dan tinggal di pesantren sejak 2023,” ujar Kasatreskrim Polresta Bandung, Kompol Lutfhi Olot, pada Rabu, 14 Mei 2025.
Kasus ini terungkap setelah seorang orang tua melaporkan dugaan pelecehan kepada pihak berwajib. Laporan pertama masuk pada 21 April 2025, yang kemudian diikuti dengan pengaduan resmi ke kepolisian sehari berselang.
“Pada 21 April 2025 lalu, kantor kami didatangi oleh salah seorang orang tua korban yang mengaku jika anaknya dilecehkan oleh oknum pimpinan pondok pesantren tersebut,” ujar Ahmad Ridho, kuasa hukum para korban, Senin, 12 Mei 2025.
Kata Ahmad, korban bukan hanya berstatus sebagai murid, tetapi juga menjadi bagian dari pengurus internal pesantren. Ia menyebut, sebelum melakukan pelecehan, pelaku terlebih dahulu membangun kontrol psikologis melalui doktrinsupaya menurut dan tidak melawan.
Setelah laporan diterima, Polresta Bandung melakukan pemeriksaan terhadap tujuh saksi, termasuk para korban. Hasil dari penyelidikan tersebut mengarah pada penetapan RR sebagai tersangka.
“Hasil penyelidikan dan pemeriksaan saksi-saksi, kami telah menetapkan RR sebagai tersangka dugaan pelecehan terhadap santriwati,” ujar Lutfhi.
Korban, kata polisi, kini tengah mendapatkan pendampingan psikologis dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bandung.
Terhadap RR, polisi menjerat dengan Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jika terbukti bersalah, RR terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Pihak kepolisian juga belum menutup kemungkinan adanya korban tambahan. Kasus ini masih dalam tahap pendalaman untuk menggali potensi keterlibatan pihak lain atau pola pelecehan yang belum terungkap.
“Kami terus melakukan pengembangan dan pendalaman,” ujar Lutfhi.
Korek Luka Lama Kasus Herry Wirawan
Kasus ini kembali membuka luka lama masyarakat, terutama warga Bandung, yang pada 2021 silam dikejutkan oleh perkara serupa. Saat itu, seorang guru pesantren di kawasan Cibiru, Herry Wirawan, divonis mati karena memperkosa 13 santriwati sejak 2016. Dua di antaranya hamil dan melahirkan total delapan anak dari pelaku.
Kasus kekerasan seksual oleh Herry pertama kali bergulir di meja hijau pada akhir 2021. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melimpahkan berkas perkaranya ke Pengadilan Negeri Bandung pada 3 November 2021, dengan dakwaan pencabulan terhadap belasan santri di bawah umur.
Dalam dakwaan tersebut, Herry disebut melakukan aksi bejatnya sejak 2016 hingga 2021. Tindak kekerasan seksual itu tidak hanya terjadi di lingkungan pesantren, tapi juga di sejumlah lokasi lain, termasuk hotel dan apartemen milik pelaku sendiri. Dari total 12 korban, dua di antaranya diketahui hamil dan melahirkan delapan bayi.
Kasus ini memicu reaksi luas. Kepolisian Daerah Jawa Barat menutup lembaga pendidikan tempat Herry mengajar dan mengelola. Kementerian Agama kemudian mengambil alih penanganan siswa. Seluruh santri dipulangkan ke daerah asal masing-masing. Proses pendidikan mereka dilanjutkan ke madrasah atau sekolah setara yang difasilitasi oleh Kasi Pondok Pesantren dan Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan (FKPPS) tingkat kabupaten/kota.
Pada 15 Februari 2022, Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Herry Wirawan. Setelahnya, Pengadilan Tinggi Bandung kemudian mengabulkan banding jaksa dan menjatuhkan vonis mati pada 4 April 2022. Mahkamah Agung memperkuat vonis tersebut pada Desember 2022.

Citra Pesantren jadi Pertaruhan
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan di lingkungan pendidikan berbasis agama ini sempat bikin kalangan santri gerah. Wakil Gubernur Jawa Barat saat itu, Uu Ruzhanul Ulum, menilai bahwa lembaga tempat Herry mengajar bukanlah pondok pesantren. Ia menyebut tempat tersebut sebagai boarding school atau sekolah berasrama, yang secara struktur dan substansi sangat berbeda dengan pesantren tradisional.
Uu, yang juga dikenal sebagai Panglima Santri Jawa Barat, menegaskan bahwa lembaga tempat Herry mengajar bukanlah pondok pesantren. Ia menyebut tempat tersebut sebagai boarding school atau sekolah berasrama, yang secara struktur dan substansi sangat berbeda dengan pesantren tradisional.
“Yang di Bandung itu kan bukan pesantren, tapi boarding school. Dengan pesantren sangat berbeda dan jauh,” kata Uu yang juga mendaku sebagai Panglima Santri Jawa Barat kala itu.
Pondok pesantren menurutnya memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari lembaga pendidikan lainnya. Ciri-ciri itu antara lain adanya kyai sebagai pengasuh utama, aktivitas pengajian kitab kuning, serta masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Pesantren juga umumnya bersifat nonkomersial dan tumbuh dari inisiatif masyarakat.
Uu juga berkata bahwa pengelolaan pesantren pada umumnya berbasis pengabdian. Para pengajar seringkali adalah pendiri pesantren itu sendiri, dibantu oleh keluarga atau santri senior. "Biasanya pengajarnya adalah pendiri dan dibantu oleh anak-anaknya, keluarga, ataupun santri senior, tidak ada gajih per bulan kalau di pesantren," kata dia.
Pernyataan Uu muncul sebagai upaya untuk menjaga marwah lembaga pesantren yang selama ini dianggap sebagai benteng moral dan pendidikan karakter berbasis agama di Indonesia. Uu menilai, menyebut tempat Herry mengajar sebagai pesantren justru bisa memperburuk persepsi publik terhadap lembaga-lembaga pesantren yang sah dan taat aturan.
Dia berharap masyarakat, termasuk media dan pembuat kebijakan, dapat lebih presisi dalam menyebutkan jenis lembaga pendidikan keagamaan. Dalam konteks kasus Herry, menurutnya, kesalahan klasifikasi bisa memicu stigma yang tidak semestinya terhadap pesantren-pesantren yang telah menjalankan fungsinya dengan baik.