Don Lego di acara Antek-Antek Lego Family Tasikmalaya Tahun 2016. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Ayo Netizen

Bandung hingga Tasikmalaya, Atmosfer Skena Musik Reggae dan SKA yang Sempat Terasa 

Rabu 18 Jun 2025, 12:05 WIB

Bandung sebagai lautan skena musik nampaknya tidak akan pernah hilang dalam ingatan. Namun, segelintir pihak perlahan mulai tak sependapat dengan narasi itu.

Menurutnya, Bandung sebagai ruang kreativitas dari berbagai macam genre musik memproduksi karya mereka telah lama pudar.

Dan yang tersisa hanyalah slogan dan romantisme cerita masa lalu. Tapi bagi saya, meski sekali pun pudar, ia akan tetap tinggal dan membekas dalam ingatan, bukan hilang atau terlenyapkan.

Bandung Inikami OrcheSKA (Sumber: Instagram.com | Foto: @maspremz dan @vikosaxo)

Saya kira hampir semua orang sependapat bahwa Bandung tak hanya ibukota provinsi. Ia juga episentrum  lahirnya segudang musisi dan seniman terkemuka di Jawa Barat, bahkan nasional. Tak sedikit dari karya mereka telah mempengaruhi iklim bermusik dan budaya populer anak muda.

Bandung dengan segala bentuk popularitasnya sebagai kota kreatif telah menjadi ekosistem subkultur yang relatif sehat. Skena musik, zine fotokopi, distro fashion, hingga konsistensi radio kampus andil terlibat sebagai medium publikasi menciptakan ruang interaksi yang subur.

Selain genre musik lain yang telah lebih dulu berkembang dan besar di kota Bandung, SKA dan Reggae memiliki kanal yang cukup besar karena keduanya menawarkan sesuatu yang otentik—hentakan musik yang energik, dengan ritme yang konsisten dan asyik: lirik yang ceria, meski tak jarang ia membungkus kritik sosial dengan porsi yang pas; dan terpenting, atmosfer penggemar yang hangat.

Bahkan lebih kompleks dari itu, dalam konteks tema yang kerap diketengahkan cukup beragam, ada yang menarasikan soal percintaan, konflik sosial, bahkan kritik terhadap kekuasaan. Selain itu, setiap karya lagu dan juga band mempunyai ciri khas yang otentik. 

Mengingat Kembali Atmosfer Reggae dan SKA

Perkembangan musik Reggae di Bandung sudah lama mencuat kepermukaan, yang semula didominasi oleh band-band underground, kini musik Reggae pun memberikan warna khas yang mengisi prulitas karya musik di Bandung.

Serupa dengan itu, peminat SKA pun di Indonesia pernah mengalami eskalasi yang cukup signifikan pada tahun 90’an akhir.

Projam Mari BerdanSKA 2016 (Sumber: X.com | Foto: Nada Promotama)

Meski terasa mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19 yang menghentikan sementara event-event musik, namun saat ini SKA mulai kembali bangkit dan masih tetap digemari oleh penikmat setianya. 

Gelombang antusiasme publik dalam mengapresiasi musik Jamaican Sound di kota kembang sangat luas. Bandung, sebagai salah satu episentrum perkembangan musik SKA dan Reggae di Indonesia.

Eksesnya, kota ini banyak melahirkan band-band terkemuka dengan musikalitas yang unik, struktur lirik yang mewah dan kemampuan bermusik yang maksimal sehingga satu sama lain mempunyai karakteristik yang berbeda. 

Barangkali, bagi yang menghabiskan usia remaja di tahun 2010-an hingga 2017 akhir, kita sempat mengalami bagaimana perkembangan musik SKA dan Reggae di Bandung mengalami eskalasi yang sangat signifikan. Puluhan Band pendatang baru mulai bermunculan, seiring dengan masifnya gigs kecil hingga event besar yang mewadahi mereka berkarya.

Bahkan, tak cuma event umum saja, Pensi hingga acara perpisahan sekolah pun tak luput dari euforia band-band Reggae dan SKA. Ya, benar saja. Ini adalah bukti bahwa popularitas musik domestik sudah menguasai sirkel anak muda hingga ke ruang-ruang kelas di sekolah.

Bahan perbincangan di tongkrongan atau di jam-jam istirahat tak pernah lepas dari harga tiket, rilisan lagu baru atau soal event acara Minggu depan. Situasi ini tidak hanya terjadi di ruang fisik, ia juga bermigrasi ke ruang digital.

Meski jumlah dan akses sosial media tidak semudah sekarang, Facebook dan Twitter menjadi medium bagi anak muda untuk bisa langsung sharing dengan komunitas, bahkan dengan musisinya langsung.

Rekam Historis Skena Musik Reggae dan SKA di Bandung yang Tercatat

Jika menyelami catatan historis ke belakang, di kalangan penikmat musik SKA, tentunya kita cukup akrab dengan variasi musik SKA-Punk. Berbeda dengan jenis SKA konvensional, sejumlah musisi SKA pun mulai menciptakan genre fusion SKA-Punk yang ternyata memperoleh ruang tersendiri di skena musik Jamaican Sound pada awal tahun 90’an. 

Ilustrasi musik SKA (Sumber: Pixabay.com | Foto: erika14666)

Jika melansir dari sejumlah sumber di internet, popularitas musik SKA-Punk sendiri berawal dari generasi era GOR Saparua di tahun 1995 yang dipelopori oleh band SKA-Punk bernama Agent Skins. Serupa pemantik, sejak saat itulah kemudian muncul ke permukaan nama-nama seperti Kingkong Beer, Young Coconut, Noin Bullet dan band-band lainnya. 

Namun sangat disayangkan, sejak GOR Sukapura tidak lagi menyajikan gigs, band-band indie dikala itu sempat kehilangan ruang dan kesulitan untuk mencari medium pengganti. Kendati bermusik di cafe-cafe yang menghadirkan live music rupanya bukanlah suatu jalan keluar agar tetap merawat api semangat SKA terus berkobar.

Di titik ini, karena pluralitas sub genre SKA yang kian variatif, SKA menjadi salah satu musik yang digandrungi kalangan muda, dan sebagai salah satu musik selain Reggae yang dicap sebagai musik perdamaian, kebebasan dan rasa cinta. 

Menyelami Skena Musik Reggae dan SKA Era Tahun 2010-an

Di tahun 2010-an, salah satu band SKA yang mulai mengembalikan lagi atmosfer lama adalah Bandung Inikami OrcheSKA.

Selain Don Lego yang sudah familiar, ada juga Sir’Iyai O.K Paris Van Java, yang salah satu penggawanya pun mantan bagian dari Don Lego.

Sir Iyai Music (Sumber: Instagram.com | Foto: @dejanrugerii dan @siriyaimusic)

Mereka adalah band yang cukup populer di Bandung bahkan nasional. Tidak sedikit fans mereka hadir tak hanya dari kalangan anak-anak muda Bandung, bahkan Tasikmalaya, Ciamis hingga melintasi wilayah provinsi Jawa Barat. 

Berbeda dengan musik SKA pada umumnya, Sir’Iyai mengeksplorasi musik SKA dan Rocksteady yang dikombinasikan dengan unsur keroncong khas nusantara menjadi “Jamaican Sound Keroncong”. Alhasil, ia memberikan warna baru di belantika musik Indonesia, bahkan mungkin yang pertama mengusung tema SKA Keroncong. 

Sebagai musisi yang sudah cukup lama berkarya, Sir’Iyai mencoba memperkenalkan dan melestarikan musik tradisi menjadi lebih inklusif dengan metode “tradisi X tradisi” dengan kata lain, ia berupaya menggabungkan dua genre yang berbeda yaitu SKA dan Keroncong. 

Sementara itu dari sisi musik Reggae, salah satu band yang juga mempunyai musikalitas yang tak kalah unik dan otentik yaitu band bernama Coffee Reggae Stone atau CRS. Band yang telah berdiri sejak tahun 2000 ini berasal dari Cicalengka Kabupaten Bandung.

Meski wilayahnya didominasi oleh perkembangan musik cadas, namun CRS mencoba melawan arus dengan berani mengusung Reggae sebagai aliran musik yang hendak mereka bawakan.

Menariknya, ia tak hanya terjebak dalam satu genre, CRS mencoba meracik beberapa genre lain dalam lagu-lagu mereka seperti blues, folk, etnik, pop bahkan balada. 

Buktinya, CRS telah berhasil mengkombinasikan instrumen musik nusantara seperti gamelang ke dalam salah satu karya mereka berjudul “Pasir Putih”. 

Atmosfer Reggae dan SKA Sampai ke Tasikmalaya

Gelombang euforia itu tak selesai di Bandung, bahkan terasa hingga ke Tasikmalaya.

Sekitar tahun 2013 saya merasakan bagaimana atmosfer SKA dan Reggae menyesaki skena musik wilayah priangan timur. Hampir setiap akhir pekan event-event Reggae dan SKA diselenggarakan di GOR Sukapura.

Don Lego di acara Antek-Antek Lego Family Tasikmalaya Tahun 2016 (Sumber: Document Pribadi | Foto: Yayang Nanda Budiman)

Antusiasme tak kalah dengan kota besar seperti Bandung atau Jakarta. Tak hanya diramaikan oleh band-band lokal seperti Jamaican Coffee Latte atau Sunday Morning SKA, tidak sedikit band-band luar kota pun mengisi event serupa seperti Don Lego, Scimmiaska, Monkey Boots, dan masih banyak lagi.

Puncaknya, skena musik ini telah mempengaruhi lifestyle anak muda Tasikmalaya pada saat itu. (*)

Tags:
SKAreggaemusikskenaTasikmalayaBandung

Yayang Nanda Budiman

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor