Tujuh puluh sembilan tahun sudah institusi Polri berdiri. Sejak 30 Oktober 1951, Polri tercatat sebagai salah satu lembaga negara pertama yang memiliki divisi hubungan masyarakat (humas).
Namun justru di usia matangnya, Polri dihadapkan pada tantangan komunikasi yang semakin kompleks, bahkan cenderung paradoks: membangun citra puluhan tahun bisa ambruk hanya karena satu video viral berdurasi 30 detik.
Kasus terbaru terjadi akhir Juni lalu. Seorang anggota polisi terekam sedang "nyawer" penyanyi di Bogor. Cuplikan itu langsung menyebar luas, mengundang cemoohan, dan mengikis kembali kepercayaan publik yang susah-payah dibangun.
Fenomena ini memperlihatkan celah besar antara pesan institusional dan persepsi masyarakat yang dibentuk lewat pengalaman, emosi, dan viralitas konten media sosial.
Di era post-truth, di mana emosi mengalahkan fakta, dan algoritma lebih dipercaya ketimbang klarifikasi resmi, kehadiran Humas Polri menjadi semakin strategis namun juga semakin rentan. Polri tak hanya dituntut tegas dalam penegakan hukum, tapi juga tangkas dalam pengelolaan narasi publik.
Masalahnya, kepercayaan publik kini tak lagi lahir dari bukti hukum objektif, melainkan dari eksposur media yang sensasional. “No viral, no justice” menjadi realitas sehari-hari.
Citra Polri menjadi rapuh. Mudah naik karena satu keberhasilan, tapi mudah runtuh karena satu insiden viral. Ini menandakan pergeseran indikator legitimasi dari kinerja ke persepsi, dari substansi ke simbol. Di titik ini, strategi komunikasi Polri perlu ditinjau ulang secara menyeluruh.
Sayangnya, komunikasi publik Polri belum sepenuhnya adaptif. Pemanfaatan media digital masih didominasi pendekatan konvensional. Penggunaan data analitik untuk memantau opini publik belum maksimal. Kolaborasi dengan media massa dan kreator digital pun masih minim.
Di sisi lain, personel humas, khususnya di tingkat daerah, masih banyak yang belum dibekali dengan keterampilan jurnalistik, narasi digital, atau pemahaman lanskap media sosial.
Padahal, Polri memiliki struktur besar. Data 2024 mencatat 464.248 anggota yang tersebar di 34 Polda dan 615 Polres. Tanpa sistem komunikasi yang solid, potensi distorsi pesan sangat besar. Ketika pesan dari pusat tak tersampaikan secara utuh ke bawah, yang muncul adalah kebingungan publik dan erosi kepercayaan.

Menghadapi tantangan ini, Polri tidak cukup hanya merespons isu. Humas harus lebih proaktif, menyusun narasi berbasis data dan empati.
Cerita keberhasilan polisi perlu dikemas lebih humanis, inspiratif, dan emosional. Media sosial bisa menjadi jembatan utama, bukan sekadar etalase formal. Konten yang menyentuh hati akan jauh lebih mengena ketimbang sekadar slogan kaku seperti “melindungi dan mengayomi.”
Pembenahan internal juga krusial. Pelatihan komunikasi bagi personel humas perlu diperluas. Tak hanya kemampuan teknis, tapi juga etika komunikasi dan keterampilan mendengarkan masyarakat.
Kita bisa belajar dari Selandia Baru saat pandemi: satu suara, satu narasi, satu gaya komunikasi. Atau dari Norwegia yang membangun sistem komunikasi lintas lembaga dan daerah sehingga kebijakan disampaikan seragam dan punya legitimasi bersama.
Di luar itu, Polri harus mulai membangun ekosistem komunikasi yang terbuka. Literasi digital publik perlu ditingkatkan, kolaborasi dengan media dan komunitas digital diperkuat, dan mekanisme umpan balik publik dibuka seluas-luasnya. Edukasi bukan hanya dilakukan saat krisis terjadi, tetapi sebagai bagian dari strategi komunikasi jangka panjang.
Dan yang tak kalah penting, semua ini harus ditopang oleh komitmen kepemimpinan yang visioner. Tanpa keberanian mengubah cara lama yang reaktif, komunikasi Polri akan terus tertinggal. Humas bukan lagi sekadar pelengkap, tapi harus jadi ujung tombak institusi dalam merawat kepercayaan publik yang makin menipis.
Selamat Hari Bhayangkara ke-79. Saatnya komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tapi membangun harapan. (*)
Tonton Podcast Ayotalk dari Ayobandung: