Kita sedang hidup di zaman ketika banyak dosa makin sering disamarkan lewat cara komunikasi publik yang terdengar ramah dan keren. Perilaku menyimpang yang dulunya disebut apa adanya, kini dibungkus istilah yang dianggap modern dan sah diperjuangkan.
Salah satunya, sebutan bencong atau banci kini diganti dengan kata seperti LGBT, gay, queer, atau nonbiner.
Pertanyaannya, apakah penggantian istilah ini benar-benar membawa nilai kemanusiaan yang lebih baik, atau justru menyuburkan perilaku yang bertentangan dengan semua ajaran agama di negeri ini?
Sebelum lebih luas, KBBI daring menyebut banci adalah bencong, serta sebaliknya, dengan definisi, "1. tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan; 2 laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan; wadam; waria;" Artinya, negara mengakui kata tersebut tanpa ada tendensi merendahkan seseorang.
Namun setidaknya lima tahun terakhir, muncul istilah baru tersebut. Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai ketuhanan, penggunaan istilah global ini justru berbahaya. Penghalusan istilah itu menghapus rasa salah dan membuka ruang pembenaran.
Jika dulu seorang remaja yang mulai bergaya kewanita-wanitaan mungkin merasa malu atau ditegur, sekarang ia cukup menyebut dirinya sebagai queer atau bagian spektrum LGBTQ. Ia merasa itu adalah hak, bukan pelanggaran.
Di sinilah jebakan eufemisme bekerja. Kata-kata yang mestinya memberi batas moral malah berubah menjadi selimut penyangkalan. Bahaya yang mestinya diwaspadai menjadi gaya hidup yang dirayakan. Bahasa dalam komunikasi membentuk realitas. Dan ketika kata-kata itu tidak lagi menunjukkan kejujuran makna, masyarakat akan terseret normalisasi.
Semua agama di Indonesia, dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, hingga Buddha, dengan jelas menolak perilaku homoseksual. Namun karena istilah seperti gay dan queer terasa netral, bahkan modern, banyak yang mulai menganggapnya bukan lagi masalah moral, tapi semata-mata pilihan identitas.
Ketika diksi yang digunakan berubah, rasa bersalah pun ikut menghilang. Padahal rasa bersalah itulah awal dari kesadaran untuk berubah.
Contoh eufemisme lain yang kontraproduktif bisa ditemukan di berbagai ranah sosial. Koruptor disebut menyalahgunakan anggaran. Pelacur disebut pekerja seks komersial.
Pembunuhan janin disebut hak reproduksi. Anak-anak muda yang kecanduan judi online disebut gamers dengan minat khusus. Aborsi bahkan dipanggil: hak reproduksi perempuan!
Semua ini tampak seolah untuk menghormati, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat kehilangan kemampuan untuk melihat mana yang benar dan mana yang salah.
Komunikasi dan bahasa sepatutnya mendidik, bukan menyembunyikan. Dalam konteks dakwah dan pendidikan moral, penggunaan istilah yang jujur sangat penting. Qullil haqqi wa lau kanna murron, katakanlah yang benar sekalipun pahit.
Komunikasi Jujur

Kita, memang, boleh berbicara santun, tapi tidak boleh mengaburkan fakta. Bila istilah lokal seperti bencong dianggap kasar, maka sampaikanlah dengan empati dan kasih, namun tetap jujur.
Jangan ganti dengan istilah yang malah menguatkan jaringan global penyimpangan itu. Yang membuat pelaku merasa dibenarkan dunia modern.
Di dunia digital, hal ini semakin genting. Ketika seseorang yang menyebut dirinya queer di Indonesia merasa menjadi bagian dari gerakan global yang didukung selebritas, film, influencer, bahkan lembaga internasional, ia mendapatkan penguatan terus-menerus.
Kritik dari masyarakat lokal dianggap intoleransi, bukan nasihat kultural atau spiritual. Perilaku yang mestinya menjadi titik perbaikan justru dijadikan identitas permanen.
Komunikasi publik harus berani berkata tegas namun tidak menghina. Bahasa harus kembali menjadi alat membimbing, bukan membungkus penyimpangan.
Jika kita ingin generasi muda Indonesia tumbuh dengan arah moral sehat, kita tidak bisa lagi menyerahkan bahasa pada kampanye global yang tak peduli nilai luhur bangsa ini.
Inilah saatnya kita kembali jujur dalam berbahasa, jangan sampai demi alasan sopan dan modern, kita ikut menormalisasi perilaku salah. Bukan berarti kita harus kasar atau membenci.
Justru sebaliknya, cinta sejati muncul ketika kita mau mengatakan yang benar meskipun itu tidak populer. Kita tidak sedang menolak manusia, tapi menolak perilakunya! (*)