Gedung Sate, salah satu ikon Kota Bandung. (Sumber: Djoko Subinarto | Foto: Djoko Subinarto)

Ayo Netizen

Bosscha Menatap Bintang, Gedung Sate Mengelola Bumi

Senin 07 Jul 2025, 12:21 WIB

DI ketinggian utara Bandung, teleskop raksasa Observatorium Bosscha berdiri menatap langit Bandung. Bosscha bukan hanya simbol kemajuan ilmu astronomi di masa kolonial, tetapi juga monumen bagi rasa keingintahuan manusia.

Tak sedikit generasi muda yang pertama kali mengenal galaksi lewat kunjungan ke Bosscha. Di Bosscha, pengetahuan bukan hanya milik masa lalu, tetapi diwariskan pula untuk masa depan.

Sementara itu, di pusat Kota Bandung, Menara Gedung Sate menjulang bak ingin menembus cakrawala. Bentuk tusuk sate pada puncaknya menjadikannya mudah dikenali dari kejauhan. Sejak tahun 1920, bangunan ini berdiri megah sebagai simbol otoritas pemerintahan.

Gedung ini bukan hanya kantor semata, tetapi pusat pengambilan keputusan yang berdampak pada jutaan warga Jawa Barat. Gedung Sate menjadi saksi bisu pergantian zaman, mulai dari era kolonial, kemerdekaan, hingga era digital kiwari.

Keduanya menjadi dua ikon penting yang menandai perjalanan Bandung sebagai kota ilmu dan kota kebijakan. Bosscha menunjukkan sisi kontemplatif Bandung, sementara Gedung Sate merepresentasikan sisi praktisnya. Ini seperti yin dan yang. Saling bertolak belakang, tetapi juga saling melengkapi. 

Bosscha mengajarkan kita menatap bintang, sementara Gedung Sate mengajarkan kita mengelola Bumi. Di Bosscha, para astronom belajar memahami hukum-hukum alam, sementara di Gedung Sate, para pejabat berupaya menerjemahkan kebutuhan rakyat ke dalam sejumlah kebijakan. Keduanya membutuhkan ketelitian, logika, dan kesadaran atas konsekuensi keputusan.

Bedanya hanya pada bidang garapannya. Yang satu terkait dengan aspek luar angkasa, yang satunya lagi terkait aspek sosial sehari-hari.

Simbol modernitas Hindia Belanda

Sejak awal abad ke-20, Observatorium Bosscha menjadi simbol modernitas Hindia Belanda. Kala itu, belum banyak negara di Asia yang memiliki teleskop besar. Keberadaan Bosscha menandakan keseriusan pemerintah kolonial meneliti langit sebagai bagian dari ekspansi pengetahuan.

Meski awalnya berdimensi kolonial, Bosscha kemudian diwarisi bangsa Indonesia sebagai pusat edukasi dan penelitian. Generasi demi generasi belajar di Bosscha, menegaskan pentingnya kesinambungan keilmuan.

Didirikan pada 1923 oleh Karel Albert Rudolf Bosscha, tempat ini menandai keseriusan insan Nusantara mengkaji semesta. Bosscha, seorang pengusaha perkebunan, justru peduli pada ilmu dan bersedia menghibahkan hartanya demi membangun observatorium.

Langkah ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu bergantung pada negara, tetapi juga pada inisiatif personal. Pengorbanan Bosscha dapat menjadi inspirasi bagi siapa saja yang bercita-cita memajukan bangsa.

Di era yang sama, Gedung Sate dirancang sebagai pusat administrasi pemerintahan kolonial untuk wilayah Priangan. Gedung ini menjadi bukti keseriusan pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola wilayah strategis. Gaya arsitekturnya memadukan unsur tradisional Nusantara dan Eropa, memperlihatkan kompromi budaya pada zamannya.

Namun, di balik estetika itu, Gedung Sate juga menjadi lambang kekuasaan dan kontrol atas tanah jajahan. Warisan dualitas ini yang masih terasa hingga sekarang.

Baik Observatorium Bosscha maupun Gedung Sate lahir di masa yang hampir bersamaan. Ini menunjukkan kebutuhan penguasa untuk menata wilayah dan memahami langit. Seolah ada kesadaran kolektif bahwa menguasai Bumi dan memahami langit adalah dua kunci dominasi.

Jika pengamatan astronomi memungkinkan navigasi dan kontrol sumber daya, administrasi pemerintahan memastikan kekuasaan tetap stabil. Bandung, dengan dua simbol ini, menjadi saksi bagaimana pengetahuan dan politik berjalan beriringan.

Itulah titik awal Bandung menapaki jalan sebagai kota yang mempertemukan ilmu pengetahuan dengan urusan kekuasaan. Dari sana, warisan intelektual dan birokrasi terus tumbuh dalam denyut nadi kota ini. Maka, Bandung bukan hanya melahirkan inovasi teknologi, tetapi juga ide-ide perlawanan.

Tak heran, banyak gerakan politik berakar dari Bandung, dari era kolonial hingga pascareformasi. Kota ini mengajarkan pentingnya menyatukan logika dan nurani dalam mengurus bangsa.

Kini, Gedung Sate menjadi kantor Gubernur Jawa Barat. Di dalamnya tersimpan catatan perjalanan kebijakan selama puluhan tahun. Setiap kebijakan gubernur akan menentukan arah pembangunan Jawa Barat, termasuk Bandung sebagai ibu kota provinsi.

Adapun Bosscha terus digunakan sebagai tempat riset dan pendidikan astronomi. Ribuan pelajar dari seluruh Indonesia datang setiap tahun untuk belajar astronomi dasar. Mereka berkesempatan mengintip keajaiban langit melalui teleskop Zeiss raksasa.

Bosscha tak hanya tempat belajar teori, tetapi juga tempat membangun rasa kagum pada alam semesta. Dari rasa kagum inilah diharapkan muncul kesadaran menjaga Bumi.

Dari kedua tempat ini, kita belajar bahwa Bandung selalu menjadi arena dialog antara langit dan tanah. Dialog itu bukan sekadar metafora, tetapi nyata dalam aktivitas sehari-hari warga. Mahasiswa berbincang soal penelitian sambil berdiskusi kebijakan publik.

Rakyat kecil menuntut keadilan di depan Gedung Sate, sementara peneliti menuntut anggaran riset untuk Bosscha. Semua menegaskan Bandung sebagai ruang hidup bagi ide dan aksi.

Bukan hanya kota tujuan wisata

Observatorium Bosscha di Lembang. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)

Tak banyak kota yang punya sejarah panjang pusat penelitian dan pusat administrasi pada waktu hampir bersamaan, seperti Bandung. Inilah yang menjadikan Bandung bukan hanya kota tujuan wisata, tetapi juga laboratorium sosial, politik, dan teknologi.

Kota ini ibarat panggung tempat gagasan besar diuji. Jika berhasil di Bandung, besar peluang bisa diterapkan di daerah lain.

Singkatnya, Bandung bukan hanya kota untuk pelesiran semata, tetapi juga kota pemikiran. Banyak ide besar nasional lahir dari ruang-ruang diskusi di kampus atau warung kopi di Bandung. Kota ini juga melahirkan gerakan seni dan sastra.

Berbagai karya seniman Bandung bukan hanya mampu menembus kancah nasional, tetapi juga kancah internasional. Semua itu tak lepas dari ekosistem intelektual yang terbangun sejak lama.

Bahkan, tokoh-tokoh pergerakan nasional banyak yang pernah menimba ilmu di kota ini. Sebut saja Soekarno dan juga BJ Habibie yang belajar di ITB, atau Mohammad Hatta yang sering berdiskusi dengan para aktivis Bandung.

Bandung menjadi kawah candradimuka bagi tokoh nasional yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Suasana kota yang egaliter memudahkan bertemunya ide-ide segar. Inilah kekayaan tak ternilai yang harus terus dijaga.

Dari inovasi teknologi hingga demonstrasi mahasiswa yang menuntut keadilan, semuanya menemukan ruang di Bandung. Kota ini tak hanya merayakan gagasan, tetapi juga menyalurkan aspirasi. Bandung memberi ruang bagi mimpi dan protes, dua unsur penting demokrasi.

Dari Bandung, Konferensi Asia Afrika memancar, memperlihatkan bahwa pemikiran Bandung bisa mempengaruhi dunia. Pada 1955, negara-negara Asia dan Afrika berkumpul di sini menolak kolonialisme, dan menegaskan solidaritas global. Konferensi akbar itu lahir dari kesadaran Bandung sebagai kota persimpangan gagasan dan kekuatan.

Pengaruhnya terasa hingga kini dalam gerakan negara-negara berkembang. Ini bukti bahwa Bandung mampu menjadi panggung internasional.

Semua itu berawal dari semangat kritis dan keberanian intelektual yang sudah tertanam sejak era awal Bosscha dan Gedung Sate. Kritis bukan berarti hanya protes, tetapi juga kesediaan mencari solusi alternatif. Intelektual yang berani bukan hanya bicara, tetapi juga bertindak konsisten.

Spirit inilah yang membuat Bandung tetap relevan di setiap era. Dan semua itu dimulai dari kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Ruang kontemplasi dan ruang kebijakan

Bosscha menjadi metafora ruang kontemplasi, sedangkan Gedung Sate sebagai metafora ruang kebijakan. Jika keduanya dipisahkan, maka kebijakan tak lagi berdasarkan refleksi mendalam.

Tetapi, jika keduanya bersinergi, akan lahir keputusan yang menyentuh akar masalah. Seperti langit dan Bumi yang bertemu di cakrawala, sains dan kebijakan seharusnya saling bertaut. 

Namun, ketika salah satu mendominasi, Bandung hanya melahirkan kebijakan setengah hati atau teori tanpa dampak nyata. Kebijakan tanpa riset rentan salah sasaran. Sebaliknya, teori tanpa dukungan kebijakan hanya akan jadi wacana akademik.

Maka, keseimbangan dua kutub ini adalah kunci Bandung tetap menjadi kota pembelajaran. Keseimbangan itu pula yang menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

Oleh sebab itu, kolaborasi ilmu dan politik harus dijaga agar Bandung tetap jadi pionir perubahan. Semua bermula dari kebiasaan berdialog dan saling mendengar. Jika ini terhenti, Bandung akan kehilangan keistimewaannya. Kota ini hanya akan jadi museum gagasan tanpa eksekusi.

The Beatles pernah berseru lewat salah satu liriknya: “You say you want a revolution, well you know, we all want to change the world.” Lirik tersebut menegaskan bahwa keinginan mengubah dunia ada di banyak orang.

Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta

Namun, keinginan saja tak cukup tanpa pengetahuan dan kebijakan nyata. Revolusi sejati lahir dari sinergi lintas sektor. Bandung harus terus menjaga ruang bagi kerja sama agar perubahan positif tetap bergulir.

Dan revolusi hanya terjadi jika sains dan kebijakan saling mendukung, bukan saling menegasikan. Sejarah Bandung sudah membuktikan bahwa saat keduanya sejalan, perubahan besar terjadi. Konferensi Asia Afrika hingga berbagai kebijakan publik berbasis riset lahir dari harmoni itu.

Ke depan, tantangan semakin kompleks dan membutuhkan solusi lintas disiplin. Bandung punya modal untuk itu, asal terus mempertahankan semangat kolaborasi.  Spirit ini harus dijaga dan diwariskan pada generasi berikutnya. Agar Bandung tetap menjadi kota yang tidak hanya indah, tetapi juga cerdas dan berpihak pada rakyat. (*)

Tags:
BosschaGedung SateBandung

Djoko Subinarto

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor