Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, kembali menyoroti konflik hukum yang melilit pengelolaan Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo) saat ditemui di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukencana, sebagaimana dilansir detik.com, Selasa (1/7/2025).
Ia menegaskan bahwa sengketa berkepanjangan ini telah berdampak serius pada upaya konservasi satwa, dengan banyaknya hewan yang mulai mati akibat kondisi yang semakin memprihatinkan.
Bila ditarik ke belakang, sejarah Kebun Binatang Bandung mencatat pola kelam yang berulang.
Laporan investigasi mingguan De Heraut pada 22 Desember 1939 pernah mengungkap praktik mengerikan di bawah kepemimpinan direktur Jhr. JCK Godman.
Dokumen tersebut mencatat bagaimana hewan-hewan diperlakukan secara tidak manusiawi, mulai dari operasi menggunakan alat-alat tidak steril seperti pisau dapur dan pahat, pemberian monyet hidup sebagai pakan predator, hingga pembiaran satwa sakit yang berujung pada kematian.
Kini, 86 tahun kemudian, kebun binatang ini kembali menjadi sorotan akibat konflik hukum dan manajemen yang kacau.
Kepentingan administratif dan birokrasi justru mengalahkan kesejahteraan satwa yang seharusnya menjadi prioritas utama sebuah institusi konservasi.

Berawal dari Jubileumpark
Pada awal tahun 1933, wacana pendirian kebun binatang di Bandung mulai mengemuka.
Informasi ini terekam dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (NDNI) edisi 22 Maret 1933, yang melaporkan rencana Dewan Kota Bandung untuk mengadakan pertemuan pada hari Rabu, 28 Desember, pukul setengah tujuh malam, akan diadakan pertemuan umum di Ruang Rapat Balai Kota.
Agenda utama rapat tersebut adalah membahas beberapa lahan Tjikapoendoeng-raviju (Jubileumpark) yang dihibahkan untuk warga dalam rangka HUT ke-25 Kota Bandung, guna pembangunan Bandoengsch Zoologisch Park.
Pada perkembangan berikutnya, NDNI edisi 11 Mei 1933 memberitakan hasil rapat 29 Maret 1933, di mana usulan bantuan keuangan untuk pendirian telah dikeluarkan dan disetujui oleh pemerintah Kota Bandung.
Dana sebesar 2000 gulden dialokasikan, terutama untuk pembelian koleksi binatang, pembangunan kandang, serta penyediaan fasilitas penampungan dan pakan hewan.
Sebelas hari setelah berita tersebut, tepatnya pada 22 Mei 1933, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan bahwa Bandoengsch Zoologisch Park resmi dibuka pada Sabtu sore, 20 Mei 1933.
Acara peresmian berlangsung meriah, diawali dengan pemotongan pita oleh Nyonya Von Wolzogen Kühr.
Setelah itu, Ketua asosiasi, H. Hoetjer, menerima para tamu dan memberikan pidato singkat. Kemudian mereka menuju kebun binatang mengajak para tamu untuk berkeliling dan menikmati koleksi awal kebun binatang yang terdiri dari seekor singa, seekor gajah, beberapa macan kumbang, kera, buaya, musang, serta aneka burung.

Upaya Pemeliharan Pemerintah Kolonial
Dilansir dari surat kabar De Koerier yang terbit pada 15 Mei 1936, berdasarkan laporan keuangan Bandung Zoological Park tahun 1935, terlihat betapa seriusnya pemerintah kolonial mengembangkan kebun binatang sebagai sarana rekreasi sekaligus konservasi.
Sejumlah ƒ431,98 dihabiskan untuk pembelian dan perawatan hewan, sementara ƒ2007,83 dialokasikan untuk pembangunan fasilitas hiburan seperti komedi putar, ayunan, dan balok lari. Restoran di dalam kebun binatang menelan biaya ƒ1535,19, dengan total penyusutan aset mencapai ƒ857,83.
Yang menarik, pemeliharaan hewan menjadi prioritas dengan anggaran mencapai ƒ3050,05 untuk obat-obatan, listrik, dan pakan, termasuk ƒ2158,99 khusus untuk daging, roti, dan susu.
Sementara itu, sumbangan dari anggota dewan seperti Tn. ADH Bosch (ƒ100) turut mendukung pembangunan galeri predator kecil.
Dari sisi pendapatan, kebun binatang ini mengandalkan tiket masuk dan sumbangan anggota, hal ini menunjukkan antusiasme masyarakat era itu terhadap fasilitas hiburan modern.
Namun, di balik gemerlapnya, laporan ini juga mengungkap praktik pengelolaan yang efisien, seperti penjualan kayu bakar untuk menutupi biaya pemeliharaan kebun (ƒ766,50).

Praktik Brutal di Balik Taman Margasatwa
Laporan investigasi mingguan De Heraut pada 22 Desember 1939 membongkar kenyataan pahit tentang wajah kelam Bandung Zoological Park di bawah kendali direktur Jhr. JCK Godman.
Dokumen tersebut memaparkan serangkaian praktik keji yang dilakukan secara sistematis, mengungkap bagaimana institusi yang semestinya menjadi tempat perlindungan satwa justru berubah menjadi rumah siksaan.
Salah satu kasus paling mengerikan terjadi ketika seekor burung menjalani "operasi" menggunakan pisau dapur dan pahat, alat-alat kasar yang sama sekali tidak steril dan tidak pantas digunakan untuk tindakan medis. Akibatnya, burung malang itu nyaris mati kehabisan darah, menderita dalam kesakitan yang tak terbayangkan.
Kekejaman ini ternyata bukan insiden tunggal. Pengawas Tn. Jacobs tercatat pernah memerintahkan bawahannya untuk melemparkan monyet hidup sebagai makanan bagi hewan predator.
Perintah biadab ini akhirnya ditolak oleh beberapa staf yang masih memiliki hati nurani, menunjukkan bahwa meski berada dalam sistem yang korup, masih ada suara-suara humanis yang berani melawan.
Namun, kisah pilu lainnya datang dari seekor singa yang dibiarkan menderita sakit tanpa perawatan memadai hingga akhirnya mati dalam kesendirian.
Yang lebih mengerikan, dokter hewan yang bertugas bahkan tidak menyadari adanya jari kaki segar di dalam kandang singa tersebut, sebuah temuan mengerikan yang mengindikasikan kemungkinan sumber infeksi atau bahkan praktik kanibalisme di antara satwa yang kelaparan.
Dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (18 Juni 1940), telah memuat kesaksian Godman dalam sidang pengadilan. Puncak dari semua kekejaman ini adalah pengakuan Godman sendiri tentang kebijakan "pengurangan populasi" monyet dengan alasan overkapasitas.
Dengan dingin, ia membenarkan pembunuhan massal satwa-satwa tersebut, sambil secara sengaja berusaha menutupi fakta ini dari pengetahuan publik.
Dalam pernyataan di pengadilan, Godman membela kebijakannya: 'Apa yang kalian sebut kekejaman, kami sebut manajemen populasi. Setiap bulan kami harus memilih, memberi makan pengunjung atau memberi makan monyet.'
Sikap Godman ini tidak hanya menunjukkan kelalaian, tetapi lebih jauh lagi, sebuah pandangan yang melihat satwa sebagai barang disposabel yang bisa dihabisi kapan saja demi kepentingan pengelolaan.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Pengadilan yang Membongkar Kebobrokan
Melalui data yang termuat dalam Laporan De Heraut, mantan pengawas Tn. Kabul membeberkan daftar mengerikan satwa yang menjadi korban kebijakan Godman: sembilan zebra mati kelaparan, seekor babi hutan dan tiga hewan kecil dibantai, empat angsa, serta sembilan monyet dibunuh tanpa alasan medis.
Yang paling memilukan adalah seekor beruang madu muda tewas diabaikan, sementara burung merpati hibrida harus menderita akibat pemotongan sayap kasar menggunakan pahat oleh staf tak kompeten.
Saat dihadapkan pada bukti-bukti tak terbantahkan ini, Godman justru memberikan pembelaan yang memalukan nan bengis.
Ia mengakui menjadikan monyet hidup sebagai pakan predator dengan dalih kelangkaan daging kuda, membenarkan praktik pemotongan sayap meski menggunakan alat seadanya, dan bersikukuh beruang yang pernah berkelahi tak akan mengulanginya, sebelum akhirnya seekor beruang muda tewas digigit beruang dewasa.
Skandal ini memicu gelombang kemarahan publik hingga berujung pada proses hukum. Seperti dilaporkan Bataviaasch Nieuwsblad (18 Juni 1940), sidang perkara terhadap redaktur De Heraut A. Weeber yang mempublikasikan kasus ini justru berbalik menjadi pengadilan bagi Godman.
Di hadapan hakim kepolisian Bandung Tuan Swaab, terungkap bagaimana kebijakan Godman telah menciptakan neraka bagi satwa-satwa malang.
Persidangan yang juga diliput Soerabaijasch Handelsblad (21 Juni 1940) ini menghadirkan saksi-saksi kunci. Tuan A. van der Spek dari Asosiasi Perlindungan Hewan Hindia Belanda memberikan kesaksian ahli, sementara manajer kebun binatang Watma serta sipir Mochtar dan Jacobs menguatkan bukti-bukti pelanggaran.
Hasilnya, pengadilan memutuskan Godman bersalah dan menjatuhkan hukuman denda ƒ50,- dan 10 hari penjara, serta kemungkinan pencabutan fasilitas pribadi sebagai tindakan disipliner.
Kasus-kasus ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bukti kekejaman sistemik di balik institusi kolonial yang memandang satwa sebagai properti belaka. Laporan De Heraut ini membeberkan bagaimana kebun binatang yang semestinya menjadi simbol kemajuan dan pendidikan justru berubah menjadi panggung penyiksaan hewan dengan dalih efisiensi.
Fakta-fakta ini memaksa kita untuk mempertanyakan berapa banyak lagi kekejaman serupa yang terjadi, serta menjadi pengingat kelam tentang warisan kolonial yang sering kali diromantisasi tanpa melihat sisi gelapnya. (*)
Tonton Obrolan Sejarah Franz Wilhelm Junghuhn: