Inilah logo baru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Welas Asih (Sumber: www.jabarprov.go.id | Foto: Humas Jabar)

Ayo Netizen

Memupuk Welas Asih, Menebar Belas Kasih

Kamis 10 Jul 2025, 12:27 WIB

Gubernur Jawa Barat resmi mengusulkan nama RSUD Al Ihsan diganti menjadi Welas Asih. Perubahan nama RSUD Al Ihsan menjadi Welas Asih tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat No: 445 Tahun 2025.

Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa perubahan nama ini dimaksudkan agar lebih dekat dengan karakter masyarakat Jawa Barat. Harapannya, nama Welas Asih selaras dengan budaya lokal sekaligus mencerminkan semangat kasih sayang yang universal.

Nama baru ini berasal dari istilah dalam bahasa Sunda dan Jawa yang bermakna "kasih sayang". Konsep ini terinspirasi dari nilai-nilai Asmaul Husna, khususnya Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang berarti Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Welas Asih ini bukan sekadar simbol, melainkan jembatan makna antara nilai keimanan dan kearifan lokal. Dengan mencerminkan semangat pelayanan dengan kasih, keikhlasan, dan kepedulian, yang menjadi inti dari pelayanan kesehatan yang bermartabat.

Perubahan ini, diharapkan menjadi rumah sakit yang tidak hanya menyembuhkan tubuh, menenangkan jiwa yang menghadirkan sentuhan kasih di setiap tindakan medis, sesuai dengan semangat merawat dengan cinta, melayani dengan hati. (Humas Jabar dan www.jabarprov.go.id, Ayo Bandung Rabu, 2 Juli 2025 | 13:48 WIB dan Senin, 7 Juli 2025 | 19:48 WIB)

“Kita membangun rumah sakit tidak hanya dengan bangunan, tapi juga dengan nilai-nilai.”  Gubernur KDM

Pasca pengumuman itu, kata welas asih menjadi bahan perbincangan publik. Banyak pihak mulai mendalami dan mencari makna di balik istilah kearifan lokal, sekaligus menanggapi pro dan kontra atas perubahan nama rumah sakit kebanggaan urang Bandung.

Infografis Welas Asih, Jembatan antara Spiritual Islam dan Nilai Lokal (Sumber: Humas Jabar | Foto: Instagram)

Khazanah Kearifan Lokal

Dalam budaya Sunda, Welas Asih memiliki makna mendalam, kasih yang tulus, empati yang nyata, dan dorongan kuat untuk menolong sesama. Nilai luhur ini sejalan dengan prinsip hidup masyarakat Sunda, Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh (saling menyayangi, saling menguatkan, dan saling melindungi)

Dalam perspektif Islam, konsep welas asih ini sangat selaras dengan sifat-sifat Allah SWT, Ar-Rahman (الرحمن), kasih-Nya meliputi seluruh makhluk tanpa kecuali; Ar-Rahim (الرحيم), kasih-Nya khusus bagi orang-orang yang beriman.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memaparkan makna filosofis dari logo baru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Welas Asih.

Logo yang didominasi siluet kujang berwarna biru itu sarat akan simbolisme budaya dan nilai-nilai kemanusiaan. "Ini gambar kujang dengan tiga lubang di punggungnya yang melambangkan Islam, Iman, dan Ihsan," ujar KDM sapaan akrab Gubernur, Selasa (8/7/2025).

Di bagian bawah kujang, terdapat simbol menyerupai rahim yang memiliki makna mendalam. Selain mewakili perempuan sebagai sumber kehidupan, simbol ini mencerminkan filosofi SundaTri Tangtu di Buana yang mengandung tiga unsur kepemimpinan Rama, Resi, dan Prabu.

Simbol ini menggambarkan pelestarian alam, sebagaimana falsafah Sunda Gunung kaian, lengkob kudu awian, lebak kudu sawahan.

Di dalam siluet kujang, terdapat kaligrafi Arab berwarna hijau bertuliskan Ar-Rahman Ar-Rahim yang bermakna "Maha Pengasih Maha Penyayang", sekaligus menjadi dasar nama RSUD Welas Asih.

Antara siluet kujang dan simbol rahim, terdapat lima titik berwarna merah muda yang tersusun sejajar. Kelima titik ini melambangkan siklus kehidupan dari lahir hingga wafat, serta menggambarkan nilai Panca Waluya yang menjadi prinsip pelayanan rumah sakit Cageur, Bageur, Bener, Pinter, dan Singer.

Makna mendalam dari simbol rahim yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan. "Manusia lahir dengan cinta," katanya. (Humas Jabar dan www.jabarprov.go.id)

Bobby Steven MSF, dosen di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan gaya yang menarik mengupas makna "welas asih" dalam konteks bahasa daerah.

Bahasa Indonesia beruntung memiliki aneka bahasa daerah Nusantara sebagai sumber kosakata (baru). Umpama, bahasa Indonesia telah menyerap welas asih dari bahasa Jawa dan Sunda.

Welas asih berarti ’sikap belas kasih atau cinta kasih’. Kata ini dapat menerjemahkan kata maitri (bahasa Sanskerta) atau metta (Pali) yang berarti ’sikap baik hati’ seperti kepada sahabat (laman oxfordreference).

Welas asih dan wedi asih dalam bahasa Jawa adalah contoh dari ”kata rangkap” atau tembung saroja. Sebuah tembung saroja terdiri atas dua kata yang (hampir) sama maknanya dan digunakan bersamaan untuk menegaskan makna. (Kompas, 31 Oktober 2023)

Mari kita bandingkan dengan pandangan Dwi Hardani Oktawirawan dan Taufik Akbar Rizqi Yunanto dalam tulisannya yang berjudul "Welas Asih: Konsep Compassion dalam Kehidupan Masyarakat Jawa"

Welas asih adalah suatu perilaku dimana seseorang mampu merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain (Endraswara, 2013a). Perasaan ini muncul sebagai suatu bentuk kepedulian seseorang dengan sesamanya.

Ketika ada orang lain yang mengalami kesulitan, maka akan muncul perasaan iba, hingga intensi untuk ikut membantu. Dalam konsep welas asih ini, bantuan yang diulurkan kepada sesama sifatnya benar-benar sukarela tanpa mengharapkan imbalan (Endraswara, 2013a).

Seseorang bisa saling tolong menolong bahkan dengan orang lain tidak terkait hubungan kekerabatan sema sekali.

Welas asih dalam masyarakat Jawa merujuk pada perilaku orang Jawa dimana orang itu mau merasakan apa yang dirasakan orang lain (nepakake awake dewe). Kemampuan merasakan pengalaman orang lain ini mampu membangkitkan dorongan untuk mau menolong atau membantu. (Endraswara, 2013a).

Konsep welas asih adalah salah satu bagian dari falsafah memayu hayuning bawana yang berarti memperindah kebaikan dan kesejahteraan dunia.

Dalam falsafah memayu hayuning bawana disebutkan mengenai Tri Welasih yang berarti tiga konteks dasar welas asih. Pertama, bermurah hati dan berbelas hidup pada semua makluk dan menghapus malapetaka di dunia.

Kedua, welas asih adalah bersikap senasib dan sepenanggungan pada semua mahkluk meskipun tidak ada hubungan darah dan memberikan perhatian pada semua yang bernyawa. Ketiga, sikap ramah-tamah, bijaksana, dan rendah hati.

Tentunya, ketiga konteks welas asih ini mendukung falsafah memayu hayuning bawana yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang damai, saling memahami satu sama lain, dan aman tanpa adanya pertengkaran antar sesama. (Endraswara,2013a) (Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya, 6(2), 2021: 145–150).

Suana Bukit Cinta di Sorenga (Sumber: Ayo Bandung | Foto: Gisa)

Panduan Hidup Terarah

Dalam buku Compassion memberikan panduan 12 langkah (belajar tentang belas kasih, lihatlah dunia anda sendiri, belas kasih pada diri sendiri, empati, perhatian penuh, tindakan, betapa sedikitnya yang kita ketahui, bagaimana seharusnya kita berbicara kepada sesama, kepedulian untuk semua, pengetahuan, pengakuan dan cintailah musuhmu) yang dapat kita ikuti agar mampu menjalani hidup yang lebih berbalas kasih setiap hari.

Salah satu tugas utama zaman kita ini tak lain adalah membangun sebuah komunitas global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati.

Namun agama yang seharusnya memberi kontribusi besar, justru dianggap bagian dari masalah.

Semua agama bersikukuh bahwa belas kasih merupakan pujian spiritualitas sejati dan itu membawa kita ke dalam hubungan dengan zat transenden yang kita sebut Allah, Brahman, Nirwana, Dao.

Semua agama bersikukuh bahwa Anda tidak bisa membatasi kasih sayang Anda hanya kepada kelompok Anda sendiri; Anda harus memiliki kepedulian untuk semua orang, bahkan musuh-musuh Anda.

Namun sayangnya, belakang ini kita sangat sedikit mendengar tentang belas kasih. Pasalnya semua semua agama sudah menjadi penyebab seluruh peperangan besar dalam sejarah.

Pada kenyataannya, penyebab konflik biasanya adalah ketamakan, kebencian dan ambisi tetapi dalam upaya untuk mensterilkannya, emosi-emosi yang memperturutkan nafsu sendiri ini kerap dibungkus dalam retorika agama.

Dalam sebuah dunia yang di dalamnya kelompok-kelompok kecil akan semakin memiliki kekuatan merusak yang sejauh ini hanya dimiliki oleh negara-negara besar, telah menjadi wajib untuk menerapkan Kaidah Besar secara global, memastikan bahwa semua diperlakukan sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.

Jika tradisi religius dan etika kita gagal menjawab tantangan ini, mereka akan gagal dalam zaman kita.

Jadi, pada upacara penyerahan penghargaan itu pada bulan Februari meluncurkan, dan menyebarkan Charter for Compassion (Piagam 2008, saya meminta TED untuk membantu saya menciptakan, Belas Kasih) yang akan ditulis oleh para pemikir terkemuka dari berbagai agama besar dan akan mengembalikan belas kasih sebagai inti kehidupan religius dan moral.

Piagam itu akan melawan suara-suara ekstremisme, intoleransi, dan kebencian. Pada zaman ketika agama-agama secara luas diasumsikan dungu, piagam itu pun akan memperlihatkan bahwa, meskipun kita sangat berbeda-beda, kita semua sepakat dalam satu hal ini dan bahwa adalah mungkin bagi agama untuk menjembatani perbedaan itu dan bekerja sama untuk keadilan dan perdamaian.

Suasana senja di Masjid Raya Al Jabbar (Sumber: Ayo Bandung | Foto: Irfan Al-Faritsi)

5 Prinsip Jalan Menuju Pencerahan

Ribuan orang dari seluruh dunia berkontribusi untuk mengonsep piagam itu pada sebuah situs web multibahasa dalam bahasa Ibrani, Arab, Urdu, Spanyol, dan Inggris; komentar-komentar mereka ditampilkan kepada Council of Conscience (Dewan Hati Nurani), sekelompok individu terkemuka dari enam tradisi iman (Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu), yang berkumpul di Swiss pada Februari 2009 untuk menyusun versi finalnya:

Prinsip belas kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, dan tradisi spiritual, mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan.

Belas kasih mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesama manusia, melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang lain di sana, serta menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak.

Dalam kehidupan publik maupun pribadi pun penting untuk secara konsisten dan empatik mencegah apa-apa yang mengakibatkan penderitaan.

Bertindak atau berbicara secara kasar karena kebencian, chauvinisme atau kepentingan sendiri, untuk memiskinkan, mengeksploitasi atau mencabut hak-hak dasar dari siapa pun, dan menghasut kebencian dengan merendahkan orang lain --musuh kita sekalipun-- merupakan penyangkalan kemanusiaan kita bersama.

Kami mengakui bahwa kami telah gagal untuk hidup secara berbelas kasih dan bahwa sebagian bahkan telah meningkatkan jumlah penderitaan manusia atas nama agama.

Kami dengan demikian menyerukan kepada seluruh laki- laki dan perempuan.

1. Untuk mengembalikan belas kasih ke pusat moralitas dan agama.

2. Untuk kembali kepada prinsip kuno bahwa setiap interpretasi atas kitab suci yang menyuburkan kekerasan, kebencian, atau kebejatan adalah tidak sah.

3. Untuk memastikan bahwa kaum muda diberi informasi akurat dan penuh rasa hormat mengenai tradisi, agama, dan budaya lain.

4. Untuk mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama.

5. Untuk menumbuhkan empati yang cerdas atas penderitaan seluruh manusia-bahkan mereka yang dianggap sebagai musuh.

Kita perlu dengan segera menjadikan belas kasih sebuah kekuatan yang jelas, bercahaya, dan dinamis di dunia kita yang terpolarisasi.

Berakar dalam tekad yang berprinsip mengatasi keegoisan, belas kasih dapat menembus batas-batas politik, dogmatis, ideologi, dan agama. Lahir dari saling kebergantungan kita yang mendalam, kasih sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan yang paripurna.

Ini adalah jalan menuju pencerahan, dan sangat diperlukan untuk penciptaan ekonomi yang adil dan komunitas global yang damai.

Inisiator Jadi Baik, Zahid Izzah Robbani, saat membagikan paket makanan ke kaum duafa di kawasan Sukasari, Bandung, Selasa (10/4). (Sumber: Ayo Bandung | Foto: Fathia Uqim)

Kaidah Emas untuk Melihat ke Dalam Hati

Piagam ini diluncurkan pada 12 November 2009 di enam puluh lokasi di seluruh dunia; diabadikan di berbagai sinagoge, masjid, kuil, dan gereja serta di institusi-institusi sekuler seperti Karachi Press Club dan Sydney Opera House.

Tetapi, pekerjaan ini baru saja dimulai. Pada saat penulisan ini, telah bergabung lebih dari 150 mitra yang bekerja sama di seluruh dunia untuk menerjemahkan piagam itu ke dalam tindakan praktis dan realistis.

Tapi, bisakah belas kasih menjadi penawar bagi masalah-masalah zaman kita yang tampaknya tak terpecahkan? Apakah kebajikan ini bahkan dapat hidup pada zaman teknologi? Dan apakah arti "belas kasih" itu sebenarnya?

Kata bahasa Inggrisnya (compassionate) sering dipersamakan dengan "kasihan" dan dikaitkan dengan kebajikan sentimental yang tidak kritis: Oxford English Dictionary, misalnya, mendefinisikan "compassionate" sebagai "pitieous" ("memilukan") atau "pitiable" ("menyedihkan").

Persepsi compassion seperti ini tidak hanya meluas, tetapi telah tertanam. Ketika saya memberi kuliah di Belanda baru-baru ini, saya dengan tegas menyatakan bahwa belas kasih tidak berarti merasa kasihan kepada orang lain, tapi terjemahan Belanda atas teks saya di surat kabar De Volkskrant secara konsisten menerjemahkan "compassion" sebagai "pity". Tapi, "compassion" sebagian diturunkan dari patiri Latin dan dan pathein Yunani, yang berarti "menderita, menjalani, atau mengalami".

Jadi, "compassion" berarti "menanggungkan [sesuatu] bersama orang lain", menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah penderitaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya.

Itulah sebabnya belas kasih secara tepat diringkas dalam Kaidah Emas, yang meminta kita untuk melihat ke dalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti, dan kemudian menolak, dalam keadaan apa pun, untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain.

Oleh karena itu, belas kasih dapat didefinisikan sebagai sikap altruisme konsisten yang berprinsip.

Belas kasih tidak terlepas dari kemanusiaan, bukannya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri, seorang yang benar-benar manusiawi secara konsisten berorientasi kepada orang lain. Tradisi, kepercayaan dan agama sepakat bahwa belas kasih adalah sesuatu yang alami bagi manusia, bahwa ia pemenuhan mutlak manusiawi dan bahwa dalam seruannya untuk menyisipkan ego kita dalam tenggang rasa yang konsisten terhadap orang lain, akan membawa kita ke dimensi keberadaan yang melampaui keadaan normal kita yang terikat pada diri sendiri.

Belas kasih adalah sesuatu yang kita kenali dan kagumi. Hal itu beresonansi dengan manusia sepanjang sejarah dan, ketika kita menemukan seseorang yang benar-benar penuh kasih, kita merasa terangkat.

Kedua belas langkah ini bersifat mendidik dalam pengertian terdalam, menggiring keluar dan program ini dirancang untuk mengeluarkan belas kasih yang bersemayam di dalam setiap manusia agar dapat menjadi kekuatan penyembuhan dalam kehidupan kita sendiri dan di dunia. Kita berusaha untuk melatih kembali respon kita dan membentuk kebiasaan mental yang ramah, lembut, dan tidak diwarnai ketakutan pada orang lain.

Walhasil, membaca dan belajar tentang belas kasih akan menjadi bagian penting dari proses itu dan harus menjadi kebiasaan seumur hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. "Karena dunia sedang butuh lebih banyak hati yang peduli." (Karen Armstrong, 2012:9-17 dan 33).

"Ketika pikiranmu dipenuhi dengan cinta, kirimlah pikiran itu ke satu arah lalu ke arah kedua, ketiga dan keempat, kemudian ke atas, kemudian ke bawah. Menyatulah dengan segala sesuatu tanpa kebencian, dendam, marah, atau permusuhan . Pikiran tentang cinta ini sangatlah luas. Ia tumbuh tak terkira dan akhirnya mampu merangkul seluruh dunia."

Di tengah kehidupan yang serba cepat, penuh tekanan, dan ketidakpastian, kita sering lupa untuk berhenti sejenak. Ya sekadar menengok sekitar, melihat wajah-wajah yang lelah, mendengar suara-suara "bising" yang butuh didengarkan, dan menyentuh hati yang tengah remuk, terkoyak.

Di saat itulah welas asih sejatinya hadir. Sebagai pengingat, pengontrol, renungan kita bukan hanya manusia yang hidup berdampingan, tetapi menjadi modal bersama panggilan untuk saling merangkul bukan memukul, menguatkan bukan melemahkan, meneguhkan bukan merendahkan, mendengar bukan menghakimi, mengasihi bukan membenci, memandu bukan memaksa dan menginspirasi bukan menyudutkan.

Ingat, welas asih bukan kelembutan yang lemah, melainkan keberanian atas kepedulian, kekuatan kemanusiaan untuk hadir bagi orang lain, termasuk saat dunia terlena mengajarkan kita untuk sibuk dengan diri sendiri.

Satu senyum tulus, satu tindakan kebaikan kecil, satu pendengaran dan satu aktivitas yang jujur bisa jadi kekuatan demi menyelamatkan seseorang dari rasa putus asa atas kejamnya kehidupan.

Karen Armstrong, percaya belas kasih adalah inti dari seluruh ajaran besar kemanusiaan. Saatnya kita berlatih belas kasih sebagai gaya hidup. “Kita tidak akan menjadi orang yang penuh belas kasih hanya dengan memahaminya, tetapi dengan mempraktikkannya setiap hari.”

Caranya dengan memulai dari mengenal diri sendiri, mengendalikan prasangka, belajar mendengarkan, sampai terlibat aktif dalam perbuatan baik.

Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta

Welas asih bukan soal merasa kasihan, tetapi soal hadir dan terlibat aktif. Ihwal mengenali rasa sakit orang lain bak tubuh sendiri yang sakit merasakannya.

Bayangkan bila setiap orang membawa sedikit saja belas kasih ke dalam hidupnya sehari-hari, misalnya menahan amarah saat berkendaraan, memberi ruang pada orang yang kesusahan, ya sekadar berkata, “Aku mengerti perasaanmu.” Dunia ini pasti terasa lebih ringan, hangat, dan manusiawi.

Memupuk welas asih harus dimulai dari hati yang terbuka dan kemauan untuk peduli. Ketika perilaku itu terjadi kita bisa menebarkannya ke mana-mana. Karena semakin banyak yang menyebarkan kasih, semakin kecil ruang bagi kebencian.

Mari jadikan welas asih sebagai kebiasaan. Pasalnya hari-hari ini, dunia bukan kekurangan kecerdasan, justru hilangnya rasa kelembutan, kepedulian.

Tentunya yang kita butuhkan bukan orang-orang yang sempurna, melainkan mereka yang mau melihat dengan mata hati, bergerak dengan kasih sayang dan berdampak pada kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, pada dasarnya kita memiliki kekuatan untuk berbuat dan perilaku belas kasih, tinggal bagaimana kita usahanya untuk saling merebar belas kasih guna meraih kehidupan yang sejahtera, adil, rukun, toleran, harmonis dan bahagia ini. (*)

Tags:
welas asihbelas kasihkasih sayang

Ibn Ghifarie

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor