Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. (Sumber: pdiperjuangan-jatim)

Ayo Netizen

Dulu Menyerang, Kini Membela: Jangan Larut Drama Komunikasi Politik Indonesia!

Jumat 11 Jul 2025, 14:01 WIB

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, dua hari lalu berdiri lantang membacakan pleidoi sepanjang 108 halaman dari ruang sidangnya. Ia bicara tentang ketidakadilan, tentang persekusi terhadap oposisi, tentang ancaman demokrasi.

Suaranya bergetar, nadanya tinggi. Sekilas terdengar seperti aktivis yang baru lepas dari penjara Orde Baru. Tapi siapa pun yang ingat perjalanan politik Hasto tahu, ia tak selalu berada di posisi “dizalimi”.

Beberapa tahun lalu, Hasto justru berada di garda depan pembela kekuasaan. Ia mendukung langkah Polri saat menetapkan Habib Bahar sebagai tersangka. Ia memuji pemerintah atas kepulangan Habib Rizieq, menyebutnya sebagai bukti kehadiran negara.

Ia juga selalu berdiri bersama Presiden Jokowi dalam setiap pernyataan resmi partai. Tapi sekarang, ketika dirinya tersudut, narasinya berubah. Hukum disebut tajam ke oposisi, demokrasi dikatakan sedang terancam, dan dirinya diposisikan sebagai korban rezim.

Inilah wajah politik kita: penuh peran, penuh drama, dan yang paling menyedihkan—penuh lupa. Lupa pada pernyataan lama, pada posisi kemarin, pada apa yang dulu dibenarkan dengan semangat.

Hasto tidak sendirian. Lihat saja Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dulu partai ini dikenal keras terhadap Prabowo Subianto. Di media sosial mereka, Prabowo dituduh sebagai simbol masa lalu, pemimpin yang tidak layak diberi ruang dalam demokrasi pascareformasi.

Tapi hari ini, setelah Pilpres usai dan kursi kekuasaan dibagi, PSI berubah haluan secepat ganti baju. Kini mereka memuji Prabowo sebagai negarawan. Bergandengan tangan dengan Gibran. Menerima jabatan menteri. Bahkan tak sedikit kader mereka yang dulu menyerang Prabowo dengan kata-kata tajam, kini berebut tampil di acara resmi dan mengabarkan kebanggaan karena “diberi kepercayaan.”

Apakah salah berubah sikap? Tidak selalu. Tapi jika perubahan itu tanpa penjelasan, tanpa pertanggungjawaban atas kata-kata masa lalu, maka yang tersisa hanyalah oportunisme politik.

Mereka lupa bahwa publik tidak buta ingatan. Jejak digital terlalu jelas. Kata-kata lama mereka masih bisa dicari, masih bisa diputar ulang. Yang membuat rakyat muak bukan perubahan arah, tapi keberanian bersandiwara seolah tidak pernah berkata sebaliknya.

Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta

Jangan Terbawa Suasana

Politik memang bukan dunia hitam putih. Tapi ketika abu-abu terlalu dipoles jadi emas, rakyat punya hak untuk curiga. Hari ini seseorang bisa menyebut dirinya oposisi sejati. Besok ia bisa duduk nyaman di kursi kabinet. Hari ini bisa mengaku korban penguasa. Besok ia bisa ikut rapat dengan para pejabat yang dulu ia kritik.

Pertanyaannya: mengapa rakyat masih mau terbawa suasana? Mengapa masih ada yang rela ribut dengan saudara, bertengkar di grup keluarga, bahkan memutus silaturahmi hanya demi membela tokoh yang tak pernah tahu nama kita?

Padahal para politikus itu bisa berbalik arah dalam satu malam. Saling peluk di belakang layar. Saling bagi kursi, sambil tersenyum dalam jumpa pers.

Di sinilah pentingnya menjaga jarak sehat dengan politik. Tak perlu jadi fans garis keras. Tak perlu mengidolakan tokoh seperti mengidolakan penyanyi. Apalagi sampai membenci lawan politiknya seolah sedang menonton drama sinetron. Suka boleh. Benci juga boleh. Tapi secukupnya saja. Jangan sampai kita terbakar, sementara mereka hanya sedang berakting.

Karena pada akhirnya, rakyat bukan penonton pasif. Kita bukan penggembira. Kita adalah pemilik suara. Maka, jangan mudah terbius orasi. Jangan mudah percaya air mata. Bacalah naskahnya, bukan ekspresinya. Dan tetap sadar: dalam politik, yang paling cepat berubah bukan sikap rakyat, tapi niat para elite. (*)

Tags:
pleidoipledoiSekjen PDIPHasto Kristiyanto

Muhammad Sufyan Abdurrahman

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor