Berawal dari kisah pengalaman seorang penulis yang biasanya lebih populer dengan sebutan sastrawan, yang merasa dirinya telah kehilangan bahasa kemanusiaan dan bahasa cinta dalam kehidupan sehari-hari. Apa penyebabnya?
Dahulu, si-fulan (nama disamarkan) adalah sastrawan yang dielu-elukan. Tulisannya membasuh luka, puisinya menyuburkan harapan.
Ia menulis dengan bahasa kemanusiaan yang hangat, yang mampu membuat pembaca merasa dilihat dan dimengerti. Ia juga menulis dengan bahasa cinta—bukan sekadar romansa, tapi kasih yang menembus batas-batas manusia: antara ibu dan anak, antara sesama, antara manusia dan alam.
Sungguh dahsyat kekuatan bahasa terhadap kehidupan sosial. Seorang yang kesehariannya terbiasa dengan seni berbahasa, yang lebih cenderung menggunakan keindahan bahasa dan dengan dialektika sastrawi, dapat memengaruhi sikap dan perilaku seseorang.
Bahasa tidak hanya sekadar alat untuk berinteraksi dan berkomunikasi, tetapi dapat memengaruhi juga perubahan sosial.
Namun waktu berjalan. Fulan mulai menulis demi ketenaran, demi panggung, demi pengakuan. Kata-katanya kehilangan nurani. Puisinya menjadi dingin, es metafora yang hanya ingin mengagumkan, bukan menghangatkan.
Bahasa kemanusiaan pun menghilang, berganti bahasa ego dan ironi. Bahasa cinta terkikis, digantikan sinisme dan kepongahan intelektual. Bagaimana nasib Fulan selanjutnya?
Seiring waktu berjalan, kemajuan teknologi digital seakan menjanjikan siapa saja menjadi terkenal; menjadi viral; bahkan seolah-olah seperti artis.
Sebagian besar masyarakat yang sangat rendah pemahamannya dalam literasi digital, menjadikan jejaring sosial untuk bisa cepat dikenal, meski dengan bahasa yang amburadul. Fulan terjebak dalam situasi yang hampir sama dengan sebagian besar masyarakat.
Fulan tak sadar, hingga suatu malam, ia membaca puisi lamanya di hadapan cermin. Tidak ada getar. Tidak ada air mata. Hanya gema hampa. Ia pun sadar—ia telah kehilangan bahasa yang membuatnya menjadi manusia seutuhnya.
Manusia yang hidup dengan bahasa. Yakni, rasa kemanusiaan dan rasa cinta, yang kemudian membentuk manusia menjadi adil, baik bagi dirinya, juga bagi orang lain.
Fulan berhenti menulis. Lama. Ia pergi mengajar di sebuah desa terpencil, tempat bahasa sederhana masih menyimpan keajaiban. Ia kembali mendengarkan: tangisan anak, cerita petani, syair rakyat.
Ia belajar dari mereka, bukan sebagai sastrawan, tapi sebagai manusia yang ingin mengerti. Bahkan, bahasa alam yang juga bisa membentuk karakter manusia.
Pelan-pelan, bahasa itu kembali. Ia menulis lagi. Kali ini tanpa ambisi, hanya dengan empati. Puisinya kembali menjadi pelukan. Cerpennya kembali menjadi jembatan. Ia telah menemukan kembali bahasa kemanusiaan dan cinta—karena ia memilih untuk diam, mendengar, dan merasakan lebih dulu.
Narasi di atas tidak semata dialami oleh penulis; sastrawan; penyair; seniman, bahkan tanpa kita sadari, dalam interaksi sosial siapa pun bisa kehilangan bahasa kemanusiaan dan bahasa cinta.
Apalagi dalam kondisi masyarakat yang tengah terpuruk dalam menghadapi persoalan-persoalan ekonomi. Bagaimana masyarakat bisa berlaku adil bagi persoalan kemanusiaan, sementara hak dasarnya tidak tercukupi, bahkan bisa dikatakan memprihatinkan.

Ada beberapa solusi bagi penulis (sastrawan, dan sebagainya) yang bisa dilakukan untuk sebuah perenungan:
- Berhenti sejenak dari dunia kata untuk kembali merasakan kehidupan secara langsung. Jarak dari rutinitas menulis bisa membantu sastrawan menyadari kehilangan arah dan menghidupkan kembali empati.
- Bergaul dengan realitas sosial yang nyata, bukan hanya lingkar intelektual. Terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat, menyentuh penderitaan dan harapan orang lain, bisa menumbuhkan kembali sensitivitas kemanusiaan.
- Menulis bukan untuk pengakuan, tapi untuk menyembuhkan. Menjadikan tulisan sebagai sarana menyampaikan kasih dan kepedulian akan menghidupkan kembali bahasa cinta.
- Membaca karya-karya sastra yang tulus dan jujur. Sastra yang lahir dari hati bisa menjadi cermin dan pengingat.
Bagaimana dengan kondisi sosial yang sangat rentan dengan persoalan-persoalan politik hingga budaya, yang akhirnya membawa dampak bagi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan cinta?
Pada titik ini, bahasa menjadi kekuatan simbolik, tidak hanya sekadar instrumen interaksi sosial, tetapi juga dapat menimbulkan makna yang ambigu.
Berikut ini ada beberapa ulasan yang bisa dijadikan referensi teori dalam memahami kekuatan bahasa.
Pendapat para ahli mengenai bahasa sebagai kekuatan simbolik dalam kehidupan manusia menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga alat yang sangat kuat untuk membangun realitas sosial, membentuk identitas, dan mengatur kekuasaan.
1. Pierre Bourdieu: Bahasa sebagai Modal Simbolik
Bourdieu memandang bahasa sebagai modal simbolik—yaitu bentuk kekuasaan yang tidak kasat mata. Dalam bukunya “Language and Symbolic Power”, ia menyatakan:
“Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan. Siapa yang punya otoritas untuk berbicara dan didengar, memiliki kekuatan simbolik.”
Maknanya: Bahasa digunakan untuk membangun dominasi sosial. Misalnya, dalam dunia pendidikan atau politik, kelompok tertentu menggunakan gaya bahasa atau istilah yang hanya dimengerti oleh kelompok mereka sebagai bentuk eksklusivitas dan kontrol.
2. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf: Hipotesis Relativitas Linguistik
Dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf, kedua ahli ini berpendapat bahwa:
“Struktur bahasa memengaruhi cara berpikir dan memandang dunia.”
Contoh: Orang Eskimo yang memiliki banyak kata untuk “salju” memiliki kepekaan lebih tinggi terhadap jenis-jenis salju dibanding orang yang hanya punya satu kata untuk itu. Bahasa, dalam hal ini, menjadi kekuatan simbolik dalam membentuk persepsi realitas.
3. Ludwig Wittgenstein: Bahasa Membentuk Dunia
Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, Wittgenstein mengatakan:
“Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku.”
Artinya: Dunia yang bisa kita pahami hanya terbatas pada apa yang bisa kita ekspresikan lewat bahasa. Bahasa menjadi alat simbolik yang membatasi sekaligus memperluas cakrawala pengalaman manusia.
4. Michel Foucault: Bahasa dan Wacana Kekuasaan
Foucault menekankan bahwa wacana (discourse)—yakni cara-cara tertentu dalam menggunakan bahasa—digunakan untuk membentuk pengetahuan dan mengontrol masyarakat.
“Apa yang dianggap ‘benar’ dan ‘normal’ sering kali ditentukan oleh siapa yang punya otoritas berbicara.”
Implikasinya: Bahasa bukan netral. Ia digunakan untuk menetapkan norma dan mengatur perilaku masyarakat, seperti dalam hukum, medis, atau pendidikan.
Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta
Para ahli menyepakati bahwa bahasa adalah kekuatan simbolik yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Ia bukan hanya alat tukar informasi, tetapi juga:
1. Membangun identitas dan kebudayaan;
2. Menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak;
3. Mengontrol pola pikir, persepsi, dan tindakan;
4. Membentuk realitas sosial.
Meminjam kata-kata bijak dari seorang filsuf Indonesia, Karlina Supelli yang mengatakan: “Orang yang berpendidikan adalah yang bisa mengolah pertarungan antara hasrat dengan kemampuan berpikir.”
Semoga bermanfaat. (*)