Sekelompok mahasiswa ITB menggelar kegiatan edukatif dan partisipatif di Taman Cascade, Jalan Kebon Bibit, Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Ayo Netizen

9 Partisipasi Anak Jadi Kunci Kota Ramah Lingkungan, Ini Cerita dari Jalan Kebon Bibit

Kamis 17 Jul 2025, 16:29 WIB

Ditulis oleh Tamara Shafira Sumirat dan Sekar Ayu Ratu Diva Maharani*

Ketika bicara soal pembangunan kota yang nyaman dan berkelanjutan, kita sering membayangkan kebijakan besar atau teknologi canggih. Tapi, siapa sangka, justru anak-anak bisa jadi kunci penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.

Inilah yang coba dibuktikan oleh sekelompok mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui kegiatan edukatif dan partisipatif di Taman Cascade, Jalan Kebon Bibit, Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan.

Jalan Kebon Bibit, yang berada tak jauh dari kampus ITB, dikenal sebagai kawasan padat penduduk dengan dinamika sosial yang tinggi. Namun seperti banyak sudut kota lainnya, kawasan ini juga menghadapi tantangan—sampah berserakan, saluran air tak terawat, dan minim ruang terbuka hijau.

Melalui program dari mata kuliah “Partisipasi Masyarakat dalam Penyediaan Perumahan” (AR4242), para mahasiswa mengajak 13 anak setempat untuk terlibat dalam kegiatan jelajah lingkungan (transect walk), diskusi ringan di Taman Cascade, hingga simulasi memilah sampah berdasarkan warna tong.

“Ini kotor karena sampah. Orang pada buang sampah sembarangan. Biar bersih, harus dibersihkan,” ujar Aldi (7), salah satu peserta kegiatan.

Komentar sederhana itu jadi bukti bahwa anak-anak pun punya kepekaan terhadap isu lingkungan.

Sekelompok mahasiswa ITB menggelar kegiatan edukatif dan partisipatif di Taman Cascade, Jalan Kebon Bibit, Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Dengan gaya belajar yang menyenangkan dan berbasis pengalaman (experiential learning), anak-anak diajak menyuarakan pandangannya mengenai ruang tinggal mereka. Mereka tak hanya mengamati, tapi juga menilai dan menyimpulkan: mana ruang yang nyaman, mana yang kotor, mana yang aman.

“Anak-anak ternyata bisa membaca lingkungan mereka sendiri dengan jujur. Tinggal bagaimana kita membuka ruang agar mereka bisa bersuara,” ungkap Tamara Shafira, salah satu mahasiswa pelaksana kegiatan.

Di sesi diskusi, anak-anak juga dikenalkan pada jenis sampah—organik, anorganik, dan B3—serta cara membuangnya dengan benar. Menariknya, meski sebagian sempat ‘bercanda’ membuang ke tong yang salah, mayoritas menunjukkan antusiasme dan pemahaman yang kuat.

Menariknya, kegiatan ini tidak hanya berdasarkan pengalaman lokal. Para mahasiswa juga membandingkan dengan studi kasus dari Brasil, yaitu program perumahan Minha Casa Minha Vida (MCMV).

Program tersebut sukses membangun jutaan unit rumah, namun dinilai gagal dari sisi partisipasi. Warga hanya dilibatkan secara formalistik, tanpa pengaruh nyata terhadap desain, lokasi, atau pengelolaan. Bahkan, banyak yang akhirnya tinggal di lokasi terpencil tanpa akses layak ke sekolah, transportasi, atau pekerjaan.

Namun, versi partisipatif MCMV yang disebut Entidades, justru menunjukkan hasil yang lebih baik. Di sana, warga ikut merancang, mengawasi, hingga mengelola hunian mereka sendiri—dan hasilnya terasa lebih sesuai kebutuhan.

Sekelompok mahasiswa ITB menggelar kegiatan edukatif dan partisipatif di Taman Cascade, Jalan Kebon Bibit, Kota Bandung. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Salah satu kerangka yang digunakan dalam materi kuliah adalah ACT dari World Bank, yang terdiri dari:

Dari kegiatan ini, prinsip “Target” benar-benar diterapkan. Anak-anak diajak ikut memaknai lingkungan sehat bukan sebagai teori di kelas, tapi sebagai pengalaman sehari-hari yang menyenangkan dan aplikatif.

Evaluasi dari kegiatan menunjukkan bahwa lebih dari 70% anak mampu memahami materi dan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan dengan baik. Ini jadi bukti bahwa pendekatan partisipatif yang dirancang inklusif bisa menumbuhkan kesadaran lingkungan sejak dini.

“Kami ingin tunjukkan bahwa anak-anak bukan sekadar objek pembangunan, tapi bisa jadi subjek aktif perubahan lingkungan,” tambah Sekar Maharani, anggota tim mahasiswa lainnya.

Melibatkan anak-anak dalam proses perencanaan kota bisa jadi langkah kecil yang berdampak besar. Kota yang ramah anak bukan hanya menyediakan taman bermain, tapi juga memberikan ruang bagi suara mereka.

Jika Kota Bandung ingin menjadi kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan, mungkin sudah saatnya kita bertanya: “Sudahkah kita mendengar suara anak-anak dalam membangun kota ini?” (*)

* Shafira Sumirat dan Sekar Ayu Ratu Diva Maharani, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung.

Tags:
Kota Ramah Lingkungankegiatan edukatifITBInstitut Teknologi Bandung

Netizen

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor