Ribuan driver ojol se-Bandung Raya melakukan unjuk rasa dengan aksi damai di depan Balai Kota Bandung, Juli 2020. (Sumber: Ayobandung)

Beranda

Didemo Driver Ojol, Sudahkah Gojek dan Grab Untung?

Selasa 20 Mei 2025, 14:57 WIB

AYOBANDUNG.ID - Pada 20 Mei 2025, gelombang demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh ribuan pengemudi ojek online (ojol) secara serentak di berbagai kota besar di Indonesia. Aksi ini menandai babak baru dalam ketegangan antara para pekerja sektor informal digital dan perusahaan aplikator yang menaungi mereka.

Ketidakpuasan terhadap skema bagi hasil, tarif, dan regulasi menjadi penyulut utama aksi yang berlangsung di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, hingga Palembang.

Tuntutan yang disuarakan para pengemudi sebagian besar berkisar pada isu keadilan pendapatan. Mereka mendesak agar potongan biaya layanan oleh aplikator diturunkan menjadi maksimal 10%, menuntut tarif pengantaran yang layak, dan meminta sistem tarif bersih yang jelas. Selain itu, mereka juga meminta regulasi khusus bagi layanan pengantaran barang dan makanan serta penegakan sanksi terhadap aplikator yang dianggap melanggar aturan.

Di sisi lain, aplikator seperti Gojek dan Grab menegaskan bahwa mereka telah mengikuti regulasi pemerintah yang mengatur potongan layanan maksimal 20 persen sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022. Namun bagi para pengemudi, angka tersebut belum mencerminkan keadilan di lapangan, apalagi ketika insentif semakin sulit diraih dan biaya operasional terus meningkat.

Gojek dan Grab Sudah Untung atau Rugi?

Sebagai pionir transportasi daring di Indonesia, Gojek telah melalui fase pertumbuhan yang agresif sejak berdiri pada 2010. Namun pertumbuhan tersebut tidak langsung berbanding lurus dengan keuntungan. Bahkan hingga kini, Gojek, melalui induk perusahaannya GoTo Gojek Tokopedia (GOTO), belum berhasil mencatatkan laba bersih.

Sepanjang tahun 2024, GOTO mencatatkan kerugian sebesar Rp5,15 triliun. Meski jumlah itu turun drastis dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp90,39 triliun, total kerugian sejak 2018 tetap mengkhawatirkan. Jika dijumlahkan, kerugian kumulatif Gojek selama tujuh tahun mencapai lebih dari Rp200 triliun.

Besarnya kerugian ini mencerminkan ongkos dari strategi ekspansi agresif dan perang diskon yang sempat menjadi ciri khas startup teknologi di Asia Tenggara. Namun kini, arah strategi mulai berubah. Perusahaan mulai menempuh efisiensi operasional sebagai jalan menuju profit.

Salah satu driver ojol menunggu orderan di pinggir jalan. (Sumber: Ayobandung | Foto: Kavin Faza)

Laporan keuangan kuartal I 2025 mencatat kerugian GOTO turun ke Rp 336 miliar, turun signifikan dari periode sama tahun lalu Rp 937 miliar. Beban pokok pendapatan dan biaya lainnya juga berhasil ditekan dari Rp5,02 triliun menjadi Rp4,42 triliun.

Gojek telah memangkas anggaran pemasaran, melakukan restrukturisasi tim, hingga mengonsolidasikan berbagai produk dan layanan. Fokus kini diarahkan ke lini utama seperti GoRide, GoCar, GoFood, dan GoSend, serta memperkuat ekosistem fintech melalui GoPay dan layanan keuangan lainnya.

Secara bertahap, indikator EBITDA yang disesuaikan—metrik yang banyak digunakan untuk mengukur profitabilitas inti perusahaan teknologi—telah berubah dari negatif ke positif. Sepanjang 2025, GOTO menargetkan EBITDA sebesar Rp1,4 triliun hingga Rp1,6 triliun.

Tapi meski sinyal positif ini mulai terlihat, banyak yang masih mempertanyakan kapan Gojek akan benar-benar mencetak laba bersih. Yang menjadi ganjalan, para pengemudi merasa tidak turut menikmati proses menuju profit ini.

Berbeda dari Gojek, Grab sudah selangkah lebih maju dalam hal profitabilitas. Perusahaan teknologi asal Singapura itu mencetak laba bersih sebesar $10 juta (sekitar Rp167 miliar) pada kuartal I 2025. Pendapatan perusahaan meningkat 18% dibanding tahun sebelumnya, dengan pertumbuhan yang merata di semua lini bisnis.

Layanan keuangan menjadi kontributor pertumbuhan terbesar, dengan lonjakan pendapatan sebesar 36%. Sementara itu, layanan transportasi dan pengantaran makanan tumbuh 16% beriringan dengan peningkatan jumlah pengguna aktif bulanan yang kini mencapai 44,5 juta orang.

Tapi, seperti halnya Gojek, Grab juga menghadapi tekanan dari para pengemudi di Indonesia. Mereka menuntut skema pembagian pendapatan yang lebih adil, dan merasa kontribusi mereka terhadap keuntungan perusahaan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima setiap hari.

Walaupun regulasi telah diterbitkan, implementasinya dinilai masih lemah. Ketimpangan antara performa keuangan aplikator dan realitas ekonomi para pengemudi menciptakan jurang yang semakin dalam.

Bagi para pengemudi ojol, aksi pada 20 Mei bukan sekadar protes atas tarif. Ini adalah seruan agar pemerintah, aplikator, dan publik melihat mereka sebagai bagian integral dari ekosistem digital, bukan hanya “mitra” tanpa daya tawar.

Tags:
demoojolGojekGrab

Hengky Sulaksono

Reporter

Redaksi

Editor