Banjir di kawasan pasar Lembang, Jumat 23 Mei 2025 (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)

Beranda

Alarm dari Lembang!

Minggu 25 Mei 2025, 20:07 WIB

AYOBANDUNG.ID - Lembang, kawasan yang dikenal sebagai dataran tinggi mengalami perubahan lanskap yang mencemaskan. Dalam dua pekan terakhir, daerah yang berada di ketinggian 1.312 hingga 2.084 meter di atas permukaan laut ini disergap bencana banjir dan longsor secara bergantian. Dua bencana yang biasanya melanda dataran rendah, kini hadir merutin di kawasan wisata favorit Jawa Barat ini.

Hujan deras yang mengguyur Lembang pada Rabu, 14 Mei 2025, menjadi pemicu utama banjir di sejumlah titik. Genangan air meluas dan menutup pedestrian serta badan jalan di sekitar Jalan Pasar Panorama Lembang. Jalan yang biasanya ramai oleh pengunjung dan aktivitas jual beli berubah menjadi genangan air setinggi lutut.

Ketinggian air yang bervariasi antara 5 hingga 15 sentimeter di beberapa tempat membuat warga cukup waspada. Namun, di titik terparah, air tak hanya menggenang tetapi mengalir cukup deras hingga menyeret barrier jalan. Beberapa kendaraan mogok karena nekat menerobos genangan, dan lalu lintas lumpuh untuk sementara waktu.

Banjir yang menerjang sekitar pasar Lembang pada 14 Mei 2025. (Sumber: atcs.bandungbaratkab)

Tak hanya menutup jalan, air juga menyusup masuk ke permukiman warga. Di Kampung Pangragajian, air dari saluran belakang sekolah menengah atas mengalir langsung ke rumah-rumah. Di tempat lain, Kampung Kalapanunggal, genangan disebabkan oleh perubahan alur saluran air akibat proyek penutupan jalur menuju Maribaya, yang memperparah dampak banjir.

Masalah tidak berhenti sampai di situ. Tanah longsor turut menyusul pada hari yang sama. Sedikitnya 25 rumah terdampak, dan puluhan lainnya terancam. Fasilitas publik seperti sekolah, tempat ibadah, dan akses jalan juga mengalami gangguan. Warga terpaksa dievakuasi ke tiga titik pengungsian oleh tim gabungan dari BPBD dan relawan.

Total 131 jiwa dari 38 kepala keluarga mengungsi, meninggalkan rumah mereka yang rusak atau berisiko longsor. Bantuan logistik didistribusikan dan setelah kejadian, proses penanganan masih terus dilakukan. Beberapa korban luka dirawat, sementara rumah-rumah yang berada di zona merah mulai direlokasi.

Namun, belum selesai luka lama ditangani, bencana kembali menyapa.

Hujan deras pada Jumat, 23 Mei 2025, kembali menyebabkan banjir besar di Jalan Maribaya. Kali ini, ketinggian air mencapai lebih dari 50 sentimeter. Arusnya cukup kuat untuk menyeret sepeda motor sejauh puluhan meter, seperti yang viral di media sosial.

Tim SAR mencari orang hilang di lokasi banjir bandang di Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang. Kejadian pada Jumat 23 Mei 2025. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)

Tak berhenti di situ, banjir bandang pun dilaporkan terjadi di Cisarua dan Lembang. Satu warga dilaporkan hilang. Rumah-rumah rusak, dan puluhan unit terdampak. Pemerintah daerah berjibaku menangani dampak, namun banjir dan longsor seolah tak memberi waktu istirahat bagi aparat maupun masyarakat.

Selain banjir, tanah longsor kembali terjadi di kawasan Jayagiri. Kali ini, tujuh desa di dua kecamatan terdampak. Satu rumah rusak berat, satu rumah lainnya terancam, dan puluhan lainnya terdampak secara langsung. BPBD masih melakukan pendataan hingga Jumat malam.

Tak aneh jika Lembang sering dilanda tanah longsor. Masalahnya dari 16 desa yang berada di kecamatan tersebut, sembilan di antaranya masuk dalam daerah rawan bencana tanah longsor dengan kategori tinggi. Sisanya tujuh desa masuk kategori sedang.

Kejadian berulang ini membuat bertanya-tanya: apakah ini hanya akibat cuaca ekstrem musiman, atau ada persoalan struktural yang lebih dalam? Tak hanya soal air yang tak tertampung, tetapi juga ketidaksiapan infrastruktur dalam menghadapi perubahan lingkungan yang cepat dan masif.

Melihat kejadian yang terus berulang dalam waktu yang singkat, perhatian pun beralih pada penyebab utama bencana. Kajian dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkap bahwa alih fungsi lahan di kawasan Bandung Utara menjadi akar masalah.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwank, mengungkapkan bahwa alih fungsi lahan secara masif di Kawasan Bandung Utara (KBU) menjadi penyebab utama terjadinya banjir dan longsor di Lembang. Ia menjelaskan bahwa perubahan fungsi lahan tersebut menghilangkan kemampuan kawasan dalam menyerap air dan merusak area hutan lindung, sehingga membahayakan keselamatan masyarakat.

Walhi mencatat lahan kritis di Jawa Barat terus mengalami peningkatan signifikan, dengan luas mencapai lebih dari 1 juta hektare. Data Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2021 menunjukkan tutupan lahan kritis sebesar 907.683 hektare. Namun, dalam dua tahun terakhir, alih fungsi lahan justru semakin tidak terkendali, memperparah kondisi lingkungan.

Khusus di KBU yang memiliki luas sekitar 40 ribu hektare, Walhi menyebut sekitar 70 persen atau 28 ribu hektare telah mengalami kerusakan dan rawan bencana akibat hilangnya wilayah resapan air. Berdasarkan dokumen amdal, dalam 10 tahun terakhir telah terjadi degradasi lahan seluas 200 hektare, dengan alih fungsi rata-rata 10 hingga 20 hektare per tahun.

Pembangunan yang marak di KBU didominasi oleh hotel, perumahan, apartemen, dan villa, disertai dengan menjamurnya izin usaha wisata alam, kafe, kuliner, outbound, off-road, dan privatisasi air. Semua izin tersebut dikeluarkan secara sporadis oleh pemerintah daerah. Wahyudin menilai, perubahan bentang alam ini telah mengubah Lembang dari kantong resapan air menjadi kawasan langganan banjir karena hilangnya vegetasi alami.

Alih fungsi lahan ini mengubah karakteristik tanah di Lembang. Permukaan yang dahulu mampu menyerap air, kini menjadi kedap akibat betonisasi. Ketika hujan turun deras, air tak lagi diserap melainkan langsung mengalir di permukaan, memicu banjir secara instan.

Selain itu, sistem drainase yang ada di Lembang dinilai tidak memadai. Saat volume air meningkat, saluran yang ada tak mampu mengalirkan air dengan efisien. Akibatnya, air meluap ke jalan dan permukiman. Ini membuktikan bahwa persoalan banjir di dataran tinggi pun sangat mungkin terjadi jika tata ruang dan infrastruktur tidak diperhatikan.

Walhi mendorong diberlakukannya moratorium izin pembangunan baru di kawasan KBU. Ini dianggap langkah darurat untuk menghentikan laju kerusakan. Selain itu, pengawasan terhadap pelanggaran tata ruang mesti diperketat, agar pembangunan tak dilakukan secara sembarangan di daerah rawan bencana.

Tak cukup hanya menghentikan pembangunan, solusi jangka panjang juga harus mencakup perbaikan sistem drainase. Pemerintah daerah perlu menyusun rencana induk drainase secara menyeluruh, yang memperhitungkan intensitas hujan, perubahan topografi, dan potensi aliran air.

Pertanda yang muncul bukan hanya tentang curah hujan yang ekstrem. Ini adalah alarm bagi manusia yang terlalu lama mengabaikan keseimbangan antara alam dan pembangunan. Lembang butuh lebih dari sekadar tanggap darurat; ia butuh kesadaran manusia untuk menyelamatkan masa depannya.(*)

Tags:

Restu Nugraha Sauqi

Reporter

Andres Fatubun

Editor