Miftahuddin juru sembelih halal yang memiliki sertifikat resmi. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)

Beranda

Menghapus Stigma Jagal: Itulah Juleha yang Bekerja dengan Hati, Menyembelih Sesuai Syariat

Jumat 30 Mei 2025, 09:29 WIB

AYOBANDUNG.ID - Tangan Miftahuddin (46), tampak seperti pada umumnya. Tak ada yang spesial. Tapi jika memegang golok, hewan bisa mati dalam sekali sayat. Dia adalah juru sembelih halal (Juleha).

Juleha merupakan seseorang yang berprofesi sebagai penyembelih hewan, termasuk saat ibadah Idul Adha. Pekerjaan yang tak bisa sembarang orang lakukan.

Sebab dalam prosesnya mesti sesuai dengan syariat Islam. Pemerintah bahkan membuat aturan terkait langkah-langkah penyembelihan, juga kompetensi untuk si pelaku Juleha itu.

Juru sembelih bukan sekadar memotong hewan kurban. Tugasnya sakral. Salah sedikit, daging bisa menjadi bangkai. Dan bangkai, kecuali ikan, haram dimakan menurut Islam.

Kisah Miftah sebagai juru sembelih halal dimulai bukan dari rumah potong hewan, melainkan dari masjid di kawasan Tamansari. Ia aktif dalam panitia kurban, terutama saat Idul Adha. 

Di tengah semangat gotong royong, Miftah menyadari satu hal: tidak ada regenerasi jagal. Para penyembelih adalah pria-pria sepuh, sebagian telah berpulang. Di tambah dorongan dari warga.

"Saat itu saya berpikir, bagaimana kalau nanti tidak ada lagi yang bisa menyembelih? Kurban tidak akan sah jika dilakukan orang yang tak paham syariat," ujar pria berkacamata saat ditemui , Kamis, 29 Mei 2025.

"Waktu pertama kali tangan saya bergetar," lanjutnya.

Ia mengikuti pelatihan juru sembelih halal yang diadakan Juleha Indonesia, komunitas berbasis di Jakarta yang memiliki cabang di berbagai kota, termasuk Bandung, tempat tinggalnya. Kira-kira, sudah ada 20 hewan yang disembelihnya hingga 2025.

Pria setinggi 165 sentimeter itu lalu memaparkan bahwa seorang juru sembelih harus memahami fikih: tahu saluran mana yang harus diputus, bagaimana niat diucapkan, serta kondisi hewan dan penyembelih yang sah.

Yang menarik, pelatihan ini tidak berhenti pada teori. Setiap peserta diwajibkan menguasai pengasahan alat potong. 

"Pisau tumpul bisa menyebabkan proses menyembelih gagal, bahkan menyiksa hewan. Itu haram," katanya serius.

Dalam pelatihan, peserta diajarkan memilih bahan pisau, teknik asah dengan batu bergradasi, hingga pengujian tajam melalui sayatan pada kertas. Golok yang baik, kata Miftah, harus mampu menyayat tanpa hambatan.

Bahan pisau juga menjadi perhatian. Pisau stainless menjadi standar, karena mudah dibersihkan, tidak mudah berkarat, dan aman bagi makanan. 

"Banyak jagal tradisional masih pakai baja karbon dari per jeep. Tajam, tapi rawan karat. Itu bisa jadi kontaminan kalau tidak dirawat," katanya.

Miftah juga menjadi bagian dari pengurus DPD Juleha Bandung Raya. Ia dipercaya sebagai sekretaris dan rutin menjadi mentor dalam pelatihan. Tidak hanya itu, ia juga memiliki sertifikasi kompetensi nasional dari BNSP. 

"Sertifikasi ini bukan hanya selembar kertas. Ini pengakuan bahwa kita layak menjadi juru sembelih profesional dan sah di mata negara," ujar Miftah.

Ada 13 kompetensi dasar yang diakui dalam sertifikasi nasional. Yang utama: menjalankan syariat Islam. "Artinya kita harus salat, zakat, puasa. Bahkan saat ujian, kita ditanya cara wudu dan salat. Karena bagaimana bisa kita mengurusi ibadah orang lain kalau kita sendiri abai?," ujarnya.

Miftah menyadari bahwa di masyarakat, profesi ini sering kali dipandang rendah. Stigma jagal masih lekat: kasar, bertato, minum-minum.

"Kami ingin menghapus itu. Makanya kami kampanyekan istilah Juleha, bukan jagal," katanya. Ia percaya, juru sembelih halal harus berwibawa, bersih, dan memiliki adab.

Target komunitasnya pun sederhana tapi bermakna: satu masjid, satu Juleha. Ini agar saat kurban, DKM tidak perlu mencari orang luar yang belum jelas kompetensinya untuk melakukan penyembelihan 

Satu Gerakan Empat Saluran Vital Putus

Dalam praktik penyembelihan, ada banyak hal teknis yang harus diperhatikan. Dari mulai lokasi penyembelihan, posisi pisau, hingga saluran-saluran yang harus diputus.

"Empat saluran: kerongkongan, saluran napas, dan dua pembuluh darah besar di leher. Harus terputus semua dalam satu atau dua gerakan, tanpa mengangkat pisau," terang Miftah.

Bagi sapi, titik sembelih ideal adalah lima jari dari pangkal leher, di bawah jakun. Untuk kambing, tiga jari. Untuk ayam, satu jempol. Jika tidak bisa meraba jakun, penyembelih harus menggunakan feeling berdasarkan pengalaman.

Kadang Miftah melakukan penyembelihan di rumah potong hewan (RPH), tempat di mana sapi-sapi impor dari Australia diproses. Dalam sebulan, ia bisa satu atau dua kali ke sana. Tujuannya agar keahliannya tidak luntur.

Ia bilang, sapi-sapi jenis BX ini biasa dirawat tidak di dalam kandang. Sehingga tidak bisa ditangani manual, perlu strategi khusus agar para pekerja tidak terluka akibat sapi mengamuk. Salah satunya dengan cara "stunning". 

Miftah lalu menampilkan video ketika dirinya hendak menyembelih sapi di RPH. Di hadapannya, seekor sapi berbobot setengah ton telah tenang. Tenang bukan karena jinak, tetapi karena metode "stunning" yang telah melumpuhkan geraknya sejenak sebelum penyembelihan. 

Miftah menatap leher binatang itu. Dengan satu gerakan mantap, ia mengarahkan golok ke bawah jakun—tepat lima jari dari pangkal leher. Seketika darah menyembur. Jantung binatang masih berdetak, memompa darah keluar secara alami. 

Akan tetap metode "stunning" sempat menimbulkan kontroversi di publik. Banyak yang mengira sapi-sapi itu ditembak. Padahal, teknik stunning hanya membuat hewan pingsan sebentar.

"Yang penting, hewan itu masih hidup saat disembelih. Ada waktu 30 detik dari stunning sampai sembelih. Kalau lewat, bisa mati dan jadi bangkai," kata Miftah.

Karena itulah, operator stunning pun harus bersertifikat. Penyembelihan yang tidak benar tidak hanya membuat ibadah kurban tidak sah, tapi juga merusak kualitas daging. 

"Kalau hewan stres, darah tidak keluar sempurna. Daging jadi keras, alot, bahkan bisa bau," bebernya.

Kini, setiap tahun Idul Adha, Miftah sibuk dari pagi hingga sore. Kadang menyembelih, kadang menjadi pengawas untuk memastikan proses sesuai syariat. 

Dia dan komunitasnya aktif mendatangi masjid-masjid yang ada di Bandung Raya. Tujuannya untuk mensosialisasikan pentingnya juru jagal yang memiliki sertifikat.

Tak jarang ada yang meminta untuk melakukan penyembelihan, biayanya berkisar Rp300-500 ribu. Sedangkan paket sembelih hingga pembungkusan daging biayanya sekitar Rp2,5 juta. Tapi ia menyebut ini bukan tujuan utamanya.

"Saya ingin masyarakat sadar. Bahwa menyembelih itu bukan asal potong. Ini ibadah. Dan harus dilakukan dengan hati."

Miftah bukan hanya menyembelih hewan, tapi juga menyembelih stigma tentang profesinya. Bahwa juru sembelih bukan jagal. Bahwa profesi ini bukan kotor dan brutal. Bahwa tangan yang mengucap basmalah sebelum menyayat leher hewan, adalah tangan yang paham adab, tajam dalam ilmu, dan lembut dalam niat. (*)

Tags:
Idul AdhaJuru sembelih halalJuleha

Gilang Fathu Romadhan

Reporter

Andres Fatubun

Editor