Ade Taryo memungut sampah di bawah jembatan BBS Sungai CItarum, Batujajar, Bandung Barat. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

Beranda

Sungai Citarum Diterjang Banjir Sampah, Hanyut dalam Tumpukan Program

Jumat 13 Jun 2025, 10:29 WIB

AYOBANDUNG.ID - Sungai Citarum, yang dulu jadi urat nadi kehidupan masyarakat Jawa Barat, kini lebih sering jadi tempat buang sampah raksasa. Dari hulu ke hilir, alirannya seolah ditakdirkan membawa beban yang tak pernah selesai: limbah rumah tangga, sampah plastik, dan janji-janji penguasa.

Di bawah jembatan BBS, kawasan Desa Selacau, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Citarum seperti kehilangan wibawa. Permukaan airnya tak lagi terlihat. Tertutup total oleh eceng gondok dan aneka sampah kiriman dari daerah hulu: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, bahkan Cimahi.

"Tiap hari juga kiriman sampah gak pernah berhenti," kata Ade Taryo, seorang pemungut sampah yang saban hari berjaga di bawah jembatan itu, Kamis, 11 Juni 2025.

Sosok Ade bukan siapa-siapa. Tapi tanpa orang seperti dia, Citarum mungkin sudah lama jadi kuburan basah bagi plastik dan limbah domestik. Ia tahu betul ritme sampah Citarum: datang deras saat hujan, mengendap saat arus pelan, kembali lagi saat angin bertiup ke arah hulu. Seperti lagu lama yang diputar berulang-ulang.

Bukan kali pertama Citarum jadi sorotan. Tahun lalu, selebgram Pandawara datang membuat video di lokasi ini. Viral. Pemerintah turun. Sampah dibersihkan. Kamera mati, aksi berhenti. Pola yang sama, dari dulu hingga kini.

Banyak Program, Sampah Tak Berkurang

Sungai Citarum sebetulnya punya banyak pengawal. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pada Maret lalu pernah berkata akan membongkar bangunan liar di sepanjang aliran sungai. "Seluruh bangunan yang menggunakan Sungai Citarum akan kami bongkar, ya bangunan rumah. Kecuali jembatan," katanya saat meninjau anak Sungai CItarum di Kabupaten Bandung.

Dedi juga menjanjikan pemindahan TPS di pasar-pasar yang terlalu dekat dengan sungai, serta menempatkan satu petugas berjaga 24 jam di setiap jembatan. “Kita siapkan satu petugas di setiap jembatan, setiap hari piket 24 jam," ujarnya.

Sayangnya, semua itu seperti skrip lama. Sejak 1989, Citarum sudah berulang kali ‘diselamatkan’. Program Kali Bersih (Prokasih), Citarum Bergetar, Citarum Bestari, ICWRMIP, hingga yang terbaru dan paling tenar: Citarum Harum. Masing-masing datang dengan baliho besar, slogan manis, dan anggaran miliaran. Tapi tidak pernah menyentuh akar persoalan.

Tapi suara keras bukan jaminan pekerjaan terlaksana. Faktanya, limbah masih mengalir bebas. Sampah menumpuk lagi-lagi, bahkan setelah digelontorkan dana besar dan berbagai infrastruktur pengolahan dibangun.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan hidup (Walhi) Jabar, Wahyudin Iwang, secara gamblang menyebut program ini gagal. “Kami menyebut program Citarum Harum gagal,” katanya, Mei 2024 lalu. Salah satu kritik utama mereka adalah ketertutupan data soal kualitas air. Pemerintah menyebut indeks kualitas membaik, tapi tak pernah menjelaskan lokasi pengambilan sampel, laboratorium, atau melibatkan komunitas lingkungan.

Presiden RI, Joko Widodo meninjau titik nol Sungai CItarum di Desa Tarumajaya, Kertasari, Kabupaten Bandung, saat peresmian Citarum Harum 22 Februari 2018. (Sumber: Biro Setpres)

Lebih dari itu, lahan kritis di hulu yang seharusnya jadi prioritas, justru makin luas. Petak 73 di hulu Citarum, yang menjadi titik nol sungai ini, juga tak luput dari kritik. Di sana, kawasan Artapela yang dikelola Perhutani tetap gundul, begitu pula lahan-lahan milik PTPN dan masyarakat. Reboisasi tidak jalan. Konservasi sebatas wacana. Kalau musim hujan datang, banjir datang bersama gunungan sampah.

Upaya sporadis seperti pengecoran saluran limbah industri oleh TNI tak banyak menimbulkan efek jera. Besok-besok muncul lagi saluran baru. Ini seperti bermain kejar-kejaran tanpa ujung.

Di Hulu Kritis, Di Hilir Jadi Lautan Sampah

Di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, setidaknya ada tujuh anak sungai yang jadi muara sampah domestik warga. Organisasi Plastic Fisher mencatat, dari tujuh titik itu saja—Cikoneng, Cibisoro, Wargamekar, Oxbow, Lengkong, GBA, dan Cijeruk—sampah plastik yang berhasil dijaring bisa mencapai lebih dari dua ton per minggu.

“Itu hanya sampah plastik yang sudah dikeringkan dan tidak bernilai jual,” kata relawan Plastic Fisher, Gandis.

Bayangkan berapa banyak totalnya jika dihitung seluruh anak sungai Citarum yang jumlahnya bisa mencapai ribuan. Dari tujuh saja sudah dua ton per pekan, bagaimana dengan sisanya?

Semua menunjukkan bahwa persoalan utama bukan pada "sungainya", tapi di masyarakat dan sistem pengelolaan sampahnya. Di kawasan Cekungan Bandung, dari Kota Bandung hingga KBB, sistem pengelolaan sampah lebih banyak bergantung pada model “angkut dan buang”.

Ketua Dewan Daerah Walhi Jabar, Dedi Kurniawan, menyebut bahwa pendekatan seperti ini justru mendorong pemborosan anggaran.

“Pemerintah memang punya segudang rencana pengolahan, tapi tidak sampai menyelesaikan dari sumbernya. Program cenderung ke arah mengelola, bukan menyelesaikan,” ujarnya.

Bahkan retribusi sampah yang ditarik dari masyarakat tidak cukup untuk menutup ongkos operasional. Maka muncullah anggaran miliaran untuk menambal. Di beberapa tempat, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang dibangun dengan biaya besar malah jadi semacam museum: tak dipakai, terbengkalai, atau macet sistemnya.

Citarum kini ibarat pasien kronis yang terus-menerus diberi vitamin palsu. Permukaannya dibersihkan saat viral, dipoles dengan program baru saat pemilu datang, tapi luka di dalam tak pernah diobati. Di hulu, vegetasi hilang. Di tengah, limbah terus dibuang. Di hilir, rakyat kecil seperti Ade Taryo terus memungut sampah demi menyambung hidup.

Tags:
Citarumsampah

Restu Nugraha Sauqi, Mildan Abdalloh

Reporter

Redaksi

Editor