Ilustrasi tambang di kawasan Kabupaten Bandung Barat. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Beranda

Perintah Dedi Mulyadi untuk Menertibkan Tambang Ilegal di Bandung Barat Tak Semudah Membalikan Telapak Tangan

Senin 07 Jul 2025, 08:39 WIB

AYOBANDUNG.ID - Penertiban tambang ilegal di Kabupaten Bandung Barat (KBB) kini memasuki babak baru yang kompleks. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat menutup 13 titik tambang yang dinyatakan tak berizin, menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak—mulai dari pengusaha, anggota legislatif daerah, hingga pemerhati lingkungan.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dalam pidatonya pada Sidang Paripurna Hari Jadi ke-18 Bandung Barat, meminta Bupati Jeje Richie Ismail untuk tidak ragu menertibkan tambang ilegal. Dedi menyindir gaya kepemimpinan simbolik yang tidak dibarengi tindakan nyata dan mengingatkan pentingnya menjaga tata ruang sesuai prinsip adat Sunda.

Namun langkah tegas ini menimbulkan perdebatan. Ketua Himpunan Pengusaha Pekerja dan Masyarakat Tambang (HP2MT) Cipatat-Padalarang, Taofik E Sutaram, menilai bahwa sebagian dari tambang yang ditutup sebenarnya telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), hanya saja masih menunggu pengesahan administratif berupa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

Taofik menyebut bahwa industri hilir, seperti pakan ternak, kosmetik, baja, hingga cat, sangat bergantung pada hasil tambang dari kawasan Citatah. Penutupan tambang yang mendadak tanpa solusi justru membuat stok bahan baku menipis dan aktivitas produksi menurun.

Kawasan Citatah sendiri telah lama dikenal sebagai penyuplai utama batu gamping di Jawa dan Sumatera. Rantai industrinya melibatkan lebih dari 42 pabrik dan ribuan pekerja. Penghentian tambang, menurut Taofik, memicu efek domino yang melumpuhkan industri secara keseluruhan.

Meski mendukung pemberantasan praktik ilegal, para pelaku usaha tambang resmi merasa dirugikan jika proses administrasi menjadi penghambat aktivitas mereka. Mereka meminta kejelasan hukum dan kemudahan dalam proses perizinan tanpa mengabaikan pengawasan lingkungan.

Potret sebuah alat berat beroperasi di salah satu tambang di Kabupaten Bandung Barat. (Sumber: Ayobandung | Foto: Restu Nugraha)

Di sisi lain, Komisi III DPRD KBB menyuarakan hal serupa. Ketua Komisi, Pither Tjuandys, menyatakan bahwa ke-13 tambang yang ditutup justru memiliki IUP yang dikeluarkan oleh provinsi. Ia menilai penutupan tanpa klarifikasi status legal sebagai tindakan yang merugikan investor dan tenaga kerja.

Pither bahkan menyebut tambang-tambang itu sebagai “aset daerah” yang harus dipertahankan. Ia khawatir kebijakan tersebut akan menambah angka pengangguran, karena ribuan pekerja tambang kini dirumahkan tanpa kejelasan nasib.

Bupati Jeje Richie Ismail sendiri telah menugaskan Satpol PP untuk melakukan pendampingan penertiban tambang ilegal. Ia menyatakan tidak ada toleransi terhadap pelaku tambang tanpa izin, seraya memperkuat edukasi dan pembinaan terhadap pelaku tambang resmi.

Namun, perbedaan pandangan antara Pemprov Jabar dan DPRD KBB justru memperkeruh suasana. Di satu sisi, gubernur mendorong penegakan hukum dan pemulihan tata ruang. Di sisi lain, DPRD KBB lebih fokus menyuarakan keberlanjutan ekonomi lokal.

Tak hanya pengusaha dan politikus, kritik juga datang dari pegiat lingkungan. Peneliti PRPKC, Andri Prayoga, menilai bahwa langkah Pemprov hanya menyentuh aspek administratif tanpa menyentuh akar masalah—yakni paradigma eksploitasi kawasan karst Citatah.

Menurut Andri, kawasan karst seharusnya dilindungi total dari aktivitas tambang karena termasuk dalam kawasan bentang alam yang tak boleh berubah. Namun, perlindungan itu makin longgar sejak revisi Perda RTRW KBB tahun 2024 yang menghapus status Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) dan memperlonggar definisi kawasan lindung.

Sejarah mencatat bahwa sempat ada moratorium tambang dan zonasi pelestarian pada 2010-an. Namun semangat itu pudar seiring bergesernya arah kebijakan daerah yang lebih mengakomodasi pertambangan.

Gubernur Dedi menyebut bahwa selama ini tambang ilegal tidak hanya merusak alam, tapi juga menyebabkan jalan rusak, penyebaran penyakit pernapasan, hingga stagnasi ekonomi di masyarakat sekitar. Ia bahkan menyatakan belum pernah melihat satu pun kawasan tambang rakyat yang membawa kemajuan.

Bagi para pemerhati lingkungan, hal ini menjadi bukti kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Sementara para pelaku usaha tambang berharap agar proses penertiban tidak membabi buta dan mempertimbangkan nasib industri hilir.

Dinas ESDM Provinsi Jabar mencatat ada 176 titik tambang ilegal di 17 kabupaten/kota, dan 13 di antaranya berada di KBB. Semua data ini telah dilaporkan ke aparat penegak hukum. Namun status tambang yang sudah memiliki IUP namun belum lengkap dokumennya masih menjadi wilayah abu-abu yang menyulitkan penegakan aturan.

Surat edaran Gubernur Nomor 26/PM.05.02/PEREK yang menjadi dasar penghentian sementara perizinan pertambangan pun dinilai oleh banyak pihak hanya bersifat administratif dan belum menyentuh substansi perlindungan lingkungan.

Ketika aturan menjadi multitafsir, maka yang muncul adalah ketidakpastian. Pengusaha bingung, pemerintah daerah terjepit, pekerja kehilangan mata pencaharian, dan lingkungan tetap tak sepenuhnya terlindungi.

Persoalan tambang di Bandung Barat pada akhirnya bukan hanya soal izin, tetapi juga menyangkut arah kebijakan pembangunan yang harus mampu menjawab kebutuhan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian alam. Solusi kolaboratif, transparansi data, dan keberanian pemimpin daerah akan menjadi kunci agar krisis ini tidak berkepanjangan.(*)

Tags:
Kabupaten Bandung BaratTambang Ilegal

Restu Nugraha Sauqi

Reporter

Andres Fatubun

Editor