Di balik keindahan Kota Bandung, ada suara yang belum cukup terdengar, yakni jeritan para penyandang disabilitas yang masih kesulitan mengakses ruang publik. (Sumber: Ayobandung.id)

Ayo Biz

Bandung Belum Sepenuhnya Inklusif: Jeritan Disabilitas di Tengah Taman Kota

Jumat 03 Okt 2025, 18:54 WIB

AYOBANDUNG.ID -- Bandung, kota yang dikenal dengan kreativitas dan semangat komunitasnya, terus berbenah. Dalam beberapa tahun terakhir, wajah kota ini dihiasi taman-taman tematik yang menjadi ruang rekreasi warga. Taman Jomblo, Taman Musik, Taman Film, dan lainnya menjadi magnet baru bagi masyarakat. Namun di balik keindahan itu, ada suara yang belum cukup terdengar, yakni jeritan para penyandang disabilitas yang masih kesulitan mengakses ruang publik.

Pemerintah Kota Bandung memang gencar membangun taman kota sebagai bagian dari upaya meningkatkan indeks kebahagiaan warga. Namun, pertanyaan mendasar muncul dari Aden Achmad, aktivis HAM Difabel Bandung Raya: “Apakah ruang publik tersebut ramah bagi kawan-kawan penyandang disabilitas?”

Secara regulatif, Indonesia telah memiliki Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Peraturan ini mewajibkan setiap ruang terbuka aktif dan pasif untuk memenuhi standar aksesibilitas, termasuk jalur landai, guiding block, dan fasilitas pendukung lainnya.

Namun, menurut Aden, banyak taman di Bandung belum memenuhi standar tersebut. “Kemudahan akses adalah salah satu hal penting pada ruang terbuka publik. Salah satu tujuan pembuatan taman di Bandung juga untuk menambah indeks kebahagiaan warga kota, tapi bagi kami ini masih amat jauh dari harapan,” ujarnya saat berbincang dengan Ayobandung.

Data dari Dinas Sosial Kota Bandung menunjukkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di kota ini mencapai lebih dari 6.000 orang pada tahun 2022. Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, sekitar 2,3% penduduk provinsi ini memiliki keterbatasan fisik atau sensorik. Angka ini seharusnya menjadi dasar kuat dalam perencanaan tata ruang kota yang inklusif.

Satu taman yang patut diapresiasi adalah Taman Inklusi di kompleks Taman Maluku. Taman ini lahir dari sebuah petisi dan menyediakan fasilitas seperti perosotan landai dan ayunan yang bisa memuat kursi roda. Meski demikian, Aden menilai pemanfaatannya belum maksimal.

“Contoh taman inklusi saja, meski inklusi, taman ini belum sempurna bagi kami. Dulu saat perencanaanya kami memang pernah terlibat dalam perencanaannya ini tapi saat pembuatannya kami tidak dilibatkan. Sebetulnya kami dari awal merencanakan taman di Kota Bandung itu betul-betul inklusi dan aksesnya bisa dijangkau oleh semua, tapi kenyataannya, ya begitulah,” bebernya.

Di sisi lain, Peraturan Daerah Kota Bandung No. 26 Tahun 2009 tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Penyandang Cacat secara eksplisit menyebutkan bahwa penyandang disabilitas berhak atas aksesibilitas di fasilitas umum. Namun, implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak taman belum memiliki jalur pemandu bagi tuna netra atau ram yang sesuai standar kemiringan.

Isu ini bukan hanya soal keadilan sosial, tapi juga peluang ekonomi. Menurut laporan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), wisata inklusif dapat meningkatkan pendapatan daerah hingga 20% karena menjangkau kelompok yang selama ini terpinggirkan. Bandung, dengan daya tarik wisatanya, punya potensi besar untuk mengembangkan bisnis berbasis inklusi.

UMKM lokal bisa berperan dalam menyediakan layanan pendukung seperti transportasi ramah disabilitas, pemandu wisata inklusif, hingga penyewaan alat bantu mobilitas. Bahkan, taman-taman kota bisa menjadi ruang inkubasi bagi komunitas kreatif disabilitas untuk memamerkan karya mereka.

Konsep universal design, yang memungkinkan produk atau lingkungan digunakan oleh semua orang tanpa perlu adaptasi khusus, harus menjadi prinsip utama dalam pembangunan ruang publik. Evaluasi terhadap taman-taman di kompleks Balai Kota Bandung menunjukkan bahwa prinsip “perceptible information” atau ketersediaan informasi masih menjadi titik lemah. Ini menunjukkan perlunya penataan ulang agar informasi dan navigasi di taman bisa diakses oleh semua, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan sensorik.

Lebih dari sekadar estetika, taman kota adalah cerminan nilai-nilai demokrasi dan inklusi. Ketika taman hanya bisa dinikmati oleh sebagian warga, maka ada yang perlu dikoreksi. Kota yang tumbuh bukan hanya kota yang cantik, tapi juga kota yang adil.

Bandung punya potensi besar untuk menjadi pelopor kota inklusif di Indonesia. Tapi langkahnya harus dimulai dari mendengar jeritan sunyi yang selama ini terabaikan. Karena taman bukan hanya tempat bermain, tapi juga ruang untuk merasa setara.

Oleh karenanya, Aden mengatakan, keterlibatan komunitas disabilitas dalam perencanaan dan pembangunan ruang publik menjadi kunci. Dia menekankan pentingnya pelibatan aktif komunitas dalam setiap tahap pembangunan taman.

“Intinya kalau menciptakan tata kota, libatkan lah kami kaum disabilitas. Karena kalau tidak dilibatkan, pasti terjadi kesalahan lagi dalam pembangunannya. Karena sesungguhnya kami juga memiliki hak yang sama,” pungkas Aden.

Alternatif produk kreatif karya teman difabel atau UMKM serupa:

https://s.shopee.co.id/7pjtoA3yEh

https://s.shopee.co.id/8pcR02UI7P

https://s.shopee.co.id/5ffPEEowqt

Tags:
wajah kotakomunitasruang publikpenyandang disabilitastaman tematik

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Reporter

Eneng Reni Nuraisyah Jamil

Editor