Haji adalah sebuah ibadah kolosal tentang menjadi manusia yang mengenal dirinya (arafa nafsahu). (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Asep Dadan Muhanda)

Ayo Netizen

Jalan Terjal Menuju Baitullah

Kamis 22 Mei 2025, 14:50 WIB

Bila kita memaknai haji sebagai panggilan Tuhan, dalam bentuk ketundukan, kepasrahan, dan pendekatan diri (taqarrub), bukan sebagai proyek pencitraan sosial untuk dikontenkan di media sosial, niscaya tidak akan tumbuh subur perilaku lalim yang penuh rekayasa.

Sayangnya, praktik sebaliknya justru marak. Kita sering menyebutnya haji ilegal, sengkarut jalan pintas dalam menjalankan rukun Islam kelima. Fenomena ini mencerminkan pergeseran makna ibadah (umrah dan haji) di tengah masyarakat Indonesia, dari ritual syariah (ibadah vertikal) menjadi simbol gaya hidup: pencitraan diri, komodifikasi, hingga komersialisasi agama.

Betapa tidak, sebanyak 117 WNI ditolak masuk oleh Imigrasi Bandara Internasional Madinah karena diduga hendak melaksanakan haji secara non-prosedural menggunakan visa kerja. Pemantauan KJRI Jeddah sejak 3 - 15 Mei 2025 mencatat lebih dari 300 WNI masuk Arab Saudi dengan visa kerja (visa ziarah), bukan visa haji resmi.

Lebih parahnya lagi, di Makkah, dua WNI mukimin: TK (51) asal Tasikmalaya dan AAM (48) asal Bandung Barat, ditangkap karena menipu jemaah dengan mempromosikan haji palsu dan menjual Kartu Nusuk ilegal. Mereka menampung 23 orang pemegang visa kunjungan untuk melaksanakan haji tanpa izin resmi.

Padahal, Kerajaan Arab Saudi telah menetapkan bahwa ibadah haji hanya sah dilakukan dengan visa resmi haji dan mengikuti prosedur yang berlaku. Penyalahgunaan visa non-haji saat melaksanakan rukun Islam kelima ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi merampas hak orang lain yang secara sah terdaftar sebagai tamu Allah berdasarkan kuota yang telah ditetapkan.

Perlu diingat, meskipun ibadah haji yang dilakukan tanpa visa resmi secara syariat bisa dianggap sah, pelaku tetap berdosa karena sengaja melakukan pelanggaran. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang melakukan haji ke Baitullah tanpa berkata kotor dan tanpa melakukan pelanggaran, maka ia akan kembali seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.” (http://www.kemenag.go.id)

Hikayat Haji Ilegal

Ija Suntana, dosen UIN Bandung, menegaskan bahwa haji ilegal adalah bentuk ironi religiositas: kita rela berdusta demi bisa bersujud di Tanah Suci dan wukuf di Arafah, tetapi dengan proses yang penuh kebohongan. Ibadah yang seharusnya menjadi puncak keikhlasan justru ditempuh dengan “jalan tikus” yang penuh rekayasa.

Haji ilegal tumbuh karena ada preseden sukses. Ada yang pernah berangkat secara ilegal, lolos dari pemeriksaan, berhasil wukuf, lalu pulang kampung dengan gelar “haji”. Cerita sukses ini yang menginspirasi banyak orang untuk mencoba cara yang sama.

Parahnya, jalur haji ilegal kini tidak lagi dilihat sebagai tindakan salah (berdosa), melainkan sebagai opsi strategis dalam menjalankan ibadah. Ketika ibadah haji dipersepsi sebagai “manuver” dan bukan panggilan suci, maka gema ilahi pun kehilangan maknanya.

Ibadah terus bergeser dari bentuk penghambaan menjadi perhitungan kalkulatif. Ironisnya, mereka yang meniru kesuksesan “Pak Haji” sebenarnya tahu bahwa “jalur tikus” penuh risiko, mulai dari ditangkap petugas bandara, dideportasi, hingga dipenjara di Arab Saudi. Namun semua itu dianggap sebagai bentuk jihad fisabilillah demi mengejar gelar haji dan pengakuan sosial.

Aktivitas ini mencerminkan retaknya makna haji dalam benak sebagian masyarakat. Haji telah bergeser menjadi “investasi citra”. Ibadah berubah menjadi perjalanan simbolik. Saat prosesnya tidak sah, maka kita mungkin terlihat sedang thawaf di Baitullah, tetapi dalam bayang-bayang kesalahan, (kalau masih sempat sadar). Bahkan rasa was was akan terkena “sial” bisa terus menghantui.

Jika negara ingin menyelesaikan persoalan haji ilegal, pendekatannya tidak boleh setengah hati. Tak cukup hanya memburu pelaku di lapangan. Harus ada pembongkaran struktur pasar gelap haji ilegal, hukuman yang tegas dan adil, pendidikan publik yang menyentuh akar kesadaran masyarakat. Harus ada satu suara bersama: jalan pintas dalam ibadah haji adalah jalan paling keliru dalam mendekat kepada Tuhan.

Sebab, haji bukan sekadar soal sampai ke Makkah. Tapi bagaimana kita mempersiapkan diri, membersihkan hati, dan datang ke Tanah Suci dengan cara yang benar. Jika prosesnya keliru, apa yang bisa kita harapkan dari hasilnya?

Lebih dari itu, kita perlu membongkar cara pandang yang salah tentang haji. Kita harus sadar, Tuhan tidak bisa didekati melalui lorong kebohongan dan pelanggaran. Sang Maha Suci tidak layak ditemui lewat jalan yang kotor. Jangan biarkan keinginan cepat berhaji mengalahkan akhlak kita sebagai umat beragama. (Kompas, Senin 12 Mei 2025)

Prinsip Utama

Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Asep Dadan Muhanda)

Saking pentingnya ibadah rukun Islam kelima bagi yang mampu, Ali Syariati mengingatkan kepada kita yang diawali dengan cara meluruskan niatnya. Sebelum berangkat haji, kita harus “menggugat” dulu niat, perangkat dan perilaku jiwa kita. Sudah benarkah niat kita? Halal kah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, ataukah jiwa yang hendak “memperalat” Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang?

Selami jiwa kita dan bunuhlah tikus-tikus busuk yang ada di dalamnya. Selami pula hakikat haji untuk kemudian kita biarkan keagungan-Nya bersemayam dalam jiwa kita dan memancar jauh ke dalam relung kehidupan, sebagaimana dulu Ibrahim as “Singa Padang Tauhid”.

Sebelum memasuki Miqat, yang merupakan awal perubahan dan revolusi besar, engkau harus menyatakan niat. Niat apa? Niat “perpindahan” dari rumahmu ke rumah umat manusia, dari kehidupan kepada cinta, dari sang diri kepada Allah, dari penghambaan kepada kemerdekaan, dari diskriminasi rasial kepada persamaan, ketulusan hati dan kebenaran, dari berpakaian menjadi telanjang, dari kehidupan sehari-hari kepada kehidupan abadi, dari egoisme dan ketidak bertujuan kepada ketaatan dan tanggung jawab. Niat ini merupakan suatu perpindahan ke dalam keadaan “ihram”.

Niatmu harus dinyatakan dengan tegas. Engkau akan mencuat dari tempurungmu, laksana biji kurma keluar dari dagingnya. Setelah sadar sepenuhnya maka engkau harus memiliki keyakinan dalam hati. Terangi hatimu dengan api cinta, bersinar dan bersinarlah. Lupakan segala sesuatu tentang dirimu. Dulu engkau hidup dalam kelalian, kebodohan dan tak berdaya dalam segala aspek kehidupan. Urusan pekerjaan pun engkau menjadi seorang budak yang bekerja karena kebiasaan (terpaksa). 

Kini tinggalkanlah pola hidup (gaya hidup glamor, gila status, gelar), budaya komsumtif seperti itu! Jadilah manusia yang benar-benar sadar akan Allah yang Maha Kuasa, akan umat dan dirimu sendiri. Pilihlah pekerjaan baru, petunjuk baru dan “diri” yang baru pula.

Kaum muslim dari seluruh penjuru dunia setiap tahun diajak untuk berpartisipasi dalam “pertunjukkan” akbar (haji) ini. Semua orang dianggap sama. Tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, ataupun status sosial. Sesuai dengan ajaran Islam, “semua adalah satu dan satu adalah semua”.

Pada hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demontrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam. Pelaksanaan haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukkan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukkan tentang ‘penciptaan’, ‘sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’. (Ali Syariati, 2001:19-20, 37-38).

Baca Juga: Ketentuan Kirim Artikel ke Ayobandung.id, Total Hadiah Rp1,5 Juta per Bulan

Menjemput Panggilan

Haji adalah sebuah ibadah kolosal tentang menjadi manusia yang mengenal dirinya (arafa nafsahu).  Dalam buku Haji Jalur Langit, Fahd Pahdepie menuliskan dengan apik, unik dan inspiratif.  

Saat saya memutuskan mendaftar haji reguler, waktu tunggu berangkat haji dari kota saya sudah melebihi 20 tahun. Saudara saya yang mendaftar tiga tahun sebelumnya terjadwal berangkat tahun 2031. Maka, setiap tahun saya adalah manusia yang bersedih dan menyesal. Setiap tahun saya dihantui perasaan bersalah kepada diri sendiri. Tiga kali saya dipanggil, tiga kali pula saya mengabaikan panggilan itu. Betapa hina dan bodohnya saya. Sementara uang tak kunjung terkumpul, selalu terganggu ini dan itu. Antrean haji reguler terus memanjang hingga 25 tahun, 30 tahun, dan lebih lama lagi. Masihkah Allah memberi saya umur dan kesempatan hingga selama itu? Saya hanya bisa berdoa dan memohon ampunan.

Namun, ternyata Allah punya kehendak lain untuk saya. Keajaiban selalu datang pada waktu tak terduga. Entah bagaimana, pada 2023, tahun ini, doa itu terjawab. Panggilan haji datang lagi untuk kali keempat. Namun, kali ini dari jalur yang tak pernah saya duga sebelumnya: menjadi petugas haji. Mewakili Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menjadi panitia penyelenggara dan pendamping haji. Setelah mengikuti serangkaian tes dan proses seleksi, saya dinyatakan lolos. Tahun 2023 ini, insya Allah saya berhaji untuk bertugas. Allahu Akbar!

Demikianlah, saya adalah saksi bahwa haji merupakan panggilan Allah Yang Maha Agung. Tidak semua orang yang punya ongkos akan berangkat, tidak semua yang punya uang bisa melenggang, tidak semua yang ingin bisa menunaikannya. Haji adalah ibadah istimewa yang punya misterinya sendiri. Ada yang sudah waktunya berangkat, gagal berangkat. Saya tiga kali mengalami peristiwa semacam itu. Bukan karena fisik tak mampu, bukan karena ongkosnya tak tersedia. 

Sehari menjelang keberangkatan menuju Tanah Suci untuk berhaji, saya sudah berada di asrama embarkasi Bekasi. Di sini saja, saya sudah diperlihatkan banyak peristiwa ajaib yang bikin geleng-geleng kepala. Tentang betapa peristiwa haji adalah takdir dengan segala variasi dan turunannya yang tak terduga. Bahwa panggilan berhaji memang undangan langsung dari Allah Swt. yang harus disambut dengan sikap rendah hati dan tawakal— berserah diri pada ketentuan dan ketetapan-Nya.

Di atas kertas, dalam hitungan logika manusia, semua yang sudah berada di embarkasi seharusnya tinggal menunggu giliran terbang ke Tanah Suci. Koper sudah siap, perbekalan sudah cukup, ongkos sudah lunas, tiket dan jadwal terbang tersedia, keterangan sehat atau istita'ah sudah di tangan. Namun, ternyata tak sesederhana itu. Banyak di antara jemaah yang masih mungkin gagal berangkat karena satu dan lain hal. Banyak.

Ada yang tertunda penerbitan visanya. Bahkan, hingga jam penerbangan tiba, visa haji belum juga keluar. Seorang ibu menangis karena harus ditinggal pergi pasangan dan rekan jemaah yang lain. Ia mesti terpisah dari rombongan dan terpaksa lebih lama menetap di asrama haji hingga visa keluar.

"Banyak-banyak istigfar aja, Bu. Minta kepada Allah dengan doa." Hanya itu yang bisa dipesankan petugas dan pembimbing ibadah haji karena semua hal sebenarnya sudah dilakukan semaksimal mungkin, mulai dari kelengkapan berkas, pengurusan yang ekstra, dan lainnya. Si ibu pun menjalankan saran itu. Hasilnya ajaib. Visa keluar beberapa jam kemudian. 

Berbagai peristiwa menjelang keberangkatan ke Tanah Suci mengingatkan kepada kita bahwa takdir memang tak bisa ditolak. Ada seorang kakek yang sudah di bandara dan mengidap demensia, mengotot ingin pulang lagi karena ingat terus sama keluarganya, ia tak ingat lagi akan berangkat haji. Bahkan, ada yang sudah mendarat di Madinah, memaksa pulang pada pramugari karena ia khawatir tak ada yang mengurus ayam-ayamnya di rumah. Mungkin, Anda sudah menonton videonya yang viral itu.

Ada juga yang tinggal naik pesawat, tidak jadi berangkat. Namanya masuk daftar hitam Pemerintah Saudi. Dulu, ia pernah bekerja di Jeddah, tetapi punya masalah dengan atasannya di sana. Berkaca dari semua peristiwa ini, bagi teman-teman jemaah yang sedang mempersiapkan keberangkatan ke Tanah Suci, perbanyaklah berdoa. Perbanyak beristigfar. Hanya doa yang dapat menghindarkan kita dari takdir buruk. Hanya hati yang lapang dan ikhlas yang akan mempercepat doa-doa baik kita menjadi kenyataan.

Kalau ada bekal yang perlu dipersiapkan, perbanyaklah bekal takwa. Hanya bekal itu yang akan menolong kita dari segala sempit dan susah. Termasuk meringankan hati dan diri untuk mau menengadahkan tangan, merapalkan doa-doa, menjauhkan segala bala dan bahaya. 

Jika direnungkan, mungkin saja sebenarnya ada hal-hal buruk yang siap menghampiri kita--termasuk saya, dalam proses keberangkatan menuju tanah Suci ini--tetapi gagal terjadi karena ditangkal doa-doa baik orang-orang di sekeliling kita. Orangtua, istri, suami, anak-anak, saudara-saudara, keluarga dan kerabat kita. Berkat doa-doa merekalah kita terhindar dari hal-hal buruk, didekatkan dengan hal-hal baik. Meski kita tak tahu, doa siapa di antara mereka yang dikabulkan Allah.

Baca Juga: Cara Baru Menulis di Ayobandung.id, Tak Perlu Kirim Tulisan ke Email

Menjadi Manusia Haji

Masjidil Haram adalah ‘melting pot’ yang sempurna untuk menjadi ‘training ground’ bagi pembentukan karakter seorang Muslim. Bagaimana tidak, ibadah di tengah perbedaan multikultur, lintas status ekonomi, dan lintas latar belakang pendidikan, tentu memerlukan tingkat kesabaran dan kebijaksanaan yang tinggi. Apalagi jemaah haji terbanyak datang dari negara-negara berkembang, Pakistan (179.200), India (175.000), Bangladesh (127.000) dan Nigeria (95.000).

Tidak mudah mengendalikan pikiran buruk dan menata hati di tengah suasana ibadah semacam itu. Potensi untuk merasa menjadi yang paling salih, yang paling bersih, yang paling rapi, yang paling baik, yang paling beradab, seraya mengomentari dan menjelekkan jemaah lain sangatlah tinggi. Padahal batasan norma dan ukuran baik-buruk antarbudaya sangatlah berbeda.

Inilah sebabnya rumus utama menjadi Manusia Haji adalah lā rafatsa (tidak mengikuti hawa nafsu), lā fusuqa (tidak berbuat keburukan) dan lā jidala (tidak berbantah-bantahan). Sebagaimana termaktub dalam lanjutan QS al-Baqarah 197, ‘faman faradha fīhinna falā rafatsa, wa lā fusuqa, walā jidala’. Ayat ini mesti menjadi pegangan utama para jemaah haji.

Kata rafats selama ini banyak diterjemahkan sebagai ‘hasrat seksual’. Saat berniat haji (umrah), dalam keadaan ihram, kita dilarang memiliki keinginan dan menyalurkan seksualitas, bahkan untuk suami-istri. Tetapi sebenarnya makna rafats lebih jauh dari itu, segala bentuk pemenuhan hawa nafsu yang sifatnya melampaui batas harus bisa dikendalikan. Karena keinginan sejatinya adalah sumber penderitaan-penderitaan.

Jika hawa nafsu itu gagal dijinakkan, seseorang akan cenderung berbuat fusuq (keburukan). Potensi jemaah haji untuk menjadi fasiq sangatlah banyak. Sejak dari embarkasi, pemondokan, hingga di al-haramain, banyak hal yang menjadi ujian. Dari mulai persoalan besar sampai persoalan kecil, semua berpotensi membuat kita menjadi pribadi yang fasiq, yang buruk budi pekertinya.

Sementara itu, pribadi yang rafats dan fusuq pastilah senang berdebat dan berbantah-bantahan. Karena ego yang besar dan rasa ingin menang sendiri. Tak sabar menghadapi persoalan horisontal dengan orang lain—termasuk keluarga sendiri. Maka larangan tentang ini jelas, lā jidala. Manusia Haji dilarang bertengkar untuk sesuatu yang didasari pada hawa nafsu dan kefasikan. Tentu saja ini syarat yang berat. Sebab semua hal yang kita temui dalam proses lebih dari 40 hari masa haji memungkinkan kita selalu berdebat dan berbantah-bantah.

Padahal, jika kita renungkan, semua jemaah haji dari seluruh dunia adalah saudara dalam iman. Semua datang ke Baitullah karena imannya. Bayangkan apa yang membuat jutaan orang datang untuk melihat bangunan berbentuk kubus, berebut mencium sebuah batu, menziarahi situs-situs yang kering dan gersang, kalau bukan iman? Mereka mengorbankan harta, tenaga, meninggalkan keluarga, karena dorongan iman itu. Sesuatu yang mungkin bagi yang tak memilikinya teras tak masuk akal belaka.

Haji adalah ujian iman. Agar lulus dalam ujian itu, kita dianjurkan untuk memperbanyak berbuat baik. Wamā taf’alū min khairin ya’lamhullah, dan apa-apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Haji adalah momen untuk berlatih membiasakan shalat berjamaah tepat waktu, memperbanyak membaca al-Quran dan berdzikir, bersedekah, membantu sesama Muslim, bersabar saat mendapatkan ujian dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (ta’awun ‘alal birri wa taqwa).

Jika para ahli menyebut bahwa manusia membutuhkan waktu lebih kurang 21 hari untuk membentuk kebiasaan baru, maka 30-40 hari masa haji seharusnya lebih dari cukup untuk memunculkan karakter ‘manusia haji’ tadi. Karakter inilah yang disebut mabrur, yakni ibadah yang berimplikasi pada pembentukan akhlak setelah masa berhaji berkhir. Haji mabrur adalah manusia yang lā rafatsa, lā fusuqa, lā jidala tadi. Karakter manusia yang sadar, bijak, dan berkasih sayang kepada sesama.

Perjuangan yang berat dan panjang pastilah membutuhkan bekal yang cukup. Tanpa bekal yang cukup, kita akan tumbang dan menyerah di tengah jalan. Itulah sebabnya syarat haji adalah ‘mampu’, mereka yang mampu menjalaninya karena cukup bekal berperjalanan (manistatha’a ilaihi sabila). Bukan hanya bekal harta dan kesehatan jasmani, tetapi lebih dari itu.

Bekal sesungguhnya untuk menjalani latihan (riyadhah) kolosal haji adalah taqwa. Wa tazawwadū fainna khairazzādit-taqwā. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bekal berhaji bukanlah ONH, riyal yang cukup, makanan dari tanah air, baju yang bagus untuk beribadah, atau saldo di rekening. Saat berhaji, banyak jamaah yang bersaksi bahwa kadang semua itu tidak menjadi jalan keluar bagi berbagai ujian yang datang.

Jika kita berbekal takwa, sesungguhnya hampir semua persoalan yang datang akan selesai. Sebagaimana janji Allah di surat at-Talaq ayat 2 dan 3. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi setiap persoalan. Allah juga akan memberi orang bertakwa rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Kuncinya adalah tawakal, dengan tawakal itulah Allah akan mencukupkan semuanya. Karena Allah Maha menuntaskan urusan-urusan dan telah menetapkan segala sesuatu sesuai ukurannya. Ayat 1000 dinar inilah yang seharusnya menjadi bekal manusia haji.

Walhasil, haji adalah ibadah yang kompleks. Dimensinya mencakup banyak hal. Seolah semua latihan dalam 4 rukun Islam yang lain disimulasikan dalam satu waktu dan satu tempat tertentu. Jika kita lulus ujian simulasi ini, kita diharapkan menjadi pribadi yang lebih baik di kemudian hari (mabrur). Tentu saja, haji bukan semata-mata ibadah ‘yang penting ikut’ atau ‘yang penting sudah haji’, karena di dalamnya terdapat banyak pelajaran dan hikmah yang hanya akan dipetik oleh orang-orang yang berfikir. Kata Allah, ‘wattaquni yā ulil albab’.(Fahd Pahdepie, 2024:14-15, 21-25, 97-101)

Dengan demikian, ibadah haji (umrah) merupakan tonggak awal lahirnya peradaban Islam yang dibangun di atas fondasi keimanan yang kokoh. Serangkaian ibadah seperti kurban, thawaf, wukuf, sa’i, dan melempar jumrah menjadi simbol dari peradaban Rasul yang menjunjung tinggi nilai keadilan, kemerdekaan, dan persaudaraan. Semuanya berpijak pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Jika kita berpegang teguh pada prinsip-prinsip utama dalam menjalani kehidupan beragama, yang memulai setiap amal baik dengan niat tulus karena Allah, dan melaksanakannya dengan cara-cara yang baik dan bijak, maka Insya Allah, kita akan terhindar dari praktik menghalalkan segala cara (menggunakan visa kerja, visa ziarah, haji ilegal) demi meraih tujuan duniawi, termasuk dalam urusan ibadah haji dan umrah. Mudah-mudahan kita semua tergolong umat Rasul yang senantiasa rindu menjalankan perintahnya dan meninggalkan segala larangannya. Semoga! (*)

Tags:
IslamhajiBaitullah

IBN GHIFARIE

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor