Setiap tanggal 17 Agustus, Ujungberung menjadi panggung hidup bagi tradisi yang telah mengakar di masyarakat, yaitu benjang.
Tradisi yang awalnya merupakan bentuk permainan gulat para pemuda perkebunan kini telah berevolusi menjadi sebuah helaran, iring-iringan budaya yang memadukan musik, atraksi visual, dan nilai-nilai sosial.
Pada perayaan HUT RI ke-80 tahun ini, benjang kembali membuktikan eksistensinya, tetap menjadi primadona di tengah gempuran hiburan populer dan budaya digital yang semakin masif.
Awalnya, benjang dikenal sebagai seni beladiri, permainan gulat yang dimainkan di atas jerami oleh para pemuda. Nama “benjang” diyakini berasal dari akronim sasamben budak bujang, yang berarti “arena para jejaka”.
Permainan ini adalah gabungan tiga teknik tradisional: dogongan (saling dorong dengan pundak), seredan (saling dorong dengan kepala), dan mumundingan (dorongan kepala dalam posisi tertentu).
Benjang gelut berfungsi sebagai latihan fisik sekaligus ritual sosial. Pemuda belajar disiplin, keberanian, sportivitas, dan batas kemampuan tubuh. Arena gulat menjadi ruang pembelajaran sosial sekaligus simbol identitas lokal, tempat generasi muda menunjukkan keberanian dan kemampuan mereka dalam kerangka komunitas.
Transformasi benjang menjadi helaran terjadi sekitar tahun 1938. Helaran awalnya bagian dari prosesi khitanan, namun seiring waktu berkembang menjadi pertunjukan yang lebih kompleks.
Kini, helaran memadukan musik tradisional (bedug, gong, jampana), elemen visual seperti sisingaan, kuda renggong, bangbarongan, kuda lumping dan kostum warna-warni, sehingga pertunjukan terasa lebih menghibur.
Benjang Helaran dan Perayaan HUT RI ke-80
Seperti tahun-tahun sebelumnya, benjang masih menjadi primadona. Ribuan warga berdesakan di pinggir lapang, mata mereka tertuju pada iring-iringan yang akan segera datang.
Ada rasa tegang, kagum, takut, sekaligus penasaran dengan apa yang akan terjadi Dari kejauhan, suara kendang mulai terdengar, menghentak cepat, melambat, lalu kembali menggelegar. Irama itu menjadi penanda bahwa helaran segera dimulai.
Anak-anak yang tadi asyik bermain langsung merapat ke pinggir jalan, sementara orang dewasa penasaran dan bersiap menyambut tontonan yang selalu penuh kejutan.
Satu per satu atraksi melintas. Bangbarongan dengan wajah menyeramkan bergerak lincah, membuat penonton kecil menjerit-jerit di antara rasa takut dan kagum. Tak lama, rombongan kuda lumping tampil, para penarinya menari dengan tatapan tajam dan tubuh yang bergerak penuh tenaga, seolah kerasukan.
Sorak-sorai penonton membahana, sebagian ikut terhanyut dalam magis pertunjukan. Lalu muncul badut topeng dengan wajah-wajah jenaka. Mereka menari dengan gerakan kaku sekaligus lucu, memancing tawa yang memecah ketegangan.
Di sela itu, alunan musik kendang terus mengiringi, memantulkan irama yang membuat dada bergetar, menambah rasa dramatis yang tak bisa diabaikan.

Puncaknya adalah ketika benjang helaran tampil. Iring-iringan pemain dengan kostum warna-warni, gerakan yang teratur namun penuh energi, membuat suasana mencapai klimaks.
Ada formasi yang rapi, lalu tiba-tiba berubah jadi gerakan dinamis, penuh hentakan, kadang hampir chaos namun tetap terkendali. Ketegangan penonton tak terbendung, takut ada yang tersungkur, kagum pada kekuatan dan ketangkasan, sekaligus bangga karena ini adalah bagian dari warisan budaya sendiri.
Di momen itu, Ujungberung benar-benar hidup dengan warna, suara, dan energi yang membahana di alun-alun. Keramaian ini bukan sekadar tontonan hiburan semata, melainkan cermin kearifan lokal yang masih dijaga dan dihargai masyarakat.
Rasa bangga terlihat jelas di wajah-wajah penonton, bangga karena tradisi leluhur tetap terpelihara, bangga karena anak-anak mengenal akar budaya mereka sendiri, dan bangga karena benjang helaran terus menjadi simbol kebersamaan serta identitas Ujungberung di tengah gempuran budaya populer dari luar.
Eksistensi Benjang di era digital
Eksistensi benjang di era digital tidak lepas dari kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Salah satunya adalah pemanfaatan media digital, kanal YouTube, grup WhatsApp, dan platform media sosial lainnya menjadi sarana penting untuk mendokumentasikan pertunjukan, mempromosikan helaran, dan sekaligus memberi edukasi kepada masyarakat luas tentang sejarah serta filosofi benjang.
Dengan cara ini, penonton dari luar kota atau bahkan luar provinsi dapat menyaksikan pertunjukan, sehingga tradisi lokal tidak terbatas hanya pada yang hadir secara fisik.
Selain itu, pembangunan komunitas penggemar menjadi kunci lain. Grup penggemar memungkinkan interaksi yang aktif; anggota saling berbagi jadwal pertunjukan, video, hingga cerita pengalaman menonton benjang.
Komunitas semacam ini memperluas jaringan budaya, menguatkan identitas bersama, dan membuat generasi muda merasa memiliki keterikatan emosional dengan tradisi lokal yang dulunya mungkin terasa jauh dari kehidupan mereka.
Adaptasi kreatif tanpa kehilangan identitas juga menjadi strategi penting. Elemen-elemen baru seperti penambahan musik, kostum warna-warni, atraksi visual tambahan, dan pengaturan formasi yang dinamis membuat pertunjukan tetap relevan dan menarik perhatian penonton modern.

Meski demikian, esensi benjang, nilai kebersamaan, disiplin, dan identitas lokal tetap dijaga, sehingga tradisi ini tidak kehilangan akar budaya yang membentuknya sejak awal.
Lebih dari itu, benjang selalu dikaitkan dengan momen nasional, seperti perayaan HUT RI. Dengan menampilkan helaran di tengah perayaan kemerdekaan, pertunjukan ini menegaskan relevansi budaya lokal dalam konteks nasional.
Masyarakat bukan hanya menyaksikan atraksi yang memukau, tetapi juga merasakan bangga akan kekayaan tradisi mereka yang terus hidup dan memberi warna pada perayaan kebangsaan.
Melalui strategi-strategi ini, benjang menunjukkan bahwa budaya tradisional bisa bertahan, berkembang, dan tetap dicintai di era digital, tanpa harus kehilangan identitasnya yang asli. Tradisi lokal pun tidak sekadar menjadi tontonan, tetapi menjadi bagian dari interaksi sosial, edukasi budaya, dan simbol kebanggaan bersama.
Refleksi HUT RI ke-80 melalui Benjang
Perayaan HUT RI ke-80 di Ujungberung adalah cermin dari harmoni antara nasionalisme dan budaya lokal. Benjang helaran menjadi simbol bahwa kemerdekaan tidak hanya soal sejarah atau politik, tetapi juga kemampuan masyarakat menjaga identitas budaya.
Ribuan warga menyaksikan, berinteraksi, dan menikmati pertunjukan, sementara generasi muda mengabadikan momen melalui kamera dan ponsel, kemudian membagikannya ke dunia digital. Ini menegaskan bahwa budaya tradisional tidak kalah dengan budaya populer global, bahkan mampu menciptakan penggemar setia, komunitas, dan ruang identitas yang kuat.
Setiap gerakan benjang adalah pengingat: meski zaman berubah, budaya lokal yang dikelola dengan cerdas dan kreatif selalu menemukan ruang di hati masyarakat. Ia adalah bukti bahwa tradisi dapat hidup, berkembang, dan tetap relevan, bahkan di tengah gempuran hiburan digital dan budaya populer.
Benjang helaran hari ini bukan sekadar atraksi HUT RI; ia adalah simbol kebanggaan lokal, identitas budaya, dan strategi bertahan tradisi di era digital. Grup benjang dengan penggemar banyak, kanal YouTube yang populer, dan komunitas penggemar aktif menunjukkan bahwa budaya tradisional tetap hidup, dicintai, dan relevan.
Benjang tetap menjadi primadona di perayaan HUT RI, menyatukan generasi lama dan muda, menghubungkan masa lalu dan masa kini, serta menegaskan bahwa budaya lokal dapat bersinar di era modern. Dari gulat sederhana hingga helaran yang megah, benjang adalah warisan hidup yang terus bergerak, berkembang, dan tetap dicintai masyarakatnya. (*)