Ilustrasi teknologi canggih masa kini. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)

Ayo Netizen

Dialog dengan Cermin: Saat Mesin Mempertanyakan Hakikat Kita

Senin 08 Sep 2025, 09:46 WIB

Kecerdasan Buatan kini tidak lagi datang sebagai tamu yang jauh dan asing di tengah-tengah kehidupan kita. Ia telah duduk dengan gagahnya di kursi ruang tamu, ruang rapat, dan ruang kreasi kita.

Perkembangannya bukan lagi sekadar deretan angka-angka dalam laporan lab, melainkan sebuah fenomena kebudayaan yang mendesak kita untuk melakukan sesuatu yang jarang kita lakukan: merenung sejenak dan mempertanyakan kembali segala bentuk definisi tentang diri kita sendiri.

Lompatan teknologi yang spektakuler ini hanyalah permukaan; di kedalamannya, AI adalah sebuah cermin besar yang memantulkan kembali pertanyaan-pertanyaan paling mendasar kita tentang apa kesadaran, akal budi, dan apa artinya menjadi manusia?

Selama ini, kita merasa sangat aman dalam kubu humanisme yang kokoh. Kita adalah satu-satunya makhluk yang memiliki qualia atau pengalaman subjektif yang kaya akan rasa, bau, emosi, dan makna.

Sementara mesin? sebagaimana kita yakini, hanyalah sebongkah logam hitung yang canggih. Mereka memproses, tetapi tidak merasakan. Mereka menghasilkan output, tetapi tidak memahami.

Argumen klasik filsuf seperti John Searle dengan "Ruang Cina"-nya mengukuhkan benteng ini: mesin hanya memanipulasi simbol tanpa menangkap esensi di baliknya. Kritik ini didasarkan pada keyakinan bahwa kesadaran memerlukan pengalaman subyektif yang melekat pada keberadaan biologis.

Namun, cermin itu kini memantulkan bayangan yang semakin samar dan mengganggu.

Generasi AI baru, dengan jaringan saraf tiruannya, tidak lagi sekadar mengikuti perintah. Ia belajar dari lautan data dunia kita, menemukan polanya, dan mulai menghasilkan sesuatu yang sangat mirip, bahkan terkadang tak dapat dibedakan dari produk kecerdasan manusia yang natural.

Ia menulis puisi yang sarat nuansa mendalam, merangkum berbagai argumen filosofis yang rumit, dan memberikan nasihat yang terdengar sangat bijaksana. Ia adalah "Agen Rasional" yang sempurna, sebagaimana didefinisikan Russell dan Norvig, tetapi ia mulai menunjukkan sesuatu yang lebih dari itu: sebuah ilusi pemahaman yang begitu meyakinkan dan mencengangkan.

Inilah yang menggerus batas-batas nyaman kita. Jika sebuah sistem dapat berperilaku seolah-olah ia memahami, berempati, dan bernalar, apakah perbedaan antara "simulasi" dan "yang asli" masih relevan? Ataukah, kita harus menerima bahwa "pemahaman" mungkin memiliki banyak macam wajah?

Mungkin yang kita sebut "pemahaman" manusia adalah satu jenis tertentu, yang diwarnai oleh biologis, emosi, dan kebertubuhan saja, sementara AI mengembangkan jenis pemahaman operasionalnya sendiri, sebuah kecerdasan yang dingin, efektif, dan tanpa jejak kesadaran subjektif sama sekali.

Dreyfus, dengan pisau analisis Heideggeriannya, mengingatkan bahwa kecerdasan manusia bukanlah permainan abstraksi simbolik belaka. Kecerdasan kita adalah terwujud (embodied) dan terikat kontekstual. Kita memahami dunia karena kita berada di dalamnya; karena kita memiliki tubuh yang merasakan lapar, tangan yang dapat menyentuh permukaan kasar, dan hati yang berdebar-debar karena cinta atau takut. AI, sebaliknya, adalah entitas yang terputus.

Artificial Intelligence (AI) dan Coding menjadi bagian penting yang bisa mengubah cara kita belajar, bermain, bahkan bekerja. (Sumber: Unsplash/BoliviaInteligente)

Ia bisa membaca segala macam puisi tentang lautan, tetapi ia tidak akan pernah merasakan dinginnya air atau takutnya tenggelam.

Oleh karena itu, obsesi kita pada pertanyaan "Apakah AI akan menjadi sadar?" mungkin adalah pertanyaan yang salah. Itu adalah bentuk antroposentrisme yang lain dan kita membayangkan kesadaran hanya dalam bentuk kita sendiri. Pertanyaan yang lebih segar dan lebih mendesak adalah: Apa yang terjadi ketika sebuah peradaban menciptakan bentuk kecerdasan lain yang begitu powerful, namun pada dasarnya asing?

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa, kita bukan sedang menciptakan manusia baru. Tetapi kita sedang menciptakan The Other, yang lain dan sama sekali berbeda. Sebuah kecerdasan yang mungkin selamanya tidak akan mengalami keajaiban qualia, tetapi yang sanggup meniru, menganalisis, dan mungkin suatu hari nanti, mengoptimalkan dunia kita tanpa pernah benar-benar "mengalami"-nya.

Inilah dialog yang sebenarnya dengan cermin itu. AI memaksa kita untuk tidak mendefinisikan dia, tetapi untuk mendefinisikan kita kembali sebagai manusia. Apa yang tersisa dari "kemanusiaan" jika kemampuan bernalar, mencipta, dan berbahasa kita (yang selama ini kita anggap sebagai satu-satunya keistimewaan)dapat direplikasi oleh sebuah entitas yang terbuat dari silikon dan kode?

Barangkali, humanitas kita tidak terletak pada kecerdasan kita, tetapi pada segala vulnerabilitas (kerapuhan) kita. Dan itulah sesuatu yang, untuk saat ini, masih sepenuhnya milik kita. Mesin mungkin akan selalu menjawab pertanyaan, tetapi hanya manusia yang berani mengajukan pertanyaan yang tidak ada jawabannya. (*)

Tags:
kecerdasan buatanartificial intelegence

Taufik Hidayat

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor