Program makan bergizi gratis adalah salah satu kebijakan unggulan dari presiden terpilih tahun 2024 Indonesia Prabowo Subianto. Kebijakan ini ada karena salah satunya adalah untukmeningkatkan gizi para pelajar di Indonesia, sehingga mendukung untuk mencerdaskan anak bangsa.
Tujuan yang sangat mulia, apabila kebijakan makan bergizi gratis ini berjalan dengan baik. Keseriusan Presiden Prabowo dalam menjalankan program ini secara konsep awal memang baik. Terbukti dengan langsung dibentuknya Badan Gizi Nasional untuk mengawal program MBG ini.
Namun keseriusan itu belum nampak pada penentuan orang-orang yang terlibat didalamnya, misalkan saja kepala MBG yang menjabat saat ini adalah seorang lulusan entomologi selain itu para wakilnya saja banyak yang berlatar belakang dari militer. Hal tersebut tidak sesuai dengan konsep kepemimpinan "the right man in the right place".
Kesalahan awal itu terbukti pada pelaksanaan di lapangan, konsep awal yang menekankan makanan ini bergizi. Namun anggaran yang dilaksanakan itu minim sekali jika dikatakan bergizi. Maka tidak heran apabila secara porsi masih ada yang tidak sesuai dengan harapan. Apalagi dengan terjadinya kasus keracunan makanan pada program MBG di kecamatan Cipongkor Kabupaten Bandung Barat menambah kekurangan pada program MBG ini.
Oleh karena itu, seharusnya presiden Pabowo sebagai kepala negara yang mempunyai cita-cita mencerdaskan bangsa itu seharusnya belajar dari kasus lain yang hampir serupa misalnya. Salah satunya adalah pencegahan stunting di kementerian Kesehatan.

Kenapa tidak mengadopsi cara teknis yang dilakukan oleh kemenkes melalui puskesmas di setiap daerah sebagai ujung tombak. Dan Puskesmas juga tidak menyiapkan secara langsung makanan untuk pencegahan stunting, tetapi melalui pihak ketiga yang ditunjuk melalui bantuan operasional kesehatan (BOK).
Nah, dengan cara seperti itu seharusnya program MBG itu juga memang bisa dikerjakan oleh kementerian Pendidikan dengan ujung tombak setiap sekolah, dan pelaksanaannya dapat didanai oleh Bantuan Operasinal Sekola (BOS). Tentunya dengan penambahan alokasi anggaran untuk Program MBG ini. Daripada membentuk sebuah Badan yang tidak di tempati oleh orang-orang profesional didalamnya.
Apalagi jika pada tataran pelaksanaan teknis harus membuat sebuah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi di setiap daerah, Bahakan di setiap kecamatan. Itu sangat menguras anggaran makanan gizi gratis yang bisa saja itu disalurkan pada kualitas pemenuhan gizi itu sendiri.
Jika pencegahan stunting saja bis dilakukan oleh kementerian kesehatan melalui ujung tombaknya puskesmas. mengapa tidak program MBG ini diterapkan saja pada Kementerian Pendidikan melalui ujung tombak Sekolah melalui BOS nya ?
Dan akhirnya UMKM sekitar sekolah pun akan terlibat apabila, kendali MBG itu ada di setiap sekolah. Karena sekolah langsung lah yang memilih pihak ketiga mana yang terbaik dapat menyediakan makanan bergizi tersebut.
Dan yang paling terpenting adalah harapan mencerdaskan bangsa dan pemenuhan gizi anak sesuai harapan dan kenyataan nantinya. Sesuai dengan cita-cita bangsa kita untuk menjadi bangsa yang mempunyai generasi emas tahun 2045. Sehingga kita menjadi negara yang maju dan sejahtera. Semoga. (*)