AYOBANDUNG.ID - Pada mulanya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) terdengar seperti kabar bahagia. Pemerintah pusat dengan lantang menyebutnya sebagai solusi gizi anak bangsa. Retorikanya sederhana: anak-anak sekolah di seluruh pelosok negeri bakal dapat makan siang bergizi. “Biar pinter, biar kuat, biar tidak lapar saat belajar,” begitu kira-kira narasi manisnya.
Di Kabupaten Bandung Barat (KBB), program ini diimplementasikan dengan semangat 45. Pemerintah daerah menggandeng Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) — dapur umum yang namanya terdengar meyakinkan: ada SPPG Makmur Kaya di Desa Sirnagalih, ada pula Maju Jaya di Neglasari, dan SPPG di Mekarmukti. Kalau dilihat dari namanya saja, kita sudah bisa membayangkan anak-anak yang sehat, ceria, dan penuh energi setelah menyantap nasi bergizi gratis itu.
Tapi, sejarah mencatat bahwa niat baik tidak selalu berjalan mulus. Di atas kertas, MBG memang dirancang dengan misi luhur. Di lapangan? Yah, nasi basi tetaplah nasi basi. Program yang semestinya jadi penyelamat gizi malah berubah menjadi bencana kesehatan massal. Sejak Januari 2025, Jawa Barat sudah beberapa kali dilanda keracunan akibat MBG. Bandung Barat menjadi babak paling heboh dari drama panjang ini.
Baca Juga: Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio dan Uya Kuya Tumbang di Tangan Rakyat
Pada sepertiga akhir September 2025, Bandung Barat resmi masuk headline nasional. Bukan karena prestasi akademik siswanya, ribuan bocah, guru, hingga ibu menyusui harus antre di Puskesmas dan rumah sakit setelah menyantap menu MBG. Jumlah korban mencapai 1.315 orang, membuat Cipongkor dan Cihampelas mendadak jadi “kawasan rawan konsumsi”.
"Data yang kita himpun hingga 28 September 2025 pukul 22:00 WIB, ada 15 pasien masih dirawat. Sedangkan 1.300 sudah sembuh pulang ke rumah," kata Plt Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat, Lia N. Sukandar saat dikonfirmasi, Senin 29 September 2025.
Ironi terbesar dari semua ini adalah: program yang digembar-gemborkan untuk meningkatkan kualitas hidup malah bikin banyak orang masuk rumah sakit. Makan Bergizi Gratis akhirnya belakangan diolok sebagai “Makan Basi Gratis.”
Kronologi Keracunan MBG
Drama ini dimulai pada Senin, 22 September 2025. Beberapa siswa SMK Pembangunan Bandung Barat tiba-tiba muntah, pusing, bahkan ada yang kejang. Mereka dilarikan ke Puskesmas Cipongkor. Awalnya, pihak sekolah dan orang tua mungkin mengira ini kasus masuk angin atau maag. Tapi ketika jumlahnya bertambah esok harinya, barulah sadar: ini bukan maag, ini masalah serius.
Selasa, 23 September 2025, jumlah korban meledak. Siswa SD, SMP, sampai SMA ikut tumbang setelah makan MBG. Gejalanya mirip: mual, muntah, pusing, lemas, dan beberapa sampai susah bernapas. Media lokal mulai ramai memberitakan, dan suasana panik merambat ke seluruh Cipongkor.
Baca Juga: Demo Solidaritas Bandung, 13 Jam Jahanam di Gedung DPRD Jawa Barat
Rabu, 24 September 2025, keracunan menyebar ke Cihampelas. Ratusan orang dari berbagai klaster—Cipari, Neglasari, Mekarwangi—ikut tumbang. Data Dinas Kesehatan Bandung Barat mencatat: 411 orang dari Kampung Cipari, 730 dari Pasirsaji Neglasari, dan 192 dari Mekarwangi. Totalnya mencapai 1.333 orang. Angka yang cukup untuk mengisi stadion kecil.

Kamis, 25 September, pemerintah daerah akhirnya menyatakan ini Kejadian Luar Biasa (KLB). RSUD Cililin kewalahan menampung pasien, beberapa harus dirujuk ke rumah sakit lain. Ironisnya, pada 29 September, muncul lagi 26 kasus baru di Cipongkor. Kali ini memang katanya bukan karena MBG, tapi tetap saja masyarakat makin tidak percaya.
Kalau dihitung sejak Januari, kasus keracunan MBG di Jawa Barat sudah memakan korban 5.000 anak. Bandung Barat adalah “final boss” dari semua insiden itu.
Baca Juga: Mengapa Tanah di Cekungan Bandung Terus Ambles? Cerita dari Rancaekek dan Bojongsoang
Lalu, apa penyebabnya?
Problem pemicu keracunan MBG di Cipongkor ternyata bukan pada daging yang basi sejak awal, melainkan pada cara masaknya yang kelewat ngawur. Menurut pengakuan sang pengelola dapur, NS, proses masak dimulai jam 9 malam. Daging direbus sampai pukul 3 dini hari. Buah-buahan dipotong mulai jam 9 malam dan selesai sekitar jam 11 malam. Lalu makanan ini didiamkan. Menunggu giliran masuk kotak.
Pagi-pagi, distribusi dimulai. Ada dua skema: porsi kecil untuk anak-anak PAUD dan SD—dibagikan dari jam 4 pagi supaya bisa disantap jam 8. Porsi besar untuk anak SMP dan SMA—dikirim jam 5 sampai 8 pagi agar bisa disantap jam 10. Total: 3.567 porsi. Angka yang besar. Angka yang juga, tanpa mereka sadari, membawa potensi bencana.
Persoalannya sederhana, tapi mematikan: makanan punya batas waktu hidup. Seorang ahli, Ryan, mengingatkan bahwa makanan seharusnya dikonsumsi maksimal enam jam setelah dimasak. Lebih dari itu, bakteri mulai berpesta. Aturan mainnya jelas: makanan harus dijaga tetap panas di atas 60 derajat Celsius atau tetap dingin di bawah 5 derajat Celsius. Di luar itu, makanan jadi rumah singgah bakteri.
Yang terjadi di Cipongkor adalah makanan dibiarkan nongkrong di suhu ruang. Jam demi jam lewat. Dari malam sampai siang. Akhirnya, anak-anak yang seharusnya mendapat gizi, malah dicekoki dengan racun.
Hasil pemeriksaan Labkesda Jawa Barat menemukan bakteri Salmonella dan Bacillus cereus bercokol di makanan MBG. Bakteri ini biasanya nongkrong di nasi yang didiamkan terlalu lama pada suhu ruangan. Bayangkan nasi dimasak pagi, tapi baru disantap siang. Lebih dari enam jam nongkrong di meja tanpa penghangat, jelas bakteri bisa bikin pesta pora.
"Hasil pemeriksaan ada bakteri Salmonella dan Bacillus Cereus," kata Kepala UPTD Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat, Ryan Bayusantika.
Baca Juga: Hikayat Konflik Lahan Dago Elos yang jadi Simbol Perlawanan di Bandung
Labkesda Jawa Barat sepanjang Januari hingga September 2025 menerima lebih dari 200 sampel terkait dugaan keracunan makanan dari 12 dinas kesehatan kota dan kabupaten. Dari uji mikrobiologi, sekitar 23% sampel mengandung bakteri penyebab pembusukan, dengan Salmonella dan Bacillus cereus sebagai temuan terbanyak. Bakteri lain yang juga muncul antara lain Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Sementara itu, pemeriksaan kimia mengungkap delapan persen sampel positif mengandung Nitrit.

Tak berhenti di situ. Higiene dapur SPPG ternyata juga amburadul. Air untuk masak tidak steril, daging ayam yang dipakai sudah tidak segar, peralatan kurang bersih. Ada juga kabar tentang menu ikan hiu goreng yang dipertanyakan keamanan konsumsinya. Pendeknya, dapur SPPG seolah lebih mirip laboratorium bakteri daripada dapur bergizi.
Jumlah korban memang akhirnya banyak yang pulih. Per 28 September, 1.300 orang sudah diperbolehkan pulang, hanya 15 orang masih dirawat di RSUD Cililin, RS Dustira Cimahi, dan RS Karisma Cimareme. Tapi trauma sudah terlanjur menyebar. Banyak orang tua menolak anaknya menerima MBG lagi. Beberapa sekolah bahkan sempat didemo orang tua yang menuntut program dihentikan sementara.
Sekda Jawa Barat, Herman Suryatman, sampai harus turun langsung memantau. Dinas Kesehatan buru-buru mengumpulkan sampel muntahan korban. Badan Gizi Nasional ikut menenangkan dengan janji semua biaya perawatan gratis ditanggung negara. Tapi janji itu tidak cukup menghapus rasa was-was orang tua.
Setelahnya, SPPG dipaksa lebih disiplin: bahan makanan harus segar, masak jangan kepagian, distribusi jangan molor, dan peralatan dapur harus disterilkan. Sosialisasi ke sekolah-sekolah juga gencar dilakukan. Masalahnya, kepercayaan publik sudah terlanjur retak.
Keracunan Berulang
Seolah drama ini belum cukup panjang, Senin, 29 September 2025, panggung Cipongkor menampilkan episode baru: keracunan berulang. Seperti sinetron dengan plot berputar, puluhan pasien yang minggu lalu sudah dinyatakan “sembuh” tiba-tiba balik lagi ke UGD Poned Puskesmas dengan wajah pucat dan perut mual.
Data resmi mencatat 26 orang masuk sekitar pukul 10.30 WIB. Empat orang harus dirujuk, sisanya pulang lagi setelah diberi obat. “Betul ini keracunan berulang, ada 26 kasus kita tangani,” kata Kepala Puskesmas Cipongkor, Yuyun Sarihotimah. Hasil anamnesa menyimpulkan bahwa biang keladinya kali ini bukan MBG. “Ini akibat konsumsi makanan lain. Karena kalau MBG dua dapur sudah disetop, jadi mungkin konsumsi makanan lain,” kata Yuyun.
Plt Camat Cipongkor, Bambang Wijanarko, menyebut korban masih berasal dari klaster Neglasari: siswa-siswa MTS Muslim, MTS Syarif Hidayatullah, MI Babakan, hingga MA Darulfikri. “Betul korban keracunan lagi, mereka masih yang dari dapur Neglasari,” kata dia.
Baca Juga: Sampai ke Bandung, Sejarah Virus Hanta Bermula dari Perang Dunia 1
Keracunan berulang ini jadi judul episode tambahan dari drama MBG. Pemerintah bisa bilang penyebabnya makanan lain, bukan dari nasi kotak gratis. Tapi bagi orang tua yang anaknya muntah-muntah, beda penyebab itu sama saja: hasilnya tetap antre di puskesmas.
Di atas kertas, MBG digadang sebagai proyek prestisius untuk memperbaiki gizi bangsa. Di lapangan, ia lebih mirip percobaan massal tentang seberapa banyak orang bisa keracunan sebelum sistem kesehatan daerah kolaps.