Menjadi mahasiswa seharusnya berarti belajar, berkembang, dan menemukan jati diri. Namun, beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh kabar duka dari Bali: Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, ditemukan meninggal dunia setelah diduga mengalami perundungan.
Kasus ini seketika menjadi perbincangan nasional. Bukan hanya karena kepergiannya yang tragis, tetapi karena potret buram dunia pendidikan yang tersingkap darinya.
Di balik gedung kampus yang megah dan slogan “cerdas berkarakter”, masih ada sisi gelap yang sering diabaikan, tekanan sosial, persaingan yang tak sehat, dan perilaku saling menjatuhkan yang dibungkus dengan candaan.
Kita lupa bahwa di balik tawa dan status media sosial, mungkin ada seseorang yang sedang berjuang melawan luka batin yang tidak terlihat.
Budaya Akademik yang Kehilangan Empati
Perundungan di kampus bukan hanya soal fisik. Ia bisa hadir lewat komentar pedas di grup chat, ejekan halus di kelas, atau bahkan pengucilan dalam lingkar pertemanan.
Dan yang paling menyakitkan, kadang pelakunya tak sadar bahwa yang mereka lakukan bisa melukai seseorang sampai sedalam itu.
Kita hidup di zaman di mana sarkasme dianggap lucu, dan kerentanan dianggap kelemahan. Akibatnya, banyak mahasiswa yang menutup diri, menahan emosi, dan berpura-pura kuat padahal mereka sedang runtuh di dalam.
Kasus Timothy menjadi cermin bahwa kampus kita belum sepenuhnya menjadi ruang aman. Mungkin kita terlalu sibuk dengan nilai dan prestasi, sampai lupa bahwa empati juga bagian dari kecerdasan.
Universitas bukan sekadar tempat menuntut ilmu, tapi juga tempat belajar menjadi manusia.
Kampus memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan setiap mahasiswanya merasa aman, dihargai, dan didengarkan.
Sayangnya, banyak korban bullying memilih diam karena takut dicemooh, tidak dipercaya, atau malah disalahkan. Padahal, diam bisa berujung fatal. Mekanisme pelaporan perundungan sering kali tidak berjalan efektif, layanan konseling kampus kurang disosialisasikan, dan budaya saling peduli mulai pudar. Kita butuh sistem yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga mencegah kekerasan sejak awal lewat edukasi, pengawasan, dan pembentukan karakter berbasis empati.
Belajar dari Tragedi Timothy
Tragedi Timothy seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh kampus di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah mengatur pencegahan kekerasan di perguruan tinggi lewat Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024, tapi kebijakan tanpa kesadaran sosial tidak akan mengubah apa pun.
Perubahan nyata harus dimulai dari kita sendiri dari mahasiswa, dosen, organisasi, dan komunitas kampus. Kita perlu belajar berhenti menertawakan yang berbeda, berhenti membenarkan “candaan” yang menyakiti, dan mulai berani menegur ketika melihat ketidakadilan. Karena kadang, satu kata bisa menyelamatkan hidup seseorang, tapi satu komentar kejam juga bisa menghancurkannya.
Baca Juga: Tips Aman Berselancar Internet: Hindari Jebakan Phishing dan Penipuan Online
Kematian Timothy bukan hanya kehilangan satu mahasiswa, tapi kehilangan nurani bersama.
Kasus ini mengingatkan bahwa kampus bukan hanya tempat mengasah otak, tapi juga tempat membentuk hati. Empati, kepedulian, dan keberanian untuk saling menjaga adalah bentuk kecerdasan yang paling sejati.
Jangan biarkan nama Timothy hanya tinggal kenangan. Biarlah kisahnya menjadi titik balik agar tak ada lagi mahasiswa yang merasa sendirian dalam perjuangan, dan agar kampus benar-benar kembali menjadi rumah yang aman bagi setiap insan yang ingin belajar dan tumbuh. (*)