Peuyeum, ikon kuliner khas Bandung. (Sumber: Wikimedia Commons/Okkisafire)

Ayo Netizen

Sejak Kapan Peuyeum Jadi Ikon Kuliner Khas Bandung?

Senin 10 Nov 2025, 14:23 WIB

Artikel ini menyajikan analisis mendalam dan teknis mengenai fondasi sejarah, budaya, dan ekonomi yang telah mengukuhkan Peuyeum Bandung—makanan tradisional berbahan dasar singkong fermentasi—sebagai ikon pariwisata dan warisan kultural yang tidak terpisahkan dari identitas regional metropolitan Bandung.

Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat ialah tiga daerah yang sering disebut Bandung Raya (baca: metropolitan Bandung). Jadi saat anda menyebut Peuyeum Bandung, sebetulnya sedang menyebut tiga daerah ini, karena Peuyeum secara kultural sudah membudaya di warga tiga daerah ini.

Bahkan saking kulturalnya Peuyeum Bandung, setiap warga di daerah Jawa Barat pandai membuat Peuyeum Bandung. Justifikasi ikonik ini tidak hanya didasarkan pada rasa, tetapi merupakan hasil sintesis yang kompleks antara memori krisis pangan, amplifikasi media masif, dan resiliensi pasar yang teruji oleh guncangan infrastruktur.

***

Peuyeum, yang secara esensial merupakan camilan tradisional khas Sunda terbuat dari singkong yang difermentasi, telah bertransisi melampaui statusnya sebagai makanan biasa. Dalam konteks ekonomi kultural, status ikonik Peuyeum di Bandung adalah hasil sintesis yang berhasil antara kebutuhan historis, memori kolektif budaya, amplifikasi media yang kuat, dan aktivitas komersial berkelanjutan di wilayah metropolitan Bandung.

Analisis ini didasarkan pada hipotesis bahwa identitas ikonik Peuyeum terwujud dari ketegangan yang produktif antara dua peran: sebagai pangan fungsional yang bersahaja dan sebagai simbol budaya yang memiliki nilai jual premium. Makanan ini kaya nutrisi, serat, vitamin B, dan probiotik yang bermanfaat bagi pencernaan, membuktikan fungsi dasarnya sebagai makanan sehat. Namun, narasi yang melekat padanya sebagai "Peuyeum Bandung kamashur" (termasyhur) telah mengangkatnya menjadi artefak sosial dan ekonomi.

Peuyeum diakui sebagai warisan budaya dan kekayaan kuliner dari Jawa Barat. Produk ini telah menjadi bagian dari budaya Sunda selama berabad-abad, berakar pada kearifan lokal masyarakat Sunda dalam memanfaatkan singkong, terutama di musim panen yang melimpah. Kemampuan mengolah singkong menjadi makanan yang tahan lama dan kaya rasa melalui fermentasi adalah inti dari narasi budaya ini.

Penamaan produk ini mencerminkan integrasi mendalam dalam identitas Sunda: kata peuyeum berasal dari proses pengolahannya, yaitu dipeuyeum atau diperam (diberi ragi lalu dibiarkan semalam atau lebih). Praktik penamaan makanan berdasarkan cara pengolahannya ini unik di tatar Sunda, yang menekankan pentingnya teknologi lokal. Ketika nama tersebut ditambahkan dengan label produksi—Bandung—maka konsep Peuyeum Bandung menjadi semakin menarik karena Bandung adalah nama legendaris untuk sebuah ibu kota provinsi, yang memberikan otoritas komersial dan pamor yang signifikan.

Keunikan Peuyeum Bandung terletak pada proses fermentasi spesifiknya yang menghasilkan karakteristik organoleptik khas, membedakannya dari produk tape generik lainnya. Peuyeum didefinisikan sebagai singkong (ubi kayu) yang diolah melalui fermentasi menggunakan ragi khusus.Proses ini menghasilkan aroma khas dan tekstur yang lembut, sedikit kenyal, dan sedikit basah. Cita rasanya adalah perpaduan unik antara manis dan asam.

Kualitas Peuyeum sangat bergantung pada ragi yang digunakan. Fermentasi ini secara teknis mengubah pati singkong menjadi gula dan alkohol, yang tidak hanya meningkatkan rasa tetapi juga daya tahan produk dibandingkan dengan singkong rebus biasa. Perubahan ini memungkinkan singkong, yang merupakan sumber daya yang berlimpah, diubah menjadi komoditas yang stabil. Proses penamaan berdasarkan teknik dipeuyeum menegaskan bahwa teknologi fermentasi ini, yang merupakan kearifan lokal masyarakat Sunda, adalah elemen paling krusial dalam identitas produk ini.

Selain sebagai camilan lezat, Peuyeum dikenal menyimpan berbagai manfaat kesehatan. Proses fermentasi menghasilkan probiotik yang vital untuk menjaga kesehatan pencernaan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Secara nutrisi, Peuyeum kaya akan karbohidrat, serat, vitamin B, dan mineral.

Penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa fermentasi singkong dapat meningkatkan aktivitas antioksidan karena pembentukan senyawa-senyawa antioksidan baru selama proses tersebut. Secara tradisional, orang tua di tatar Sunda juga percaya bahwa Peuyeum dapat membantu mengatasi masalah kulit seperti jerawat dan bisulan, serta mempercepat keluarnya darah menstruasi.

Meskipun terdapat dua varian utama peuyeum (singkong dan ketan), Peuyeum Singkong lah yang menjadi ikon massal Bandung. Pembedanya terletak pada fungsi sosialnya: Peuyeum Singkong dikonsumsi sebagai camilan harian yang mudah diakses oleh semua kalangan, sementara Peuyeum Ketan cenderung dibuat dan disajikan hanya menjelang hari besar seperti Lebaran atau saat ada pesta hajatan.

Sifat konsumsi harian dan ketersediaan singkong yang berlimpah—terutama dalam konteks sejarah krisis pangan—memastikan bahwa Peuyeum Singkong memiliki penetrasi pasar dan ingatan budaya yang jauh lebih besar. Kelekatan sejarah pada singkong sebagai simbol ketahanan pangan menjadikannya bentuk peuyeum yang paling ikonik dan melekat pada identitas Bandung.

Status ikonik Peuyeum di Bandung diperkuat oleh peran historisnya dalam ketahanan pangan dan fungsinya dalam mempererat tatanan sosial masyarakat Sunda. Asal mula kepopuleran Peuyeum terkait erat dengan masa krisis pangan, khususnya pada zaman penjajahan Belanda. Ketika padi (beras) disita oleh penjajah atau sulit didapatkan, masyarakat Jawa Barat beralih mengandalkan umbi-umbian, dengan singkong sebagai bahan konsumsi utama pengganti nasi.

Fermentasi menjadi metode penting untuk mempertahankan komoditas vital ini, menjamin ketahanan pangan sepanjang tahun. Transisi Peuyeum dari makanan darurat menjadi camilan pilihan menunjukkan akulturasi dan mitologisasi produk tersebut dalam ingatan kolektif Sunda. Pengalaman bersama mengonsumsi singkong olahan selama masa-masa sulit menciptakan memori kolektif yang kini diwujudkan dalam ikatan sosial.

Dari perspektif etnografi, fungsi Peuyeum Bandung melampaui pemenuhan kebutuhan fisik. Makanan ini secara intrinsik berfungsi sebagai ungkapan ikatan sosial, ungkapan solidaritas kelompok, dan bahkan memberikan ketenangan jiwa.

Sebagai hasil budaya Sunda, Peuyeum memiliki kemampuan mengikat orang-orang Sunda secara sosial. Ketika disajikan dalam konteks sosial, Peuyeum bukan hanya hidangan, tetapi simbol yang memanggil kembali warisan bersama dan rasa memiliki. Visual produk ini pun unik; Peuyeum Bendul (varian singkong panjang) sering digantung berjajar di kios penjual. Metode pajangan tradisional ini berfungsi sebagai bentuk branding primitif yang sangat efektif, menjadikannya pemandangan yang seketika dikenali oleh para pelancong dan memperkuat identitasnya sebagai oleh-oleh wajib.

Mengapa Menjadi "Peuyeum Bandung"?

Peuyeum. (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Pelekatan nama Bandung pada produk singkong fermentasi ini merupakan keputusan strategis, baik secara organik maupun komersial, yang menghasilkan percepatan brand equity yang luar biasa.

Meskipun Peuyeum adalah kuliner khas Jawa Barat secara umum, klaim asal spesifiknya sering diperdebatkan. Beberapa sumber menyebutkan Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, sebagai tempat awal kelahiran tape singkong tersebut. Di sisi lain, ada klaim yang mengaitkannya dengan daerah Cipeuyeum, Kabupaten Cianjur. Persaingan regional ini juga terlihat dari keberadaan Peuyeum Bendul di Purwakarta.

Meskipun terdapat kontestasi geografis, penambahan label "Bandung" memberikan bobot komersial yang luar biasa. Bandung, sebagai ibu kota provinsi yang "legendaris", berfungsi sebagai appellasi kualitas yang meningkatkan jangkauan pasar dan persepsi nilai produk, bahkan jika produksi fisiknya bergeser ke wilayah penyangga (Kabupaten Bandung Barat). Identitas Peuyeum Bandung beroperasi sebagai merek regional yang kuat, bahkan sering didistribusikan dari Bandung ke kota-kota lain seperti Garut dan Cianjur. Merek ini berfungsi layaknya Indikasi Geografis (IG) non-formal, yang secara efektif membayangi produk fermentasi singkong dari daerah lain.

Faktor tunggal terpenting dalam mempopulerkan produk ini adalah lagu pop Sunda "Peuyeum Bandung," yang dipopulerkan oleh Nining Meida. Lagu ini berfungsi sebagai kampanye pemasaran budaya masif dan berkelanjutan. Liriknya secara eksplisit menyatakan bahwa kudapan ini sudah "terkenal betapa nikmat rasanya" (tos kakoncara ku nikmat rasana).

Lagu tersebut menanamkan narasi ikonik dengan tiga poin branding utama: Pertama, kemasyhuran Universal: Peuyeum Bandung kamashur (termasyhur). Kedua, keterjangkauan: Pangaosna teu luhur (harganya tidak mahal). Ketiga, daya Tarik Lintas Usia: Dapat dibeli oleh siapa pun (ku sadaya kagaleuh), baik sepuh jeung murangkalih (tua dan muda).

Penekanan pada harga yang rendah dan aksesibilitas massal ini merupakan strategi (walaupun organik) yang memastikan penetrasi pasar maksimum, menjadikan Peuyeum sebagai oleh-oleh yang wajib dan terjangkau bagi semua wisatawan, tidak peduli latar belakang sosial-ekonominya. Sebagai ikon, Peuyeum memainkan peran sentral sebagai mesin ekonomi lokal, terutama dalam sektor pariwisata gastronomi Bandung.

Popularitas Peuyeum sebagai cenderamata yang dibawa pulang (oleh-oleh) tidak terlepas dari karakteristik komersialnya. Makanan ini mudah ditemukan di pasar tradisional dan toko oleh-oleh, serta dapat dikemas dalam berbagai bentuk dan ukuran, menjadikannya praktis untuk dibawa. Selain itu, teknik fermentasi memberikannya daya tahan yang lebih lama dibandingkan tape biasa, yang sangat penting untuk komoditas yang dijual kepada wisatawan dari luar kota. Visual tradisional menggantung Peuyeum di warung juga secara instan mengkomunikasikan ketersediaan dan kualitas produk kepada para pelancong.

Baca Juga: Botram, Tradisi Sunda yang Berpotensi Jadi Tujuan Wisata Tanah Pasundan

Sejarah ekonomi Peuyeum Bandung ditandai oleh dua guncangan struktural signifikan yang menguji daya tahan sentra produksinya, terutama di Kabupaten Bandung Barat. Analisis ini sangat penting untuk memahami kerentanan model bisnis tradisional.

Pembukaan Jalan Tol Cikampek–Purwakarta–Padalarang (Cipularang) pada tahun 2005 memberikan "pukulan telak" kepada para pelaku usaha Peuyeum yang berada di sepanjang ruas jalan arteri lama Cikalongwetan dan Cipatat. Sebelumnya, kios-kios ini berfungsi sebagai tempat persinggahan wajib bagi kendaraan umum dan pariwisata.

Konsekuensi langsung dari pembangunan tol adalah perubahan rute kendaraan secara permanen, menyebabkan kios-kios di sepanjang jalur lama menjadi sepi dan sebagian besar bangkrut atau gulung tikar. Bagi pengusaha di sentra Peuyeum Bendul (Purwakarta), omzet dilaporkan anjlok hingga 70%. Para pembuat Peuyeum di Kampung Cipicung, Kabupaten Bandung Barat, merasakan dampaknya ketika pesanan dari pengecer anjlok drastis. Guncangan ini menunjukkan kerentanan struktural model bisnis yang sepenuhnya bergantung pada lokasi geografis di koridor transit tertentu.

Guncangan kedua datang dengan pandemi COVID-19, yang memperparah kondisi industri yang sebelumnya sudah minim omzet. Krisis ini menghilangkan pesanan turis dan bulk order dari kios yang tersisa.

Produsen di Kampung Cipicung, yang mayoritas warganya berprofesi sebagai pembuat Peuyeum, sangat terdampak. Seorang produsen, Sahim Mulyana, mengalami kesulitan mencapai target produksi satu kuintal dan terkadang hanya mampu memproduksi 50 kilogram dalam satu bulan. Produksi pedagang keliling pun anjlok drastis (misalnya dari 2-3 kuintal per hari menjadi 50 kilogram) dan membutuhkan waktu penjualan yang jauh lebih lama.

Menghadapi kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh disrupsi infrastruktur dan kesehatan, sentra produksi Peuyeum di Kampung Citatah dan Cipicung menerapkan strategi bertahan hidup yang adaptif.

Status Peuyeum sebagai ikon Kota Bandung didasarkan pada fondasi yang kokoh, dibentuk oleh sejarah krisis pangan (memori akan ketahanan), pengukuhan budaya (simbol solidaritas), dan, yang terpenting, melalui akselerasi branding yang masif berkat lagu rakyat yang abadi. Merek "Peuyeum Bandung" berhasil mentransendensi realitas geografis produksi aktualnya, yang sebagian besar terkonsentrasi di Kabupaten Bandung Barat.

Namun, disrupsi ganda akibat Tol Cipularang dan Pandemi COVID-19 menunjukkan kerentanan parah rantai pasok tradisional yang berbasis lokasi. Untuk memastikan kelangsungan Peuyeum Bandung—bukan hanya sebagai memori kolektif, tetapi juga sebagai mesin ekonomi yang berkelanjutan—dibutuhkan pergeseran strategis dari model ritel yang tergantung pada infrastruktur fisik menjadi model komersial yang didukung penuh oleh digitalisasi, inovasi produk, dan perlindungan warisan kultural melalui penetapan Indikasi Geografis. Kelangsungan ikon ini menuntut dukungan kebijakan aktif untuk memberdayakan produsen tradisional agar dapat beradaptasi dan bersaing di pasar modern. (*)

Tags:
kuliner khas Bandungfenomena turisme Bandungpeuyeum bandung

Sukron Abdilah

Reporter

Aris Abdulsalam

Editor