Waktu kian berlalu, kegagalan terus mengikuti pada bayangan kehidupan manusia. Manusia sibuk dengan dunia nan fana, seolah alam dan seisinya ditinggal dan terabaikan. Media sosial seakan-akan pengendali dari pikiran manusia. Di tengah krisis narasi dan empati, apa kabar sastra? Tepat 100 tahun yang lalu, seorang sastrawan hadir dan kelak membuktikan kata-kata adalah perlawanan terkuat.
Pramoedya Ananta Toer, akrab disapa Mas Pram. Beliau merupakan sastrawan serta pahlawan dalam pergerakan melalui tulisan dan lantunan syairnya. Lahir di Blora, 6 Februari 1925 Pramoedya menyaksikan dan merekam perjalanan sejarah bangsa yang penuh dengan perlawanan.
“Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” ucap Pram yang kini menjadi legenda di dunia sastra.
Melalui kehidupannya yang erat dengan kemunafikan dan penindasan kolonial Belanda, Pram hadir dengan tulisannya untuk membangkitkan rasa juang akan ketidakadilan yang terjadi pada bangsa ini.
Pram menulis sastranya melalui bukunya yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan Gadis Pantai yang berisikan kritik sosial terhadap struktur feodal. Dengan kehidupannya yang banyak dengan kemunafikan, Pram hadir dengan tulisannya untuk bisa membangkitkan perlawanan.
Bumi Manusia, salah satu tulisan Pram yang menceritakan tentang pergerakan dari seorang tokoh bernamakan Minke di tengah pergerakan Kolonialisme. Di sela pembungkaman dan pelarangan peredaran Buku Bumi Manusia, buku ini masih dicari hingga saat ini oleh literatur maupun sastrawan.
Dengan warisan Pram melalui tulisan sastranya, apakah saat ini sastra masih relevan di dunia ini? Ya, sastra akan terus beradaptasi dengan sendirinya. Di tengah berkembangan digitalisasi saat ini, tidak akan mengubah esensi secara dalam dari sebuah sastra.
Sastra akan terus dinikmati dengan komunikasi yang kian modern. Namun, hanya saja medium dalam penyampaian sastra yang berubah, berawal dari lembaran kertas dengan pena berwarna hitam menjadi buku atau bahkan audiovisual.
Bumi Manusia, salah satu karya Pram saat ini diadaptasi dengan perubahan digital melalui film layar lebar. Film ini memberikan daya tarik spesial yang menawarkan cara baru sejarah dapat dipahami dengan mudah.
Baca Juga: Linguistik dan Kesusastraan
Perkembangan adaptasi sastra menjadi film ini memberikan minat generasi muda yang lebih tertarik pada medium berupa audiovisual. Tanpa mengurangi dari sastra aslinya, film Bumi Manusia dapat ditonton melalui platform digital.
Pada akhirnya, sastra akan hidup selamanya dan dapat beradaptasi dengan seiringnya perkembangan zaman. Pram mengajarkan kita melalui sastranya tentang bagaimana kita sebagai pribumi untuk bisa membangkitkan rasa empati dan simpati.
Sastra akan terus menghidupi kegelapan dalam penindasan, selama manusia masih mencari makna sastra akan selamanya hadir dalam hidup manusia. Dan sastra akan selamanya menjadi mercusuar, yang memberikan cahaya bagi manusia untuk dapat berjalan dengan arahnya serta perjuangan akan terus menghidupkan pikiran generasi demi generasi. (*)