Kajian bahasa Indonesia yang amatlah hebat, memang menjadikan sebuah kasanah ilmu kaidah bahasa yang indah itu bisa diartikan sebagai sarana tempat berimajinasi. Dalam menulis kata-kata yang dapat dianalisis secara kritis dan umum.
Bahasa juga merupakan alat komunikasi yang tujuannya untuk menjamin aktivitas sosial masyarakat untuk mendalami serta memahami arti dan fungsi bahasa untuk menekuni kemampuan linguistik yang energik. Bahasa dapat dipahami sebagai interaksi bunyi dan makna bagaikan puisi-puisi yang tak pernah mati serta disiplin mempelajari bahasa sebagai fonetik.
Akan tetapi sebatas pemahaman linguistik memang membutuhkan waktu yang cukup lama, dan tak bisa bahwa seruan bunyi bahasa itu dipelajari dengan instan atau dengan waktu yang amatlah cepat. Kajian linguistik sendiri mememiliki cabang bidang teoritis dan umum. Teoritis umum meliputi teori linguistik, linguistik deskriptif, dan linguistik historis komparatif.
Perjalanan panjang studi kebahasaan mencatat evolusi pemikiran dari era klasik Yunani hingga kontemporer. Bahasa sebagai objek kajian akademis mengalami transformasi melalui tiga fase: spekulasi filosofis, pengamatan empiris, dan sistematisasi klasifikatoris.
Ketiga fase ini menjadi penghubung fundamental antara ranah linguistik dan kesusastraan yang saling berkelindan. Ferdinand de Saussure (1857-1913), linguis asal Swiss, menjadi pionir revolusi linguistik modern. Gagasan-gagasannya terekam dalam karya monumental "Cours de Linguistique Générale" atau "Kuliah Linguistik Umum" yang diterbitkan posthumous pada 1916.
Pemikiran Saussure dipengaruhi paradigma strukturalisme dan modernisme, sekaligus berkontribusi pada pengembangan semiotika sebagai pendekatan kritik sastra. Inilah yang memperkuat keterkaitan tak terpisahkan antara linguistik dan kesusastraan, karena linguistik modern Saussurean memperkenalkan semiologi—kajian tentang sistem makna dalam tanda-tanda bahasa.
Kesusastraan merupakan kristalisasi pengalaman kemanusiaan yang diangkat dari realitas kehidupan, kemudian diolah dan dikonstruksi melalui estetika bahasa yang sublim, dengan imajinasi artistik sebagai medium utamanya. Budayawan Nirwan Dewanto menyoroti kontribusi monumental Chairil Anwar dan Amir Hamzah terhadap khazanah sastra Indonesia modern.

Kedua penyair ini merumuskan karakteristik yang powerful: "Destruktif terhadap konvensi bahasa lama, namun menjadi cahaya terang bagi dinamika bahasa baru." Formula inovatif Chairil dan Amir Hamzah hingga kini belum tertandingi, mendemonstrasikan bagaimana dekonstruksi bahasa dapat membongkar realitas dan melahirkannya kembali dengan lebih berkilau.
Puisi kontemporer memang dibangun dari struktur frasa, sementara prosa tersusun dari kalimat utuh. Frasa, sebagai konstruksi linguistik yang tidak lengkap, justru karena keterbatasannya mampu menciptakan ruang hampa dan celah makna yang produktif.
Khazanah puisi Indonesia setelah kepergian Chairil Anwar adalah cerita tentang kemandekan, bahkan kemerosotan, sementara terobosan-terobosan yang dianggap penting yang dikerjakan oleh penyair terdepan Indonesia itu hanyalah penerusan jalan yang sudah dibuka oleh Chairil Anwar.
Hingga sampai saat ini belum ada penyair Indonesia yang menciptakan puisi lebih jauh, dan sepenuhnya melepaskan diri, dari kemungkinannya yang telah disediakan oleh Chairil, dan tak mampu meneruskan warisan yang ia tinggalkan. Nirwan Ahmad Arsuka (Ahli Ilmu Sains) mengatakan "Dalam sajak Aku, mengenai prosa yang tersusun dalam kalimat lengkap itu adalah sebuah ekspresi dari janin bangsa yang hendak lahir merdeka di tengah kepunguan ketidakpastian nasib kekuatan senjata para penjajah fasis yang makin menindas.
Janin bangsa yang dengan jalang ingin melepaskan diri dari kumpulan bangsa-bangsa jajahan yang terbuangnya; mereka jelas-jelas memang cenderung jadi bagian dari kamu yang mengkerdilkan perkembangan puisi Indonesia. (*)