Santri Jangan Cuma Dirayakan, tapi Dihidupkan

nonny irayanti
Ditulis oleh nonny irayanti diterbitkan Jumat 31 Okt 2025, 16:01 WIB
Santri di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Muhammad Azzam)

Santri di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Muhammad Azzam)

Setiap tahun, peringatan Hari Santri selalu menarik perhatian publik. Dari upacara hingga kirab, dari lomba baca kitab hingga festival sinema—semuanya terasa meriah. Tahun ini pun begitu. Dengan tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia,” Presiden Prabowo Subianto menyerukan agar santri menjadi penjaga moral sekaligus pelopor kemajuan.

Seruan itu tentu mengingatkan kita pada semangat Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945—momen yang menandai keberanian ulama dan santri mengorbankan diri demi kemerdekaan bangsa.

Namun, di tengah gegap gempita perayaan itu, kita patut bertanya: apakah esensi Hari Santri benar-benar hidup dalam diri para santri hari ini, atau justru terkubur di balik seremonial yang penuh simbol? Apakah santri masih dikenal sebagai sosok fakih fiddin yang memahami agama secara mendalam, atau kini lebih sering dijadikan wajah formal dalam proyek-proyek moderasi dan pemberdayaan ekonomi?

Di banyak kesempatan, penghargaan terhadap santri sering berhenti pada nostalgia perjuangan masa lalu. Padahal, jika menelusuri akar sejarahnya, peran santri bukan sekadar pelengkap dalam narasi perjuangan bangsa—mereka adalah ruh yang menjaga keutuhan umat dan akidah. Ironisnya, di era sekarang, santri justru diarahkan untuk menjadi agen “penengah”, bukan agen perubahan.

Di saat sistem sekuler dan kapitalistik semakin mencengkram kehidupan umat, santri sering kali didorong menjadi bagian dari sistem itu sendiri, bukan penantangnya.

Baca Juga: Antara Kebebasan Berpendapat dan Pengawasan Digital: Refleksi atas Kasus TikTok di Indonesia

Pujian atas peran santri dalam jihad masa lalu seakan kontras dengan kebijakan masa kini. Alih-alih menghidupkan semangat jihad intelektual dan spiritual untuk melawan penjajahan gaya baru—seperti dominasi ekonomi global, kemiskinan struktural, atau rusaknya moral generasi—peran santri justru dibingkai dalam narasi “moderat” yang steril dari ruh perjuangan Islam yang sejati. Akibatnya, potensi besar pesantren sebagai benteng peradaban malah melemah, terjebak dalam pola pikir pragmatis: sibuk mencari dana, proyek, atau sekadar pengakuan.

Padahal, jika kembali ke akar sejarahnya, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan kawah candradimuka lahirnya pejuang—mereka yang fakih fiddin, tapi juga peka terhadap realitas umat. Santri sejati bukan hanya hafal kitab, tapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Ia tidak menunggu perubahan datang dari luar, melainkan menggerakkannya dari dalam—dengan ilmu, iman, ketakwaan, dan keberanian.

Di titik inilah, negara sejatinya punya tanggung jawab besar. Bukan sekadar memberi penghargaan simbolik atau fasilitas minimal, tetapi memastikan pesantren tetap berdiri dengan visi mulia: mencetak generasi yang berani melawan kezaliman dan penjajahan dalam bentuk apa pun. Santri bukan hanya aset kultural, tapi penentu arah masa depan umat dan bangsa.

Hari Santri seharusnya bukan sekadar pengingat sejarah, tapi momentum aktivasi peran. Momentum untuk menghidupkan kembali semangat jihad intelektual, spiritual, dan moral. Agar santri tidak sekadar dikenang sebagai penjaga masa lalu, tapi diakui sebagai agen perubahan menuju peradaban yang berkeadilan—peradaban yang menempatkan syariat dan fitrah manusia dalam satu tarikan napas.

Karena sejatinya, santri bukan hanya bagian dari sejarah bangsa. Ia adalah masa depan yang sedang dipertaruhkan. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

nonny irayanti
Pemerhati pendidikan dan sosial kemasyarakatan.
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 21:42 WIB

Hikayat Skandal Kavling Gate, Korupsi Uang Kadeudeuh yang Guncang DPRD Jawa Barat

Saat uang kadeudeuh jadi bencana politik. Skandal Kavling Gate membuka borok korupsi berjamaah di DPRD Jawa Barat awal 2000-an.
Gedung DPRD Jawa Barat.
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 20:26 WIB

Berkunjung ke Perpustakaan Jusuf Kalla di Kota Depok

Perpustakaan Jusuf Kalla bisa menjadi alternatif bagi wargi Bandung yang sedang berkunjung ke luar kota.
Perpustakaan Jusuf Kalla di Kawasan Universitas Islam Internasional Indonesia Kota Depok (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Beranda 31 Okt 2025, 19:03 WIB

Energi Selamatkan Nyawa: Gas Alam Pertamina Terangi Rumah Sakit di Hiruk Pikuk Kota

PGN sebagai subholding gas Pertamina terus memperluas pemanfaatan gas bumi melalui berbagai inovasi, salah satunya skema beyond pipeline menggunakan CNG.
Instalasi Gizi RSUP Hasan Sadikin. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Gilang Fathu Romadhan)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 18:22 WIB

Gunung Puntang, Surga Sejuk di Bandung Selatan yang Sarat Cerita

Gunung Puntang menjadi salah satu destinasi wisata alam yang paling populer di Bandung Selatan.
Suasana senja di kawasan Gunung Puntang, Bandung Selatan. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Naila Salsa Bila)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 17:00 WIB

Kehangatan dalam Secangkir Cerita di Kedai Kopi Athar

Kedai Yang suka dikunjungi mahasiswa UIN SGD 2, tempat refresing otak sehabis belajar.
Kedai Kopi Athar, tempat refresing otak Mahasiswa UIN SGD kampus 2. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Fikri Syahrul Mubarok)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 16:17 WIB

Berhenti Jadi People Pleaser, Yuk Belajar Sayang sama Diri Sendiri!

Jika Anda hidup untuk menyenangkan orang lain, semua orang akan mencintai Anda, kecuali diri Anda sendiri. (Paulo Coelho)
Buku "Sayangi Dirimu, Berhentilah Menyenangkan Semua Orang" (Foto: Penulis)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 16:01 WIB

Santri Jangan Cuma Dirayakan, tapi Dihidupkan

Hari Santri bukan sekadar seremoni. Ia seharusnya menjadi momentum bagi para santri untuk kembali menyalakan ruh perjuangan.
Santri di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Muhammad Azzam)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 14:50 WIB

Sarapan, 'Ritual' yang Sering Terlupakan oleh Mahasiswa Kos

Sarapan yang sering terlupakan bagi anak kos, padahal penting banget buat energi dan fokus kuliah.
Bubur ayam sering jadi menu sarapan umum di Indonesia. (Sumber: Unsplash/ Zaky Hadi)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 14:01 WIB

Balqis Rumaisha, Hafidzah Cilik yang Berprestasi

Sebuah feature yang menceritakan seorang siswi SMP QLP Rabbani yang berjuang untuk menghafal dan menjaga Al-Qur'an.
Balqis Rumaisha saat wawancara di SMP QLP Rabbani (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis | Foto: Salsabiil Firdaus)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 13:01 WIB

Antara Kebebasan Berpendapat dan Pengawasan Digital: Refleksi atas Kasus TikTok di Indonesia

Artikel ini membahas polemik antara pemerintah Indonesia dan platform TikTok terkait kebijakan pengawasan digital.
Artikel ini membahas polemik antara pemerintah Indonesia dan platform TikTok terkait kebijakan pengawasan digital. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 11:12 WIB

Self-Care ala Korea: dari Rutinitas Skincare ke Gaya Hidup Positif

Glowing bukan cuma dari skincare, tapi juga dari hati yang tenang.
Penggunaan skincare rutin sebagai bentuk mencintai diri sendiri. (Sumber: Pexels/Rheza Aulia)
Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 09:46 WIB

Hikayat Pembubaran Diskusi Ultimus, Jejak Paranoia Kiri di Bandung

Kilas balik pembubaran diskusi buku di Toko Buku Ultimus Bandung tahun 2006, simbol ketegangan antara kebebasan berpikir dan paranoia anti-komunis.
Ilustrasi pembubaran diskusi di Ultimus Bandung.
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 09:39 WIB

Kala Cinta Tak Secepat Jadwal Keluarga, Realita Film 'Jodoh 3 Bujang'

Kisah tiga bersaudara yang harus menikah bersamaan demi tradisi.
Salah satu adegan di film 'Jodoh 3 Bujang'. (Sumber: Instagram/Jodoh 3 Bujang)
Ayo Jelajah 31 Okt 2025, 08:38 WIB

Hikayat Janggal Pembunuhan Brutal Wanita Jepang Istri Pengacara di Bandung

Polisi menemukan jasadnya dengan pisau masih menancap. Tapi siapa pembunuhnya? Dua dekade berlalu, jawabannya hilang.
Ilustrasi (Sumber: Shutterstock)
Ayo Netizen 31 Okt 2025, 07:50 WIB

Menepi Sejenak Menikmati Sore di Bandung Utara

Kamakarsa Garden adalah salah satu tempat yang bisa dikunjungi di daerah Bandung Utara untuk sejenak menepi dari hingar-bingar perkotaan.
Kamakarsa Garden (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 19:42 WIB

Perempuan Pemuka Agama, Kenapa Tidak?

Namun sejarah dan bahkan tradisi suci sendiri, tidak sepenuhnya kering dari figur perempuan suci.
Dalam Islam, Fatimah az-Zahra, putri Nabi, berdiri sebagai teladan kesetiaan, keberanian, dan pengetahuan. (Sumber: Pexels/Mohamed Zarandah)
Beranda 30 Okt 2025, 19:40 WIB

Konservasi Saninten, Benteng Hidup di Bandung Utara

Hilangnya habitat asli spesies ini diperkirakan telah menyebabkan penurunan populasi setidaknya 50% selama tiga generasi terakhir.
Leni Suswati menunjukkan pohon saninten. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Restu Nugraha)
Ayo Biz 30 Okt 2025, 17:33 WIB

Mental Mengemis sebagai Budaya, Bandung dan Jalan Panjang Menuju Kesadaran Sosial

Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan.
Stigma terhadap pengemis di kota besar seperti Bandung bukan hal baru. Mereka kerap dilabeli sebagai beban sosial, bahkan dianggap menipu publik dengan kedok kemiskinan. (Sumber: Pexels)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 17:24 WIB

Review Non-Spoiler Shutter versi Indonesia: Horor lewat Kamera yang Tidak Biasa

Shutter (2025) adalah sebuah film remake dari film aslinya yang berasal dari Negeri Gajah Putih (Thailand), yaitu Shutter (2004).
Shutter (2025) adalah sebuah film remake dari film aslinya yang berasal dari Negeri Gajah Putih (Thailand), yaitu Shutter (2004). (Sumber: Falcon)
Ayo Netizen 30 Okt 2025, 16:33 WIB

Sastra dan Prekariat: Ketimpangan antara Nilai Budaya dan Realitas Ekonomi

Kehidupan penulis sastra rentan dengan kondisi prekariat, kaum yang rentan dengan kemiskinan.
Para penulis yang mengabdikan diri pada sastra terjebak dalam kondisi prekariat—kelas sosial yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi. (Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko)