Dalam beberapa waktu terakhir, publik kembali dihebohkan dengan polemik antara pemerintah dan platform media sosial TikTok.
Perselisihan ini bermula dari kebijakan pemerintah yang sempat membatasi operasional TikTok, lalu membuka kembali izinnya setelah adanya kesepakatan terkait pengawasan dan penyerahan data pengguna. Kasus ini bukan sekadar persoalan bisnis atau teknologi, melainkan menyangkut ruang kebebasan berekspresi di dunia digital Indonesia.
Media sosial kini menjadi ruang publik baru, tempat masyarakat menyalurkan pendapat, berkarya, bahkan mencari nafkah. TikTok, misalnya, bukan hanya platform hiburan, tetapi juga wadah komunikasi massa, pendidikan, dan ekonomi kreatif.
Maka, ketika pemerintah memperketat pengawasan terhadap platform ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah pengawasan itu demi keamanan data, atau justru membatasi kebebasan berekspresi warga?
Di satu sisi, negara memang memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari penyebaran hoaks, radikalisme, dan penyalahgunaan data pribadi.
Namun di sisi lain, kontrol yang berlebihan justru bisa menimbulkan ketakutan, menghambat kreativitas, dan mematikan dinamika komunikasi publik. Dalam teori komunikasi politik, ini dikenal sebagai chilling effect — kondisi ketika masyarakat menahan diri untuk berbicara karena takut diawasi.

Kita perlu menyadari bahwa dunia digital adalah ekosistem komunikasi yang saling terhubung. Ketika pemerintah terlalu mendominasi ruang ini, tanpa transparansi dan akuntabilitas, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara akan menurun. Apalagi, generasi muda yang tumbuh dengan teknologi cenderung peka terhadap isu kebebasan dan keterbukaan informasi.
Maka, solusi yang dibutuhkan bukanlah pembatasan sepihak, melainkan kolaborasi. Pemerintah, perusahaan platform, dan masyarakat perlu duduk bersama merumuskan etika komunikasi digital yang adil: menjaga keamanan tanpa mengorbankan kebebasan. Literasi digital juga harus diperkuat agar pengguna paham tanggung jawabnya dalam menyebarkan informasi.
Kasus TikTok ini seharusnya menjadi refleksi bahwa pengawasan digital bukan soal “siapa yang berkuasa”, melainkan bagaimana kekuasaan itu dijalankan secara transparan dan proporsional. Dunia maya tak bisa dikelola dengan pola pikir otoriter, karena ia tumbuh dari semangat partisipasi dan kebebasan berekspresi.
Jika pengawasan dilakukan tanpa keterbukaan, maka ruang digital kita bukan lagi tempat berbagi ide, melainkan ruang diam yang penuh rasa takut. Dan itu, tentu, bukan arah yang diinginkan bangsa yang menjunjung demokrasi dan kemerdekaan berpikir. (*)

 
  
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
  