Demokrasi Narsistik dan Kita yang Menyediakan Panggungnya

Muhammad Sufyan Abdurrahman
Ditulis oleh Muhammad Sufyan Abdurrahman diterbitkan Selasa 08 Jul 2025, 13:02 WIB
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan KDM. (Sumber: setda.bogorkab.go.id)

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan KDM. (Sumber: setda.bogorkab.go.id)

Dalam sepuluh tahun terakhir, masyarakat Indonesia seolah makin terbius oleh dramatisasi politik. Kita tidak hanya pasif menerima komunikasi yang serba permukaan, tetapi juga menjadi simpul utama penyebarannya.

Setiap kali seorang pemimpin menangis di depan kamera, membagi bantuan dengan ekspresi tulus, atau membentak petugas pasar sambil direkam dari berbagai sudut, kita cepat-cepat menyebarkannya.

Tidak banyak bertanya, apalagi mengkritisi. Dalam suasana seperti itu, demokrasi justru kehilangan kedalaman. Ia berubah menjadi demokrasi narsistik.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan KDM, adalah contoh mutakhir dari pola ini. Ia bukan hanya memahami logika viralitas, tetapi juga mengendalikannya. Dalam berbagai aksinya, ia tahu bahwa yang menyentuh emosi akan lebih efektif daripada yang menjelaskan data.

Maka ia memilih tampil emosional ketimbang struktural. Tangis lebih diutamakan daripada transparansi. Pelukan lebih penting daripada peta jalan. Apa yang dibagikan di layar seolah lebih penting daripada apa yang dirumuskan di meja rapat.

Namun KDM bukan satu-satunya. Presiden Joko Widodo sejak periode pertamanya pun telah membangun komunikasi publik dengan pendekatan serupa. Sapaan sederhana, kunjungan mendadak, blusukan yang penuh sentuhan, semua menjadi modal simbolik yang sangat kuat.

Tapi di balik gestur itu, publik justru abai saat ia mengawal transformasi politik yang melonggarkan batas etis kekuasaan. Kita diam saat putranya melesat jadi pejabat publik tanpa proses yang wajar.

Kita pura-pura lupa bahwa demokrasi bukan soal kesederhanaan simbolik, tapi soal pertanggungjawaban konstitusional. Kita terbius karena cara komunikasi mereka begitu efektif menghipnosis massa.

Masalahnya bukan semata pada KDM atau Jokowi. Masalahnya adalah kita. Kita sebagai warga negara telah memberi ruang yang terlalu besar pada pertunjukan citra.

Kita ikut merayakan pemimpin yang tampil dramatis meski tak jelas arah kebijakan makronya. Kita diam, bahkan membela, ketika simbol menggantikan substansi.

Media massa tentu punya andil, tetapi dalam ekosistem digital hari ini, netizen jauh lebih menentukan arah persepsi. Dan netizen mayoritas justru memproduksi pembenaran. Siapa yang viral dianggap benar. Siapa yang dekat dengan rakyat dalam tayangan, dianggap pasti berpihak.

Baca Juga: Polemik Al-Ihsan dan Tips-Trik Digital Public Relations ala KDM

Dramatisasi Konten

Gubernur Jabar terpilih Kang Dedi Mulyadi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Arif Budianto)
Gubernur Jabar terpilih Kang Dedi Mulyadi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Arif Budianto)

Dalam dunia yang dibanjiri konten, dramatisasi menjadi taktik utama. Tangisan, pelukan, bentakan, hingga debat terbuka di pasar menjadi alat komunikasi yang sah.

Emosi yang terekam kamera memiliki nilai lebih tinggi daripada argumen rasional. Pemimpin tak lagi dilihat dari kedalaman ide, melainkan dari intensitas ekspresi yang bisa direkam.

Maka tak heran jika strategi berikutnya adalah membagikan bantuan sambil merekamnya secara penuh. Gift economy berubah menjadi content economy. Rakyat yang diberi merasa bersyukur, pemimpin yang memberi mendapat impresi.

Namun semua itu tetap memerlukan pilihan isu yang tepat. Yang paling disukai adalah isu-isu yang mengandung nilai kekeluargaan, moralitas publik, dan penderitaan.

Cerita tentang anak tukang becak, siswa berprestasi yang hidup susah, atau ibu renta yang belum mendapat bantuan akan lebih cepat menyebar dibanding berita perencanaan infrastruktur atau kebijakan pangan. Emosi lebih mudah viral daripada logika.

Pemimpin pun didorong lebih banyak menangis bersama rakyat daripada membangun sistem yang adil bagi rakyat.

Di titik inilah kita berada dalam apa yang disebut Guy Debord dalam bukunya The Society of the Spectacle (1967) sebagai masyarakat spektakel. Dalam masyarakat semacam ini, yang tampak lebih penting daripada yang nyata.

Hubungan sosial tidak lagi dibangun atas dasar kepercayaan, melainkan berdasarkan gambar-gambar yang direkayasa dan disebarkan. Dalam politik spektakel, janji bisa lebih dulu menjadi tajuk berita sebelum menjadi kebijakan yang bisa diukur.

Fenomena ini bukan hal baru dalam kajian komunikasi. Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menyebut bahwa kehidupan sosial adalah panggung, dan manusia adalah aktor yang menampilkan diri sesuai tuntutan audiens.

Dalam konteks itu, identitas pemimpin adalah performa yang dibentuk, bukan cerminan kerja nyata.

Sementara Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1947) telah lama memperingatkan bahwa budaya massa membuat masyarakat makin pasif karena disuguhi tontonan yang dikemas manis namun kosong isi. Kita lebih sering mengonsumsi citra daripada menggugat substansi.

Kisah bonus dua miliar untuk Persib hanyalah satu fragmen dari pola yang lebih besar. Janji itu sempat dielu-elukan, disambut tepuk tangan, dan beredar luas sebagai simbol kepedulian pemimpin terhadap olahraga rakyat. Tetapi ketika realisasi tak sesuai ekspektasi, riuhnya segera lenyap.

Tak banyak yang bertanya lanjut, apalagi mengejar pertanggungjawaban. Seolah-olah viralitas telah menggugurkan kewajiban konkret.

Di sinilah kita melihat bagaimana ruang publik mulai kehilangan daya ingatnya, dan politik digerakkan bukan oleh keteguhan niat, melainkan kecepatan impresi.

Dalam kondisi semacam ini, yang dipelihara bukan lagi kepercayaan berbasis bukti, melainkan keterikatan emosional yang dipoles terus-menerus.

Pemimpin tampil sebagai figur inspiratif di layar, sementara masyarakat menikmati ilusi kedekatan yang dikonstruksi algoritma. Di balik semua itu, substansi kian tergerus, dan logika kebijakan dikebiri oleh logika konten.

Masyarakat Indonesia hari ini tidak sedang kekurangan informasi, tetapi sedang kebanjiran distraksi. Kita tidak kekurangan calon pemimpin, tetapi kekurangan keberanian untuk melihat melampaui sorot kamera.

Kita terjebak dalam romantisme citra, dan secara tidak sadar menjadi ekosistem yang menyuburkan demokrasi yang rapuh: demokrasi yang lebih senang diperhatikan daripada dipertanyakan.

Baca Juga: 10 Tulisan Terbaik AYO NETIZEN Juni 2025, Total Hadiah Rp1,5 Juta

Jika arah ini tidak kita ubah, maka konsekuensinya bukan hanya hilangnya kepercayaan, tetapi juga hilangnya kapasitas kritis kita sebagai warga negara.

Bukan hanya pemimpin yang akan terus tampil kosong tapi penuh dramatisasi, tetapi juga rakyat yang makin nyaman jadi penonton, bukan pengendali.

Sudah waktunya kita berhenti memberi panggung bagi yang sekadar bisa tampil. Sudah saatnya kita mulai bertanya, bukan hanya menonton.

Karena jika kita terus memuja yang dramatis dan mengabaikan yang strategis, maka kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan sedang menyunting episode berikutnya dari sandiwara yang sama. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Muhammad Sufyan Abdurrahman
Pemerhati komunikasi publik + digital religion, berkhidmat di Prodi Digital PR Telkom University serta MUI, IPHI, Pemuda ICMI, dan BKPRMI Jawa Barat
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 08 Jul 2025, 17:51 WIB

Dari Gerobak ke Ikon Kuliner Kota Bandung, Perjalanan Inspiratif Abah Cireng Cipaganti

Sejak 1990, Cireng Cipaganti, si kudapan sederhana berbahan tepung tapioka ini telah menjelma menjadi sajian legendaris Kota Bandung.
Sejak 1990, Cireng Cipaganti, si kudapan sederhana berbahan tepung tapioka ini telah menjelma menjadi sajian legendaris Kota Bandung. (Sumber: Cireng Cipaganti)
Ayo Jelajah 08 Jul 2025, 17:22 WIB

Sejarah Masjid Cipaganti Bandung, Dibelit Kisah Ganjil Kemal Wolff Schoemaker

Masjid Cipaganti Bandung dibangun oleh Kemal Wolff Schoemaker, arsitek kolonial yang nyentrik, masuk Islam, lalu dimakamkan di kuburan Kristen.
Masjid Cipaganti Bandung. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Mayantara 08 Jul 2025, 15:58 WIB

Juliana, Media Sosial, dan ‘Netizenship’

Belakangan ini, tragedi Juliana Marins di Rinjani memenuhi linimasa media sosial dan segera menjadi trending topic, terutama di kalangan netizen Indonesia dan Brazil.
Juliana Marins (26) merupakan turis asal Brazil yang tewas di Rinjani. (Sumber: Instagram/juliana marins)
Ayo Biz 08 Jul 2025, 15:29 WIB

Errin Ugaru, Dari Pencarian Gaya ke Manifesto Fesyen yang Merayakan Kekuatan Perempuan

Bagi Errin Ugaru, nama yang kini dikenal sebagai pelopor gaya edgy dalam busana muslim, proses membangun bisnis adalah perjalanan penuh eksplorasi.
Bagi Errin Ugaru, nama yang kini dikenal sebagai pelopor gaya edgy dalam busana muslim, proses membangun bisnis adalah perjalanan penuh eksplorasi. (Sumber: Errin Ugaru)
Ayo Biz 08 Jul 2025, 13:26 WIB

Lotek Alkateri: Kuliner Legendaris di Bandung, Dijual Sejak 1980-an

Di tengah ramainya kawasan Alkateri, Bandung, aroma khas bumbu kacang selalu hadir menyapa para pejalan kaki. Di sanalah Oom meracik lotek legendaris yang telah menjadi bagian dari sejarah kuliner Kot
Lotek Alkateri (Foto: ist)
Ayo Netizen 08 Jul 2025, 13:02 WIB

Demokrasi Narsistik dan Kita yang Menyediakan Panggungnya

Seperti Jokowi, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan KDM, adalah contoh mutakhir dari pola ini.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan KDM. (Sumber: setda.bogorkab.go.id)
Ayo Biz 08 Jul 2025, 12:20 WIB

Berkunjung ke Cikopi Mang Eko, Bisa Belajar Soal Kopi Sambil Ngopi Gratis

Di balik secangkir kopi yang harum, ada kisah perjuangan yang menggugah. Muchtar Koswara, yang akrab disapa Mang Eko, berhasil mendirikan workshop Cikopi Mang Eko.
Workshop Cikopi Mang Eko (Foto: Ist)
Ayo Jelajah 08 Jul 2025, 12:06 WIB

Kisah Sedih Teras Cihampelas, Warisan Ridwan Kamil yang Gagal Hidup Berulang Kali

Kisah sewindu lara Teras Cihampelas, proyek warisan Ridwan Kamil yang sempat digadang-gadang sebagai skywalk modern pertama di Indonesia.
Kondisi Teras Cihampelas terkini, lebih mirip lokasi syuting film horror zombie apokalip. (Sumber: Ayobandung | Foto: Irfan Al Faritsi)
Ayo Netizen 08 Jul 2025, 10:18 WIB

Rawat Literasi, Hidupkan Imajinasi

Sejatinya Hari Pustakawan Nasional menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali peran pustakawan dalam meningkatkan ekosistem pengetahuan dan budaya baca.
Mahasiswa sedang asyik membaca di Perpustakaan UIN Bandung (Sumber: www.uinsgd.ac.id | Foto: Humas)
Ayo Netizen 08 Jul 2025, 08:49 WIB

Membangun Demokrasi Lokal yang Sehat Pasca Putusan MK tentang Pemilu Dipisah

Putusan MK soal pemisahan Pemilu 2029 adalah peluang menata ulang demokrasi lokal.
Pekerja mengangkat bilik suara untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Gudang Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jalan Katapang, Kota Bandung. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Jelajah 07 Jul 2025, 17:58 WIB

Cerita Perjalanan Kopi Palintang, Penakluk Dunia dari Lereng Bandung Timur

Kopi arabika dari Palintang, Bandung Timur, menjelma jadi kopi premium berkat inovasi petani lokal dan semangat berdikari.
Enih sedang menjajakan kopi palintang di kaki Gunung Manglayang. (Sumber: Ay | Foto: Mildan Abdalloh)
Ayo Biz 07 Jul 2025, 17:44 WIB

Lengkong Alit, Strategi Cerdas Arif Maulana Menyulap Sudut Tersembunyi Bandung Jadi Magnet Kuliner Urban

Lengkong Alit didirikan dengan pijakan yang kuat, dengan membaca fenomena kuliner Lengkong Kecil yang dulunya diprakarsai lewat program “culinary night” Kota Bandung.
Lengkong Alit (LA), sebuah pusat streetfood di kawasan Lengkong Kecil yang mengangkat kembali semangat lokal dengan sentuhan kekinian. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 07 Jul 2025, 16:09 WIB

Jalan Malabar, Sentra Sepeda Bekas Berkualitas di Tengah Kota Bandung

Bandung dikenal sebagai kota yang dengan beragam pilihan sarana belanja. Salah satu buktinya adalah keberadaan sentra sepeda bekas di Jalan Malabar, yang selalu jadi incaran para pencari sepeda murah
Suasana Jalan Malabar Bandung, dipenuhi oleh penjual sepeda bekas. (Foto: Youtube)
Ayo Biz 07 Jul 2025, 15:03 WIB

Kisah Mami Farah Rintis Usaha Keripik Pangsit dari Rumah

Siapa sangka camilan rumahan bisa berkembang menjadi ladang usaha? Itulah kisah inspiratif dari Farah Choirunisa, yang akrab disapa Mami Farah, pemilik brand camilan MIRAH.
Farah Choirunisa pemilik brand camilan Mirah (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Netizen 07 Jul 2025, 15:00 WIB

Huruf Tebal Tak Dapat Dipakai Sembarang, tapi Boleh Memperkuat Pesan dalam Tulisan

Salah satu alat bahasa yang sering diabaikan adalah penggunaan huruf tebal.
Salah satu alat bahasa yang sering diabaikan adalah penggunaan huruf tebal. (Sumber: Pexels/Anna Tarazevich)
Ayo Biz 07 Jul 2025, 14:08 WIB

Gorengan Cendana, Rasa Jalanan yang Mengakar Sejak 1977

Di tengah gegap gempita kuliner Kota Bandung, satu nama tetap bertahan dan menawan hati sejak puluhan tahun lalu, yaitu Gorengan Cendana.
Di tengah gegap gempita kuliner Kota Bandung, satu nama tetap bertahan dan menawan hati sejak puluhan tahun lalu, yaitu Gorengan Cendana. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 07 Jul 2025, 12:21 WIB

Bosscha Menatap Bintang, Gedung Sate Mengelola Bumi

Di Bosscha, para astronom belajar memahami hukum-hukum alam. Sementara di Gedung Sate, para pejabat berupaya menerjemahkan kebutuhan rakyat ke dalam sejumlah kebijakan.
Gedung Sate, salah satu ikon Kota Bandung. (Sumber: Djoko Subinarto | Foto: Djoko Subinarto)
Beranda 07 Jul 2025, 11:05 WIB

Cuaca Buruk di Kawah Putih Ciwidey Telan Korban

Seorang wisatawan asal dilaporkan Ciparay meninggal saat mendaki Gunung Patuha. Kawasan Kawah Putih memakan korban akibat cuaca ekstrem.
Kawah Putih Ciwidey (Sumber: Pixabay)
Ayo Netizen 07 Jul 2025, 08:48 WIB

Sembilan Dekade Berdiri, Toko Kelontong di Bandung Masih Eksis hingga Kini

Bandung selalu memiliki histori tersendiri di setiap sudutnya, tak terkecuali kawasan Jalan Gempol yang dulunya dibangun untuk pegawai golongan bawah yang bekerja di sekitaran Gedung Sate.
Penampilan Depan Toko Cahaya di Jalan Gempol (Sumber: Dok. Pribadi | Foto: Annisa Rahma Putri)
Beranda 07 Jul 2025, 08:39 WIB

Perintah Dedi Mulyadi untuk Menertibkan Tambang Ilegal di Bandung Barat Tak Semudah Membalikan Telapak Tangan

Pengusaha bingung, pemerintah daerah terjepit, pekerja kehilangan mata pencaharian, dan lingkungan tetap tak sepenuhnya terlindungi.
Ilustrasi tambang di kawasan Kabupaten Bandung Barat. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)