AYOBANDUNG.ID - Di lereng Gunung Manglayang yang berselimut kabut dan aroma tanah basah, terdapat satu kampung bernama Palintang. Kampung ini bukan penghasil emas atau batu mulia, tapi dari tanahnya tumbuh sesuatu yang aromanya bisa mengingatkan orang akan pagi hari: kopi. Bukan sembarang kopi. Kopi Palintang, jenis arabika yang ditanam di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, sudah menembus pasar dunia. Bukan lewat jalur industri besar, tapi melalui tangan-tangan warga yang tekun mengolahnya, secangkir demi secangkir.
Warung Enih adalah salah satu tempat kopi ini diperkenalkan kepada pendatang. Letaknya tak jauh dari ujung jalan beton yang menanjak dan berliku. Di sana, pengunjung disambut seorang nenek berusia lebih dari 50 tahun, wajahnya hangat, logat Sundanya kental. Ia menyambut tamu dengan pertanyaan sederhana tapi penuh makna: “Mau kopi saset atau kopi asli?”
Kopi asli yang dimaksud Enih tentu saja Kopi Palintang, racikan kampungnya sendiri. Ia memaparkan jenis pengolahannya dengan percaya diri: honey, natural, dan full wash. “Semuanya premium, tinggal pilih. Roasting-nya ada yang medium, ada dark,” katanya sambil tersenyum.
Pengetahuan Enih soal kopi tak kalah dari barista di kafe ibu kota. Natural adalah kopi yang dijemur bersama kulitnya. Honey dijemur tanpa dicuci, sementara full wash dicuci bersih sebelum dijemur. "Rasanya beda-beda, tergantung proses," ucapnya. Cara seduhnya juga unik. Dengan takaran ‘kira-kira’ satu sendok teh penuh, Enih menyeduh kopi dengan gaya kampung tapi beraroma internasional.
Tapi, apa yang membuat kopi ini beda? Jawabannya adalah tegakan—tanaman peneduh yang tumbuh bersama kopi. Di Palintang, ada tiga: nangka, alpukat, dan pisang. Kombinasi ini memberi karakter rasa yang khas. “Ini yang bikin kopi Palintang bisa tembus ke Jepang, Swedia, Malaysia,” tutur Enih bangga.
Tak banyak yang tahu bahwa kopi Palintang pernah jadi juara dua dalam lomba kopi nasional tahun 2015. Saat itu, kopi Puntang di posisi pertama. Tapi Palintang tak kalah harum.
Baca Juga: Dari Bandung Kopi Purnama, Ke Hindia Ku Berkelana
Sejarah Kopi Palintang tak lepas dari seorang tokoh luar kampung: Rani. Nama lengkapnya Aulia Asmarani, mahasiswa salah satu kampus Bandung asal Tegal yang pada 2005 mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Palintang. Ia tinggal di rumah Enih, dan dari situlah melihat potensi besar kopi yang selama ini hanya dijual mentah ke bandar.
Rani mengusulkan kepada Perhutani agar warga bisa mengelola hutan secara kolektif. Setahun kemudian, program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) disetujui. Namun hasil panen tetap dijual murah, dan masyarakat belum tahu cara mengolah kopi menjadi produk bernilai tinggi.
Hingga pada 2014, Rani kembali ke Palintang. Kali ini ia datang bersama suaminya yang mengenal seorang ahli kopi dari Jakarta. Mereka membawa sampel kopi ke ibu kota, dan tak lama kemudian, seorang pria datang ke Palintang mengajarkan sortir, penyimpanan, hingga cara seduh yang sesuai standar premium. Ia juga menjelaskan pentingnya waktu panen: kopi premium harus diolah dalam waktu maksimal delapan jam setelah dipetik. Jika lebih dari itu, kualitasnya jatuh.
Pelajaran itu cepat diserap warga. Salah satu yang paling serius menekuni proses ini adalah Maman Suherman, petani kopi yang juga tinggal di kampung tersebut. Sebelum 2014, Maman hanya menjual biji mentah ke tengkulak. Dari lahan seluas dua hektare, ia hanya mendapat dua juta rupiah. Harga saat itu sekitar Rp2.500 hingga Rp3.000 per kilogram.
Karena merasa tertantang, Maman mulai belajar. Ia mulai mengolah biji kopi sendiri. Tak mudah memang. Modalnya berasal dari pinjaman bank. Bantuan pemerintah? Hampir tak ada. Tapi tekad Maman tak surut.
Pada 2015, kopi yang diolah Maman ikut serta dalam lomba dan kembali mendapat posisi kedua. Setelah itu, ia mulai mengemas sendiri produknya, memperkenalkan konsep Micro Lot. Artinya, kopi diolah langsung oleh petani dari lahan kecil dengan perhatian ekstra. Proses panen, sortir, dan pengolahan dilakukan dengan presisi.

Kini, Maman mengolah kopi dengan empat varian proses: natural, honey, full wash, dan wine. Proses terakhir adalah yang paling unik, karena biji kopi disimpan dalam plastik kedap udara selama 35 hari sebelum dijemur. Hasilnya? Rasa kopi yang menyerupai anggur dan sangat halus di lidah.
Pemasarannya pun makin luas. Selain dijual ke berbagai kota seperti Bogor, Subang, dan Sukabumi, kopi hasil olahan Maman pernah dibeli turis asing. “Pernah ada bule datang langsung ke rumah. Katanya mau beli kopi buat oleh-oleh pulang ke negaranya. Saya lupa dari mana, he he,” ujar Maman sambil tertawa kecil.
Kini, Maman mulai masuk ke pasar online dan marketplace. Ia berharap, ke depan, Kopi Palintang tak hanya dikenal di komunitas pecinta kopi, tapi juga menjadi simbol perjuangan petani kecil dalam membangun ekonomi lokal tanpa bergantung pada tengkulak.
Baca Juga: Benjang dari Ujungberung, Jejak Gulat Sakral di Tanah Sunda
“Saya ingin nama Palintang dikenal sebagai penghasil kopi premium,” katanya mantap.
Di tengah wangi tanah basah dan kabut tipis yang turun pelan, Kopi Palintang terus diseduh dan dinikmati. Dari gubuk-gubuk bambu hingga meja-meja kafe di Stockholm dan Tokyo, jejaknya meninggalkan rasa dan cerita. Palintang memang kecil, tapi aromanya bisa menempuh jarak jauh tanpa harus bersandar pada pabrik besar, cukup dari tangan-tangan petani dan semangat yang tak gampang lelah.