Sapoe Sarebu ala Dedi Mulyadi, Gotong-royong atau Kebijakan Publik yang Perlu Pengawasan?

Guruh Muamar Khadafi
Ditulis oleh Guruh Muamar Khadafi diterbitkan Jumat 10 Okt 2025, 11:30 WIB
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Irfan Al-Faritsi)

Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau yang kini dikenal dengan nama Gerakan Poe Ibu, hal ini menjadi perbincangan hangat di Jawa Barat. Gagasan yang diinisiasi oleh Dedi Mulyadi ini sederhana namun sarat makna: setiap warga, ASN, dan pelajar diajak menyisihkan Rp1.000 per hari untuk membantu mereka yang membutuhkan, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan.

Secara moral, ajakan ini menyentuh nurani. Di tengah kesenjangan sosial dan keterbatasan fiskal daerah, inisiatif gotong-royong lokal adalah wujud nyata dari semangat kebersamaan yang mengakar dalam budaya Sunda: silih asah, silih asih, silih asuh. Namun di balik semangat tersebut, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah Sapoe Sarebu hanya sekadar ajakan solidaritas, atau telah menjadi bentuk kebijakan publik yang memerlukan dasar hukum dan tata kelola yang lebih jelas?

Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 149/PMD.03.04/KESRA Tahun 2025 menjelaskan bahwa Sapoe Sarebu bersifat sukarela, tidak mengikat, dan ditujukan untuk membantu masyarakat dalam keadaan darurat. Dana dikumpulkan melalui rekening khusus, dikelola oleh unit lokal seperti RT, RW, sekolah, atau instansi pemerintah, lalu disalurkan ke penerima yang membutuhkan.

Secara tekstual, SE ini tidak memuat kewajiban hukum. Namun, ketika sebuah instruksi gubernur disebarkan ke seluruh perangkat daerah, sekolah, dan birokrasi hingga level terbawah, maka batas antara ā€œimbauanā€ dan ā€œkebijakanā€ menjadi kabur. Apalagi jika pengumpulan dilakukan secara terkoordinasi oleh struktur pemerintahan yang hierarkis. Sukarela bisa berubah menjadi kewajiban tersirat, bukan karena isi kebijakan, melainkan karena budaya birokrasi yang sulit memisahkan instruksi moral dari perintah struktural.

Literatur kebijakan publik menjelaskan, setiap kebijakan yang memengaruhi perilaku kolektif warga, apalagi melalui mekanisme formal maka harus tunduk pada prinsip good governance seperti transparansi, akuntabilitas, dan non-diskriminasi. Tanpa mekanisme itu, kebijakan yang berniat baik pun berisiko menimbulkan distorsi di lapangan.

Literatur Donasi Mikro

Dalam berbagai penelitian tentang perilaku donasi, seperti yang dilakukan Bekkers dan Wiepking (2011), niat menyumbang dipengaruhi oleh tiga faktor utama: empati, norma sosial, dan kepercayaan terhadap pengelola dana. Donasi kecil yang teratur seperti Rp1.000 per hari terbukti efektif meningkatkan partisipasi jika dikelola secara transparan dan menumbuhkan rasa kepemilikan.

Namun, faktor sosial juga bisa berbalik menjadi tekanan. Studi di sektor pendidikan di Indonesia (Misbah, 2020) menemukan bahwa ā€œsumbangan sukarelaā€ kerap berubah menjadi pungutan terselubung ketika dilaksanakan oleh lembaga hierarkis seperti sekolah atau organisasi masyarakat dengan pengawasan lemah. Ketika ā€œsukarelaā€ disertai ekspektasi sosial, apalagi datang dari atasan maka warga cenderung tidak punya ruang untuk menolak tanpa merasa bersalah.

Konteks ini relevan untuk Sapoe Sarebu. Walau Rp1.000 per hari tampak ringan, akumulasi tekanan sosial dan rasa sungkan bisa menciptakan beban psikologis, terutama bagi keluarga miskin atau ASN berpenghasilan pas-pasan. Dalam literatur pembangunan sosial, situasi semacam ini disebut compulsory altruism yaitu kedermawanan yang bersifat dipaksakan oleh norma sosial.

DPRD Jawa Barat, Ombudsman, dan sejumlah pengamat kebijakan publik menyoroti dilema utama gerakan ini ketika dikoordinasikan oleh pemerintah, apakah ia masih bisa disebut gerakan masyarakat? Jika pungutan dilakukan oleh pejabat, apakah masih dapat dikategorikan sebagai donasi sukarela?

Gubernur Jabar KDM (Kang Dedi Mulyadi). (Sumber: Pemprov Jabar)
Gubernur Jabar KDM (Kang Dedi Mulyadi). (Sumber: Pemprov Jabar)

Masalah lain adalah potensi tumpang tindih dengan kebijakan sebelumnya. Beberapa tahun terakhir, pemerintah justru gencar melarang penggalangan dana di sekolah dan lembaga publik tanpa dasar hukum yang jelas, untuk mencegah praktik pungutan liar. Di sisi lain, Sapoe Sarebu mendorong pengumpulan dana di lembaga yang sama, meski dengan niat baik. Kontradiksi ini menciptakan ambiguitas yang bisa merusak kepercayaan publik terhadap birokrasi.

Dari perspektif hukum administrasi, Surat Edaran bukanlah produk regulatif yang mengikat. Ia hanya bersifat informatif dan administratif. Namun, dalam praktik, surat edaran sering kali diinterpretasikan sebagai perintah yang wajib dijalankan, apalagi jika datang dari pejabat tinggi. Inilah problem laten birokrasi Indonesia, terdapat jarak antara niat normatif dan realitas implementasi.

Surat edaran bukan peraturan perundang-undangan karena tidak memiliki prosedur pembentukan yang setara, melainkan merupakan produk dari kewenangan bebas (diskresi) pemerintah. Jika materi muatan surat edaran bersifat mengatur, berlaku umum, dan memuat sanksi, maka surat edaran tersebut bisa dikatakan memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap publik. Meskipun umumnya bersifat internal dan informatif, status hukum surat edaran bisa bervariasi. Jika isinya mengatur dan berlaku umum serta memuat sanksi, maka surat edaran tersebut dapat memiliki kekuatan hukum mengikat, meskipun tidak sekuat peraturan perundang-undangan formal.

Dimensi Etis dan Sosial

Terlepas dari persoalan regulasi, Sapoe Sarebu mengandung pesan moral yang kuat yaitu mengajak warga saling membantu tanpa menunggu negara. Dalam konteks masyarakat yang kian individualistik, gerakan seperti ini penting untuk merawat nilai solidaritas sosial. Di banyak negara, micro-donation movement justru menjadi pelengkap kebijakan kesejahteraan, bukan pengganti.

Namun, untuk menjaganya tetap murni sebagai ajakan moral, ada beberapa syarat etis yang perlu dijaga. Pertama, prinsip kesukarelaan harus ditegakkan bukan hanya di atas kertas, tapi juga dalam praktik. Kedua, pengelolaan dana harus transparan, dengan laporan berkala yang mudah diakses publik. Ketiga, harus ada mekanisme pengaduan yang jelas bagi masyarakat yang merasa tertekan atau keberatan. Keempat, warga miskin perlu mendapat perlindungan agar tidak merasa wajib berpartisipasi demi menghindari stigma.

Gerakan sosial yang lahir dari pemerintah hanya akan dipercaya jika pemerintah menahan diri untuk tidak menjadi pengumpul dana, melainkan fasilitator yang menjamin keadilan dan transparansi.

Beberapa daerah dan negara memiliki pengalaman serupa. Di Korea Selatan, misalnya, program Community Chest of Korea berhasil mengumpulkan donasi mikro dari warga tanpa tekanan struktural. Kuncinya ada pada tata kelola independen: dana tidak dikelola oleh birokrasi, melainkan oleh yayasan sosial yang diaudit publik secara terbuka. Pemerintah berperan sebagai pengawas dan penyedia kanal transparansi, bukan sebagai pengumpul.

Model seperti ini bisa diadaptasi di Jawa Barat. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi platform digital, misalnya melalui aplikasi Sapawarga yang memungkinkan warga berdonasi langsung, memilih program yang didukung, dan memantau penggunaan dana. Dengan demikian, gerakan gotong-royong tetap hidup, tetapi berada dalam koridor tata kelola modern yang akuntabel.

Gerakan Sapoe Sarebu mengandung paradoks khas kebijakan publik di Indonesia yaitu antara idealisme sosial dan realitas birokrasi. Ia lahir dari niat baik, tapi beroperasi dalam sistem yang mudah salah tafsir.

Jalan tengahnya adalah menjadikan Sapoe Sarebu sebagai gerakan sosial terfasilitasi pemerintah, bukan kebijakan pemerintah. Artinya, negara tidak perlu mengumpulkan dana, tetapi cukup menyediakan ekosistem digital, regulasi perlindungan, dan audit publik. ASN dan masyarakat yang ingin berpartisipasi dapat melakukannya secara pribadi tanpa tekanan struktural.

Dengan cara itu, semangat rereongan (gotong-royong khas Jawa Barat) tetap hidup tanpa mengaburkan batas antara moralitas sosial dan otoritas negara.

Dalam teori kebijakan publik, niat baik bukan jaminan bagi hasil baik. Yang membedakan keduanya adalah tata kelola. Sapoe Sarebu adalah contoh menarik bagaimana kebijakan bisa lahir dari moralitas sosial, bukan hanya kalkulasi politik. Namun, agar tidak menjadi sumber masalah baru, ia perlu diperlakukan dengan prinsip kehati-hatian: sukarela, transparan, dan bebas tekanan.

Gotong-royong akan selalu menjadi kekuatan bangsa ini, asal dijalankan dengan hati, bukan dengan hierarki. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Guruh Muamar Khadafi
Analis Kebijakan Ahli Muda, Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Talenta ASN Nasional Lembaga Administrasi Negara
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

MAMPUS (Malam Minggu Puisi)

Ayo Netizen 09 Okt 2025, 11:58 WIB
MAMPUS (Malam Minggu Puisi)

Jamet Tetaplah Menyala!

Ayo Netizen 10 Okt 2025, 10:12 WIB
Jamet Tetaplah Menyala!

News Update

Ayo Netizen 19 Des 2025, 16:01 WIB

Maribaya Natural Hotspring Resort: Wisata Alam, Relaksasi, dan Petualangan di Lembang

Maribaya Natural Hotspring Resort menawarkan pengalaman wisata alam dan relaksasi di tengah kesejukan Lembang.
Maribaya Lembang. (Sumber: Dokumen Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 15:13 WIB

Bukit Pasir sebagai Benteng Alami dari Hempasan TsunamiĀ 

Sand dune yang terbentuk oleh proses angin dan gelombang dapat mengurangi efek tsunami.
Teluk dengan pantai di selatan Jawa Barat yang landai, berpotensi terdampak hempasan maut tsunami. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: T. Bachtiar)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:22 WIB

Jualan setelah Maghrib Pulang Dinihari, Mi Goreng ā€˜Mas Sam’ Cari Orang Lapar di Malam Hari

Mengapa mesti nasi goreng ā€œMas Iputā€? Orangnya ramah.
SAM adalah nama sebenarnya, tapi para pelanggannya telanjur menyebutnya ā€œMas Iputā€. (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 14:12 WIB

5 Hidden Gem Makanan Manis di Pasar Cihapit, Wajib Dicoba Saat Main ke Bandung!

Semuanya bisa ditemukan dalam satu area sambil menikmati suasana Pasar Cihapit.
Salah satu tempat dessert di Pasar Cihapit, yang menjadi tujuan berburu makanan manis bagi pengunjung. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 12:57 WIB

Twig CafƩ Maribaya: Tempat Singgah Tenang dengan Pemandangan Air Terjun yang Menyegarkan Mata

Suasana Cafe yang sangat memanjakan mata dan pikiran lewat pemandangan nyata air terjun yang langsung hadir di depan mata.
Air terjun yang langsung terlihat dari kafe. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 11:46 WIB

Program CSR sebagai Alat Penembusan dosa

CSR harus dikembalikan ke inti, yaitu komitmen moral untuk mencegah kerusakan ekosistem sejak awal
Ilustrasi kayu hasil penebangan. (Sumber: Pexels/Pixabay)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 10:21 WIB

Keberlangsungan Suatu Negara dalam Bayang-Bayang Deformasi Kekuasaan

Sering kali ada pengaruh buruk dalam jalannya suatu pemerintahan yang dikenal dengan istilah deformasi kekuasaan.
 (Sumber: Gemini AI)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:24 WIB

Kota Bandung: Hak Trotoar, Pejalan Kaki, dan PKL

Antara hak pejalan kaki dan pedagang kaki lima yang harus diseimbangkan pemerintah Kota Bandung
Pejalan kaki harus melintas di jalan yang diisi oleh para pedagang di trotoar Lengkong Street Food, Kamis, 4 Desember 2025. (Sumber: Dokumentasi pribadi | Foto: Taqiyya Tamrin Tamam)
Ayo Netizen 19 Des 2025, 09:13 WIB

Cibaduyut: Sentra Sepatu yang Berubah Menjadi Sentra Kemacetan

Cibaduyut tidak hanya menjadi pusat penjualan sepatu di Kota Bandung, tapi juga sebagai salah satu pusat kemacetan di kota ini.
Tampak jalanan yang dipenuhi kendaraan di Jln. Cibaduyut, Kota Bandung (04/12/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Yudhistira Rangga Eka Putra)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 21:16 WIB

Sambel Pecel Braga: Rumah bagi Lidah Nusantara

Sejak berdiri pada 2019, Sambel Pecel Braga telah menjadi destinasi kuliner yang berbeda dari hiruk- pikuk kota.
Sambel Pecel Braga di tengah hiruk pikuk perkotaan Bandung. (Foto: Fathiya Salsabila)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:42 WIB

Strategi Bersaing Membangun Bisnis Dessert di Tengah Tren yang Beragam

Di Tengah banyaknya tren yang cepat sekali berganti, hal ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi pengusaha dessert untuk terus mengikuti tren dan terus mengembangkan kreatifitas.
Dubai Truffle Mochi dan Pistabite Cookies. Menu favorite yang merupakan kreasi dari owner Bonsy Bites. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 20:08 WIB

Harapan Baru untuk Taman Tegallega sebagai Ruang Publik di Kota Bandung

Taman Tegallega makin ramai usai revitalisasi, namun kerusakan fasilitas,keamanan,dan pungli masih terjadi.
Area tribun Taman Tegalega terlihat sunyi pada Jumat, 5 Desember 2025, berlokasi di Jalan Otto Iskandardinata, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat. (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Ruth Sestovia Purba)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 19:38 WIB

Mengenal Gedung Sate, Ikon Arsitektur dan Sejarah Kota Bandung

Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat.
Gedung Sate merupakan bangunan bersejarah di Kota Bandung yang menjadi ikon Jawa Barat. (Dokumentasi Penulis)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 18:30 WIB

Kondisi Kebersihan Pasar Induk Caringin makin Parah, Pencemaran Lingkungan di Depan Mata

Pasar Induk Caringin sangat kotor, banyak sampah menumpuk, bau menyengat, dan saluran air yang tidak terawat, penyebab pencemaran lingkungan.
Pasar Induk Caringin mengalami penumpukan sampah pada area saluran air yang berlokasi di Jln. Soekarno-Hatta, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung, pada awal Desember 2025 (Foto : Ratu Ghurofiljp)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:53 WIB

100 Tahun Pram, Apakah Sastra Masih Relevan?

Karya sastra Pramoedya yang akan selalu relevan dengan kondisi Indonesia yang kian memburuk.
Pramoedya Ananta Toer. (Sumber: Wikimedia Commons | Foto: Lontar Foundation)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 17:42 WIB

Hikayat Jejak Kopi Jawa di Balik Bahasa Pemrograman Java

Bahasa pemrograman Java lahir dari budaya kopi dan kerja insinyur Sun Microsystems dengan jejak tak langsung Pulau Jawa.
Proses pemilahan bijih kopi dengan mulut di Priangan tahun 1910-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 17:21 WIB

Komunikasi Lintas Agama di Arcamanik: Merawat Harmoni di Tengah Tantangan

Komunikasi lintas agama menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan sosial di kawasan ini.
Monitoring para stakeholder di Kecamatan Arcamanik (Foto: Deni)
Ayo Jelajah 18 Des 2025, 16:40 WIB

Eksotisme Gunung Papandayan dalam Imajinasi Wisata Kolonial

Bagi pelancong Eropa Papandayan bukan gunung keramat melainkan pengalaman visual tanjakan berat dan kawah beracun yang memesona
Gunung Papandayan tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 15:16 WIB

Warisan Gerak Sunda yang Tetap Hidup di Era Modern

Jaipong merupakan jati diri perempuan Sunda yang kuat namun tetap lembut.
Gambar 1.2 Lima penari Jaipong, termasuk Yosi Anisa Basnurullah, menampilkan formasi tari dengan busana tradisional Sunda berwarna cerah dalam pertunjukan budaya di Bandung, (08/11/2025). (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Satria)
Ayo Netizen 18 Des 2025, 14:59 WIB

Warga Cicadas Ingin Wali Kota Bandung Pindahkan TPS ke Lokasi Lebih Layak

Warga Cicadas menghadapi masalah lingkungan akibat TPS Pasar Cicadas yang penuh dan tidak tertata.
Kondisi tumpukan sampah menutupi badan jalan di kawasan Pasar Cicadas pada siang hari, (30/11/2025), sehingga mengganggu aktivitas warga dan pedagang di sekitar lokasi. (Foto: Adinda Jenny A)