Dialog Lintas Iman, Dialog Rakyat

Arfi Pandu Dinata
Ditulis oleh Arfi Pandu Dinata diterbitkan Kamis 09 Okt 2025, 08:43 WIB
Petani di Kebun (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Petani di Kebun (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)

Ada sayup-sayup kabar angin, konon bicara agama-agama itu hanya milik orang-orang yang perutnya sudah kenyang. Di antara sinis dan nyinyir, tapi sepertinya kita mesti akui bersama bahwa komentar itu memang ada benarnya. Apalagi kalau selintingan tersebut datang dari mereka yang berada di tepian, rasa-rasanya harus diterima sebagai kritik yang tajam.

Satu dua warga menaruh curiga. Dari seberang jalan, mata mereka celik memandangi kita, “Mengapa ada orang yang masih punya waktu dan tenaga untuk bicara soal agama?”. Bagi mereka percakapan seperti itu bukan hanya terlalu langitan, tapi tampak menari-menari enteng-entengan penuh kelakar tawa.

Kita mungkin malah bangga, menganggap diri open minded. Tapi pernahkah kita merenung kalau gaya ini justru bisa membangun tembok kelas? Idealisme kita justru berpotensi memantik kecemburuan sosial.

Gelagat kita, style kota, imaji well-educated. Gelang-gelang, kain adat, dan gantungan kunci, entah dieksotiskan atau kasih kesan kalau kita cukup dekat dengan tradisi. Bahasa nginggris berbelit-belit penuh kode yang menyekat. Gelas kopi kekinian, earphone, dan gawai ongkang-ongkang. Bagi mereka ini bukan diskursus tapi tontonan yang asing.

Dialog lintas iman urusan mereka nu geus nyalsé, orang-orang yang sudah beres dengan masalah ekonominya, begitu celotehan itu seketika menyambarku. Badanku lemas, tertunduk tak bisa menimpali. Aku mengakui keterbatasanku yang ini.

Di mata petani yang tanahnya terancam proyek tambang, buruh pabrik tekstil yang digaji rendah, atau orang muda pengangguran di kampung pinggiran kota, punya mimpi yang sama sekali berbeda. Menyangkut soal perut, harga diri, dan ruang hidup. Bukan sebatas hidup rukun di tengah perbedaan.

Di sinilah pentingnya membawa lensa kemiskinan ke dalam percakapan lintas iman. Elitisme tidak hanya soal siapa yang punya rumah megah dan rekening gendut. Elitisme juga bisa muncul dari isu yang dipilih, cara isu itu dibawa, dan bagaimana ia didaratkan dalam kehidupan warga. Dialog bisa tampak indah di atas panggung, tapi barangkali kosong di lapangan jika tidak menyentuh keresahan riil warga.

Contoh yang sering luput, kelompok yang dulu kadung distempel “intoleran”. Mudah bagi kita menganggap mereka hanya haus kuasa atau sempit pandangan. Tetapi jika dilihat lebih dekat, banyak di antara mereka justru rentan secara ekonomi. Mereka mungkin dominan secara religius, jumlahnya besar, dan simbolnya kuat. Tapi marginal dalam akses pendidikan, lapangan kerja, atau kesejahteraan yang layak.

Ketika kecemburuan ekonomi berkelindan dengan identitas agama, api konflik bisa cepat menyala. Maka, menyederhanakan masalah mereka sebagai soal kebencian atas nama agama semata adalah bentuk buta kelas yang sangat jelas.

Itulah sebabnya, dialog lintas iman tidak boleh berhenti pada bahasa formal agama. Ia harus menyeberang ke soal-soal kesejahteraan ekonomi, keadilan ekologi, paradigma warga, hingga kedaulatan agama rakyat itu sendiri.

Membicarakan 'agama rakyat' memang tidak seperti membicarakan 'agama formal'. (Sumber: Pexels/Ismail saja)
Membicarakan 'agama rakyat' memang tidak seperti membicarakan 'agama formal'. (Sumber: Pexels/Ismail saja)

Sebab agama, di akar rumput, bukan sekadar sistem doktrin atau institusi resmi. Ia menubuh dalam praktik hidup sehari-hari. Agamanya nelayan yang menjaring ikan dengan jampi, agamanya buruh pabrik yang bekerja tanpa dapat THR, agamanya driver ojol yang mengutuk nasibnya, dan agamanya orang miskin kota yang mencari nasi kotak di kenduri tetangganya.

Narasi lintas iman yang selama ini dominan sering terjebak pada kategori-kategori modern yang kaku. Ada agama sebagai identitas, ada pemuka yang representatif, ada organisasi yang bisa deklarasi, dan ada kitab yang bisa jadi quotes. Padahal agama juga bisa hadir sebagai ritual kecil, tradisi keluarga, atau praktik sosial yang tak selalu tercatat di buku-buku kita.

Kalau kita memaksa hanya agama formal yang berhak masuk dialog, maka yang terpinggirkan adalah mayoritas warga. Sebab merekalah yang beragama dalam bentuk hidup, tidak ikut bendera tertentu, tidak mudah dikategorikan dalam kolom-kolom yang baku.

Warga bukan sekadar objek “pemberdayaan” atau “pembinaan”, melainkan sumber pengetahuan dan pembebasan itu sendiri. Mereka punya cara, bahasa, dan gaya hidup yang kaya makna. Dialog lintas iman di akar rumput harus berangkat dari sana. Dari bahasa warga, dari cerita sehari-hari, dari luka yang mereka alami, juga dari mimpi yang mereka kehendaki. 

Maka dari itu mari kita bayangkan ulang. Dialog lintas iman bukan ruang steril yang hanya mengundang para tokoh agama resmi. Ia bisa hadir di warung kopi, di ladang, di pabrik, atau bahkan di titik kumpul ojek online. Topiknya bukan hanya tentang toleransi abstrak, tetapi juga tentang petani dan harga tengkulak, tentang RT yang warganya beda afiliasi ormas, tentang orang muda di pos ronda yang gelisah mencari nafkah.

Di titik inilah, lintas iman bekerja sebagai proyek keadilan. Ia berhubungan dengan masalah perut, dengan bumi, dengan musik jedag-jedug. Ia berpihak pada mereka yang selama ini dipinggirkan oleh negara dan institusi agama formal, pada mereka yang beragama tanpa nama. Ia tidak menunggu warga untuk “diberadabkan” lebih dulu, tetapi justru mengakui bahwa dalam keseharian mereka sudah ada praktik agama, budaya, dan kemanusiaan yang layak diakui.

Dialog lintas iman yang go lokal tidak mencari definisi besar, melainkan menyelami detail kecil. Soal kuota internet untuk anak-anak sekolah daring, soal solidaritas kelompok nelayan saling bantu saat badai, soal nenek dan cucuk yang beda menghidupi adat.

Jika kita jujur, mungkin justru wargalah yang sudah lebih dulu menjalankan dialog lintas iman dengan cara mereka sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah mendengar, belajar, lalu mendukung agar ruang-ruang itu tumbuh. Dengan begitu, dialog lintas iman tidak lagi jadi urusan dan mandat intelektual-praktisi, melainkan urusan kita semua. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Arfi Pandu Dinata
Menulis tentang agama, budaya, dan kehidupan orang Sunda
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

Berita Terkait

News Update

Ayo Netizen 10 Okt 2025, 10:12 WIB

Jamet Tetaplah Menyala!

Lebay, tapi manusiawi. Eksplorasi dunia rakyat pinggiran sebagai ekspresi identitas dan kreativitas.
Pemandangan Rumah Rakyat dari Balik Jendela Kereta Lokal Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 10 Okt 2025, 09:26 WIB

Buku dan Segala Kebermanfaatannya

Membaca adalah jendela dunia, Menulis adalah jalan untuk mengubahnya.
Membaca adalah Jendela Dunia, Menulis adalah jalan untuk mengubahnya. Dan Bangsa yang rendah dalam literasi akan selalu rendah dalam peradaban. Pramoedya Ananta Toer (Sumber: Freepik)
Beranda 10 Okt 2025, 08:17 WIB

Gerakan Warga Kota Bandung Mengubah Kebiasaan Buang Jelantah Sembarangan

Minyak yang telah berubah warna menjadi pekat itu dikenal sebagai jelantah. Banyak orang membuangnya begitu saja, tanpa menyadari dampaknya bagi tanah dan air.
Warga membuang minyak goreng bekas atau jelantah ke dalam tabung UCOllet di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buahbatu, Kota Bandung. (Sumber: ayobandung.id | Foto: Ikbal Tawakal)
Ayo Biz 09 Okt 2025, 18:55 WIB

Menjaga Napas Bisnis Wisata Alam Lewat Inovasi dan Strategi Berkelanjutan

Ketika industri pariwisata bergerak cepat mengikuti selera pasar, bisnis wisata alam menghadapi tantangan tak kalah kompleks untuk tetap relevan tanpa kehilangan esensi.
Ketika industri pariwisata bergerak cepat mengikuti selera pasar, bisnis wisata alam menghadapi tantangan tak kalah kompleks untuk tetap relevan tanpa kehilangan esensi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Kavin Faza)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 18:31 WIB

Belajar dari Nurhayati & Subakat, Bisnis bukan Tentang Viral tapi Sustainable

Bisnis bukan sekedar viral. Apalagi jika tidak memedulikan aspek keamanan pada konsumen demi kapitalisme semata.
Belajar Bisnis dari Nurhayati & Subakat (Sumber: Screenshoot | Youtube Wardah)
Ayo Biz 09 Okt 2025, 17:19 WIB

UMKM Bangkit, Ekonomi Bergerak: Festival sebagai Motor Perubahan

Bukan sekadar penggerak sektor informal, UMKM dan pelaku ekonomi kreatif adalah pionir inovasi, penjaga warisan budaya, dan pencipta lapangan kerja yang adaptif.
Bukan sekadar penggerak sektor informal, UMKM dan pelaku ekonomi kreatif adalah pionir inovasi, penjaga warisan budaya, dan pencipta lapangan kerja yang adaptif. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Jelajah 09 Okt 2025, 17:18 WIB

Jejak Sejarah Cimahi jadi Pusat Tentara Hindia Belanda Sejak 1896

Cimahi dikenal sebagai kota tentara sejak masa kolonial Belanda. Sejak 1896, kota ini jadi pusat militer Hindia Belanda yang strategis.
Garinsun KNIL di Cimahi tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 15:50 WIB

Betulkah Gunung Sunda Terlihat dari Pesisir Koromandel India?

Tentang Gunung Sunda yang ditutupi salju abadi dan terlihat dari Koromandel, India. Apa iya? 
Keadaan ronabumi seperti inilah yang dilihat oleh masyarakat, bukan Gunung Sunda yang menjulang  tinggi. (Sumber: Istimewa)
Ayo Biz 09 Okt 2025, 14:45 WIB

Bobotoh Unyu-unyu, Komunitas Perempuan yang Menyimpan Peluang Ekonomi di Dunia Suporter

Jadi warna lain yang menyapa di laga Persib, Bobotoh Unyu-unyu bukan sekadar pendukung tapi wajah baru dalam dinamika suporter sepak bola Indonesia.
Jadi warna lain yang menyapa di laga Persib, Bobotoh Unyu-unyu bukan sekadar pendukung tapi wajah baru dalam dinamika suporter sepak bola Indonesia. (Sumber: dok. Bobotoh Unyu-unyu)
Ayo Jelajah 09 Okt 2025, 13:40 WIB

Gaduh Kisah Vina Garut, Skandal Video Syur yang Bikin Geger

Kasus Vina Garut bukan sekadar skandal video mesum. Ia adalah kisah kelam tentang eksploitasi, kemiskinan, dan nafsu yang dijadikan komoditas.
Ilustrasi (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 13:32 WIB

Orang-Orang yang Beragama tapi Menyebalkan

Melihat praktik menjalankan agama di jalan yang merugikan orang lain.
Bayangan Orang-Orang Nongkrong di Kafe (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 11:58 WIB

MAMPUS (Malam Minggu Puisi)

Puisi bukan hanya menciptakan kata-kata untuk bisa dibaca, namun ia bisa menjadi deskripsi, lagu, bahkan bisa masuk ke ranah yang lebih universal.
MAMPUS (Malam Minggu Puisi) (Foto: Ayu Maimun)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 09:55 WIB

'Nebeng Hotspot' saat Pembayaran Digital

Nebeng hotspot saat kondisi darurat memang tidak masalah. Namun jika kamu melakukan secara terus-menerus, ya jadi ribet.
Nebeng hotspot disaat kondisi darurat memang tidak masalah. Namun jika kamu melakukan secara terus-menerus dengan berharap orang lain memaklumi dan terus membantu kamu itu namanya tidak tahu diri. (Sumber: Freepik)
Ayo Netizen 09 Okt 2025, 08:43 WIB

Dialog Lintas Iman, Dialog Rakyat

Ia berpihak pada mereka yang selama ini dipinggirkan oleh negara dan institusi agama formal, pada mereka yang beragama tanpa nama.
Petani di Kebun (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 20:03 WIB

Kolaborasi Widyaiswara, Praktisi, dan Teknologi sebagai Resep Jitu Mencetak Birokrasi Kelas Dunia

Sinergi ini mengubah pelatihan konvensional menjadi ekosistem belajar dinamis menuju birokrasi kelas dunia
Pelantikan Jabatan Fungsional Widyaiswara Ahli Pertama. (Sumber: setneg.go.id)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 18:33 WIB

Belajar Mengenal Obat Anti Nyeri yang Aman untuk Ibu Hamil

Ibu hamil adalah kelompok yang tidak boleh sembarang dalam memilih obat ketika terdapat keluhan.
Dalam beberapa kondisi, ibu hamil juga sering mengeluhkan sakit kepala, sakit gigi atau demam. (Sumber: Pexels/Ahmed akacha)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 16:15 WIB

Studi Agama di Dunia Sunda

Sunda terbuka dan plural, tempat berbagai agama hidup berdampingan.
Pojok Barang-Barang Antik di Pasar Cikapundung, Kota Bandung (Sumber: Dokumentasi Pribadi | Foto: Arfi Pandu Dinata)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 15:03 WIB

Oleh-Oleh dari Bengkel Rancage 'Ngarang Carita Pondok'

Acara ini merupakan rangkaian atau kelanjutan dari Pasanggiri Ngarang Carpon 2025 (Sayembara Menulis Cerpen 2025).
Pasanggiri Ngarang Carpon 2025. (Sumber: Youtube/SundaDigi)
Ayo Netizen 08 Okt 2025, 13:27 WIB

Memberikan Bantuan Cuma-Cuma malah Membentuk Mental 'Effortless'

Memberikan bantuan cuma-cuma akan membentuk mental effortless pada masyarakat.
Masyarakat mengunjungi KDM untuk meminta bantuan dan menyampaikan keluhan. (Sumber: Tiktok | Kang Dedi Mulyadi)
Ayo Jelajah 08 Okt 2025, 12:42 WIB

Sejarah Bandung Jadi Ibu Kota Hindia Belanda, Sebelum Jatuh ke Tangan Jepang

Di awal Maret 1942, Bandung berubah jadi ibu kota darurat Hindia Belanda. Tapi hanya empat hari, sebelum Jepang menutup kisah kolonial itu selamanya.
Jalan Raya Pos di Bandung tahun 1938 (Sumber: KITLV)