AYOBANDUNG.ID - Pada suatu masa di tahun 1938, Cililin yang biasanya tenang mulai diterpa rasa waswas. Bukan karena perang, bukan pula karena paceklik. Orang-orang di kampung Nanggerang bicara dengan nada pelan, lebih banyak berbisik. Sebab dalam waktu singkat, sebelas warga mereka meninggal dunia. Bukan karena wabah, bukan karena usia. Mereka mati satu per satu tanpa sebab yang jelas.
Warga mulai mengaitkan kematian itu dengan satu istilah: ilmoe. Di tanah Sunda, itu bukan sekadar kata. Bisa berarti racun, bisa juga ilmu hitam. Bisa tak terlihat, tapi mematikan.
Laporan De Koerier, 14 Juni 1938 mencatat secara rinci rentetan peristiwa ganjil dan imbisil yang terjadi. Pemerintah Adat Cililin mencium ada yang tidak beres. Saat sebuah kasus perampokan terjadi pada bulan Mei, penyelidikan mengarah pada sosok tua yang sudah lama dikenal di kampung-kampung: Bapa Digoeng. Ia bukan hanya tokoh adat, tapi juga dukun yang dikenal ampuh. Kabarnya, ia bisa membuat orang jatuh sakit, atau lebih parah, mati dalam diam.
Kepala polisi dan petugas segera diperintahkan menangkapnya. Tak perlu banyak desakan, Digoeng buka suara. Ia mengaku terlibat dalam perampokan, dan lebih dari itu, mengaku sudah “melumpuhkan” orang lain lewat ilmunya.
Baca Juga: Jejak Dukun Cabul dan Jimat Palsu di Bandung, Bikin Resah Sejak Zaman Kolonial
“Karena tindakan yang bijaksana dan penyelidikan yang cermat, lebih banyak kejahatan yang dilakukan oleh Bapa Digoeng terungkap,” tulis De Koerier memuji kerja kepolisian Hindia Belanda.
Pemerintah mencatat, dari pertengahan Maret hingga Mei 1938, empat orang telah dihabisi oleh Digoeng. Itu yang diakui. Tapi di desa, jumlah korban diyakini lebih banyak. Nama-nama dari kampung Nanggerang dibisikkan dengan iba. Sebelas nyawa melayang dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh tabib ataupun polisi.
“Tak kurang dari sebelas penduduk desa tewas berturut-turut,” tulis De Koerier, “yang namanya dibisikkan dengan rasa iba di desa.”
Satu kalimat terus bergema di tengah warga: siapa pun yang ingin menyingkirkan lawannya hanya perlu berpaling kepada sang dukun yang ditakuti.
Dua Puluh Gulden per Jiwa
Dalam interogasi, Digoeng menyebut bahwa keempat korban pertama dibunuh atas pesanan seorang bernama Moentarip, dengan tarif dua puluh gulden per kepala. Ia juga menyerang dua kerabatnya sendiri, Mirjasik dan Moernasik, dengan ilmu yang membuat mereka sakit. Untungnya, dukun lain datang memberi “penawar”.

Yang menarik, nama Moernasik ternyata bukan sekadar korban. Ia adalah mantan menantu Digoeng, sekaligus bekas muridnya. Kini, menurut Digoeng, Moernasik bahkan lebih mahir.
“Diduga Moernasik juga menyediakan ‘ilmunya’ dengan tarif tetap dua puluh gulden per jiwa,” tulis De Koerier, “menggunakan beberapa ‘perantara’ untuk mencari klien.”
Baca Juga: Wajit Cililin, Simbol Perlawanan Kaum Perempuan terhadap Kolonialisme
Jaringan ini tidak kecil. Para makelar bekerja dari desa ke kota, bahkan hingga Bandung. Mereka mencari orang-orang yang ingin “menghabisi” musuh mereka secara diam-diam. Dalam catatan pemerintah, tujuh orang diduga menjadi korban ilmu Moernasik.
Salah satu nama penting lain dalam jaringan ini adalah Soekadma, orang kepercayaan Moernasik yang dititipi jimat. Saat polisi datang menggeledah, ia mengatakan bahwa jimat itu telah dibakar. Karena tak cukup bukti, ia dilepas dari tahanan.
Tapi beberapa hari kemudian, kabar aneh datang.
“Pria tersebut tertimpa pohon tumbang,” tulis De Koerier. “Kali ini, pohon tumbang tersebut menimpanya dan meremukkannya.”
Soekadma memang sedang menebang pohon arborvitae. Ia sudah sering melakukannya. Tapi kali ini, pohonnya seolah membalas dendam.
Sementara itu, Digoeng ditahan di penjara Cililin. Pengawalan diperketat. Tapi suatu pagi, seorang sipir datang tergopoh-gopoh. Ia hendak mengantar sarapan, tapi mendapati sel sudah sepi. Digoeng telah menggantung diri. Tak pakai tali, hanya balok dan sehelai jilbab.
“Ia telah bunuh diri... Balok dan jilbab adalah caranya.”