AYOBANDUNG.ID - Di tengah kondisi sosial-politik yang terus bergejolak, seruan agar media lebih berpihak pada kepentingan warga kembali mengemuka. Pernyataan tersebut disuarakan Ayang, perwakilan dari Dago Melawan, yang menilai media memiliki peran penting dalam menjaga ruang hidup publik. Sikap kritis itu adalah tanggapan atas temuan riset terbaru CMCI Unpad mengenai bagaimana media sebenarnya memotret gerakan sosial di Indonesia.
Ayang mengatakan dengan lugas, sudah waktunya media benar-benar berpihak kepada rakyat. Di tengah situasi dinamika sosial-politik, ia menilai media memegang peran penting untuk menguatkan suara warga—baik yang berada di ruang-ruang besar maupun komunitas kecil yang jarang mendapat sorotan. Baginya, media bukan sekadar pengantar informasi, melainkan bagian dari penopang solidaritas warga yang tiap hari menghadapi ketidakberdayaan.
Pernyataan tersebut mengemuka dalam forum “Peran Media dalam Rangkaian Gerakan Sosial di Indonesia”, tempat riset terbaru Pusat Studi Komunikasi, Media, Budaya, dan Sistem Informasi (CMCI) Universitas Padjadjaran dipresentasikan. Riset itu memperlihatkan bahwa ketika media menyoroti identitas dan karakter gerakan—alih-alih hanya menampilkan keramaian aksi—tingkat simpati dalam pemberitaan jauh lebih tinggi dibandingkan anggapan publik selama ini.
Peneliti CMCI Unpad, Detta Rahmawan, memaparkan bagaimana tiga rangkaian aksi terbesar pada 2024–2025—“Peringatan Darurat”, “Indonesia Gelap”, dan “Aksi Agustus–September”—membentuk mata rantai pembelajaran kolektif dalam demokrasi jalanan. Ketiganya menunjukkan bagaimana publik terus mengasah taktik, narasi, dan jejaring dalam menyampaikan aspirasinya.
Selama ini, media sering dianggap bekerja dengan “paradigma protes”, yaitu kecenderungan menyoroti konflik atau insiden yang bersifat sensasional. Namun analisis CMCI pada sejumlah media nasional justru menemukan tren berbeda. Dalam bingkai diagnostik, prognostik, dan motivasional, berita yang memuat tuntutan dan motif gerakan tampil lebih manusiawi. Aksi dipahami sebagai ekspresi warga, bukan gangguan keamanan. Temuan ini sekaligus membantah anggapan bahwa media arus utama selalu memberi citra negatif terhadap demonstrasi.
Diksi yang dipakai media juga banyak menunjukkan kecenderungan positif, seperti “menyerukan”, “mendesak”, atau “mengawal”. Substansi tuntutan—mulai revisi regulasi, transparansi anggaran, isu energi, hingga paket tuntutan rakyat—ikut diangkat sehingga liputan tak berhenti pada visual massa. Dengan demikian, media masih menjalankan fungsi sebagai kanal legitimasi moral yang penting bagi gerakan sosial, terutama saat identitas gerakan terkomunikasikan secara jelas.
Variasi narasumber turut memperlihatkan dinamika menarik. Anggota legislatif mendominasi liputan “Peringatan Darurat” dan “Aksi Agustus–September”, sedangkan laporan tentang “Indonesia Gelap” lebih banyak mengandalkan perspektif mahasiswa dan massa aksi. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana isu yang diangkat turut memengaruhi siapa yang diberi ruang bicara.
Dalam sesi tanggapan, Abie Besman, dosen Jurnalistik Fikom Unpad, mengingatkan bahwa media tidak pernah benar-benar netral. Ia menilai media adalah bagian dari ekosistem publik yang juga menghadapi tekanan politik. Karena itu, menurut Abie, persoalannya bukan hanya tentang media berbicara, tetapi siapa yang diberi ruang untuk menyuarakan pendapat.
Pandangan Abie itulah yang kemudian disambut Ayang. Menurutnya, dalam situasi negara yang carut-marut, media harus ikut berdiri di sisi warga. Ia menegaskan perlunya dukungan media terhadap kelompok-kelompok yang suaranya kerap terpinggirkan. Keberpihakan yang ia maksud bukanlah keberpihakan buta, tetapi keberpihakan untuk menjaga ruang hidup masyarakat dan memastikan suara rakyat tidak tenggelam.
Riset CMCI juga menyoroti pentingnya jurnalisme penjelas (explanatory journalism). Di era digital, berita menyebar lintas platform melalui potongan video, tangkapan layar, hingga ringkasan yang beredar di media sosial, membentuk persepsi kolektif jauh melampaui ukuran klik atau traffic. Hal ini memperkuat urgensi media untuk mengedepankan konteks, bukan hanya kecepatan.

Forum yang dihadiri jurnalis, aktivis organisasi masyarakat sipil, pers mahasiswa, dan akademisi tersebut memberikan ruang refleksi atas cara media bekerja dan dampaknya terhadap demokrasi. Dengan dukungan BandungBergerak sebagai mitra pelaksana, acara ini menegaskan kembali pentingnya kolaborasi antara riset, media, dan publik.
Dari keseluruhan pemaparan, CMCI Unpad menegaskan bahwa media dan gerakan sosial saling membentuk. Ketika media memberi ruang identitas gerakan, publik dapat memahami alasan di balik aksi warga. Dan ketika publik memahami cara kerja media, gerakan bisa menyusun strategi komunikasi yang lebih efektif dan demokratis.
