Sejarah Dago, Hutan Bandung yang Berubah jadi Kawasan Elit Belanda Era Kolonial

Hengky Sulaksono
Ditulis oleh Hengky Sulaksono diterbitkan Selasa 22 Jul 2025, 14:40 WIB
Orang Eropa berjalan di Jalan Dago tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

Orang Eropa berjalan di Jalan Dago tahun 1920-an. (Sumber: KITLV)

AYOBANDUNG.ID - Belum sah ke Bandung kalau belum menyusuri Dago. Begitu kata orang. Sebentuk ucapan yang lebih mirip azimat promosi pariwisata ketimbang pepatah lokal. Tapi memang begitulah adanya. Dago, dari dulu sampai sekarang, selalu punya daya sihir bagi siapa pun yang menjejakkan kaki di Bandung. Di zaman kiwari, ia menjelma jadi surganya factory outlet dan kafe dengan rooftop memikat. Tapi kalau ditarik mundur ke masa lampau, Dago adalah hutan. Bukan sekadar rimbun dedaunan, tapi betulan hutan yang gelap, penuh misteri, dan katanya, sarangnya binatang buas.

Jalanan Dago hari ini, tempat motor, mobil, angkot, dan travel berdesakan, dulunya adalah kawasan yang dihindari. Orang takut melintas sendirian. Yang hendak ke kota dari utara Bandung memilih untuk berkumpul terlebih dulu, menanti satu sama lain, membentuk kawanan demi keselamatan. Dari sinilah muncul kata "Dago", turunan dari bahasa Sunda “dagoan” alias menunggu.

Sejarawan dan guru besar Unpad, A. Sobana Hardjasaputra, menyebut bahwa Dago bukan sekadar nama jalan, tapi jejak kebiasaan orang tempo dulu. “Habis salat Subuh, biasanya orang Bandung itu suka berbelanja ke pasar,” kata Sobana. Tapi karena Dago kala itu remang-remang dan berbahaya, warga lebih memilih saling silih ngadagoan sebelum berangkat. “Dari situlah nama jalan itu jadi Jalan Dago. Artinya menunggu kata orang Sunda mah.”

Karena itu, Dago bukan sekadar ruang geografis, tapi juga cermin psikologis masyarakat yang mengutamakan rasa aman secara kolektif. Sebuah bentuk solidaritas sosial yang nyaris punah di zaman sekarang, ketika orang lebih suka buru-buru sendirian ketimbang sabar menanti dalam kerumunan.

Baca Juga: Jalan Cepat ke Lembang Gagal Dibangun Sejak Zaman Kolonial

Dago, Gagasan Rumah Peristirahatan Kolonial

Sekitar tahun 1905, seorang Belanda bernama Andre van der Brun memulai langkah penting dalam mengubah wajah Dago. Ia membangun rumah peristirahatan di lereng utara kota, persis di kawasan yang kini bersebelahan dengan Hotel Jayakarta. Waktu itu belum ada Jalan Ir. H. Djuanda, apalagi Borma dan Jabarano.

Sepuluh tahun kemudian, 1915, dimulailah pembangunan jalan besar yang dinamai Dagostraat. Jalan yang membelah pegunungan itu seolah menjadi tapal batas antara kota dan rimba. Baru tahun 1970, nama Dagostraat berubah menjadi Jalan Ir. H. Djuanda, mengikuti irama nasionalisme yang tengah menggeliat.

Potret orang Belanda sat bersantai di rumah mereka di Jalan Dago. (Sumber: KITLV)
Potret orang Belanda sat bersantai di rumah mereka di Jalan Dago. (Sumber: KITLV)

Tahun 1920 hingga 1940 bisa dibilang sebagai dekade emas pembangunan di Dago. Pemerintah Hindia Belanda kala itu rajin membangun, tak hanya jalan dan rumah, tapi juga sekolah. Technische Hoogeschool te Bandoeng berdiri megah pada 3 Juli 1920, kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Lalu muncul pula SMAK Dago, tempat B.J. Habibie menimba ilmu, dan aula bernama Lyceum Dago yang kini menjadi bagian dari SMAN 1 Bandung.

Bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial itu masih berdiri tegak. Pilar-pilar raksasa, lorong-lorong sunyi, dan jendela kayu yang mengintip ke masa lalu. Kalau saja tembok-tembok itu bisa bicara, mungkin mereka akan menceritakan pertemuan-pertemuan rahasia para dosen Belanda, atau mahasiswa zaman Jepang yang mencuri dengar berita perang lewat radio gelap.

Gaya arsitektur art deco pun bertebaran di kawasan ini. Rumah-rumah kuno yang kini berdampingan dengan bangunan modern, seperti toko kue La Belle atau ruko-ruko jalan Cikapayang. Sebuah jejak kemewahan masa lalu yang enggan pudar, meski terus dilabrak oleh gempuran kapitalisme modern.

Baca Juga: Hikayat Sungai Cikapundung, Pernah Jernih Sebelum Diratap dalam Syair

Hutan yang Dikonservasi, Lalu Dikeruk

Tapi Dago bukan cuma tempat jalan-jalan dan belanja. Di balik punggungan bukitnya, ada kawasan yang sejak lama jadi laboratorium konservasi. Namanya Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, atau lebih akrab disebut Tahura. Di sinilah Dago Pakar bermula, bukan dari bisnis cafe-cafe yang menjual view bukit dan kopi seharga nasi padang.

Pada tahun 1864, seorang peneliti Belanda bernama Dr. Isaac Groneman menyusuri perbukitan Dago. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kawasan ini menyimpan flora dan fauna langka. Ada anggrek Microstylis Bandongensis dan Nervillea Aragona, juga satwa seperti kancil, meong congkok (yang konon harimau kecil), hingga lutung. Sebuah hutan tropis yang memeluk rahasia.

Kemudian kawasan ini masuk dalam kelompok Hutan Lindung Gunung Pulosari. Lalu pada tahun 1980, lewat Surat Keputusan Menteri Pertanian, statusnya diubah jadi Taman Wisata Alam Curug Dago. Tujuannya jelas: melestarikan alam, mengenalkan keanekaragaman hayati, sekaligus menjaga situs-situs sejarah seperti Gua Jepang dan Gua Belanda.

Tak hanya itu, di dalam Tahura juga ditemukan Situs Cibitung, peninggalan zaman prasejarah. Konon ada batu arca dan makam kuno di sana. Di sekitarnya, ada mata air yang dianggap suci oleh warga sekitar. Sebuah contoh bagaimana manusia dan alam membangun harmoni dalam diam.

Tapi, seperti yang sering terjadi di negeri yang entah kenapa alergi pada ruang hijau, Tahura kini tak luput dari ancaman. Komersialisasi mulai mengintip. Para pengembang melirik lahan dengan embel-embel view Dago, udara sejuk, atau akses langsung ke Tahura. Dari sinilah muncul deretan rumah elit yang mencukur bukit, menyayat tanah, dan meminggirkan hutan.

Dago adalah ironi. Dari tempat menunggu yang penuh ketakutan jadi kawasan elite yang bikin macet. Dari hutan yang penuh satwa langka jadi pusat perbelanjaan. Dari ruang konservasi jadi ladang kapitalisasi.

Yang tersisa kini tinggal potongan sejarah yang terjepit di antara billboard dan kafe. Pilar-pilar Belanda berdiri kaku di antara gerai kopi internasional. Hutan lindung dibingkai pagar beton bertuliskan cluster eksklusif.

Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Netizen 06 Sep 2025, 18:59 WIB

Muludan, Rindu Rosul

Semua maha karya itu menegaskan satu kerinduan, kecintaan pada Rasulullah SAW tak pernah lekang dimakan zaman.
Suasana malam di Masjid Raya Al Jabbar. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 11:39 WIB

Kenapa Harus Pakai Earphone Bagus?

Earphone adalah perangkat audio kecil yang digunakan dengan cara ditempelkan atau dimasukkan ke dalam telinga untuk mendengarkan suara secara pribadi.
Ilustrasi foto Earphone (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 10:34 WIB

Kopi Toko Tua, Bukan Hanya Sekedar Tempat Ngopi di Braga

Di tengah padatnya aktivitas Kota Bandung, ada satu tempat yang bisa membuatmu merasa seperti kembali ke masa lalu. Kopi Toko Tua, sebuah kafe bergaya kolonial, menghadirkan suasana vintage yang hanga
Kopi Toko Tua (Foto: GMAPS)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 09:38 WIB

Opak Linggar, Cemilan Tradisional dari Rancaekek

Pencinta kuliner khas Sunda baiknya melirik kudapan sederhana yang masih bertahan di tengah gempuran camilan modern. Namanya Opak Linggar, jajanan tradisional yang diproduksi di Linggar, Rancaekek
Ilustrasi Foto Opak Linggar. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 05 Sep 2025, 19:28 WIB

10 Netizen Terbaik Agustus 2025 dengan Total Hadiah Rp1,5 Juta

Ayobandung.id dengan bangga mengumumkan 10 netizen terpilih dengan kontribusi terbaik di kanal AYO NETIZEN sepanjang Agustus 2025.
Ayobandung.id dengan bangga mengumumkan 10 netizen terpilih dengan kontribusi terbaik di kanal AYO NETIZEN sepanjang Agustus 2025. (Sumber: Unsplash/Bram Naus)
Ayo Biz 05 Sep 2025, 18:42 WIB

Lisung Dulang Resto Menyuguhkan Strategi Etnik di Tengah Tren Wedding Resto Bandung

Di tengah lanskap yang penuh inovasi, Lisung Dulang Resto tampil sebagai salah satu pelaku usaha yang mampu bertahan dan beradaptasi.
Di tengah lanskap yang penuh inovasi, Lisung Dulang Resto tampil sebagai salah satu pelaku usaha yang mampu bertahan dan beradaptasi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 05 Sep 2025, 17:56 WIB

Kompakers Bandung: Komunitas Perempuan yang Menjadikan Fotografi sebagai Ruang Tumbuh dan Bisnis

Puluhan fotografer perempuan yang tergabung dalam Kompakers Bandung menjadikan fotografi sebagai ruang tumbuh, berkarya, dan berbagi cerita.
Puluhan fotografer perempuan yang tergabung dalam Kompakers Bandung menjadikan fotografi sebagai ruang tumbuh, berkarya, dan berbagi cerita. (Sumber: dok. Kompakers Bandung)
Ayo Jelajah 05 Sep 2025, 17:50 WIB

Sejarah Pahit Keemasan Kopi Priangan di Zaman Kolonial, Kalahkan Yaman via Preangerstelsel

Kopi Priangan pernah jadi primadona dunia lewat Preangerstelsel, menumbangkan dominasi Yaman dan menyisakan jejak pahit bagi petani lokal.
Koffie Pakhuis alias gudang penyimpanan kopi zaman kolonial yang kini berubah fungsi jadi Balai Kota Bandung. (Sumber: KITLV)
Ayo Netizen 05 Sep 2025, 16:46 WIB

Stereotipe 'si Kabayan' Masih Menempel Laki-Laki Keturunan Sunda

Apakah si Kabayan juga merepresentasikan identitas laki-laki suku Sunda?
Iustrasi orang Sunda. (Sumber: Unsplash/Zulfikar Arifuzzaki)
Ayo Biz 05 Sep 2025, 12:50 WIB

Bakso Jumbo dan Doa Panjang: Perjalanan Kuliner Sumarmi di Kedai Bakso Laman Astaghfirullahaladzim

Tak semua nama warung makan lahir dari strategi branding. Kadang, nama itu muncul dari momen spontan yang kemudian melekat kuat di benak pelanggan.
Seporsi menu bakso di kedai Bakso Laman Astaghfirullahaladzim. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 05 Sep 2025, 09:52 WIB

Eksistensi dan Penggunaan Bahasa Sunda di Kota Bandung

Bahasa Sunda adalah bahasa ibu bagi suku Sunda. Penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari sudah mulai bergeser.
Pertunjukan Wayang Golek sebagai Budaya Sunda (Sumber: Pexels)
Beranda 05 Sep 2025, 07:16 WIB

Mengenal Greenwashing, Muslihat Korporasi yang Mengklaim Ramah dan Peduli Lingkungan

Simbol daun, warna hijau, atau gambar bumi kerap dipakai untuk memperkuat kesan seolah produk tersebut benar-benar berkelanjutan.
Ilustrasi greenwashing.
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 20:39 WIB

Modifikasi Camilan Cipuk alias Aci Kerupuk

Cipuk atau aci kerupuk merupakan makanan yang terbuat dari campuran aci(tepung tapioka) dengan kerupuk.
Cipuk (Aci Kerupuk) Mang Adin (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 17:45 WIB

Demam Koleksi Figur Estetik: Ketika FOMO Menyulut Tren Boneka Desainer di Bandung

Perburuan boneka desainer bukan lagi sekadar hobi koleksi, tapi menjelma jadi gaya hidup yang menggabungkan seni, estetika, dan dorongan psikologis untuk tak ketinggalan tren.
Perburuan boneka desainer bukan lagi sekadar hobi koleksi, tapi menjelma jadi gaya hidup yang menggabungkan seni, estetika, dan dorongan psikologis untuk tak ketinggalan tren. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 17:36 WIB

Berburu Barang Bekas di Pasar Loak Terbesar di Bandung

Namanya juga Pasar Loak Astana Anyar, ya pasti berada di Jalan Astana Anyar, Kota Bandung.
Pasar Loak Astana Anyar. (Sumber: Ayobandung.com)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 16:54 WIB

Warung Sangrai dan Misi Mengangkat Puyuh: Kuliner Lokal yang Tak Lagi Dianggap Sebelah Mata

Ketika banyak pelaku kuliner berlomba menyajikan olahan ayam dan bebek, Warung Sangrai memilih menjadikan burung puyuh sebagai menu utama.
Ketika banyak pelaku kuliner berlomba menyajikan olahan ayam dan bebek, Warung Sangrai memilih menjadikan burung puyuh sebagai menu utama. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 16:32 WIB

Nilai Kehidupan dan (5 List Rekomendasi) Kulineran di Bandung  

Bicara soal kuliner khas Bandung langsung kebayang segala jenis makanan yang lagi viral.
Es Cendol Elizabeth, kuliner legendaris Bandung sejak 1970-an. (Sumber: Instagram @escendolelizabethofficial)
Ayo Biz 04 Sep 2025, 15:37 WIB

Mamata Craft dan Ondang Dahlia: Merajut Cinta, Merawat Bumi

Mamata Craft, hobi yang tumbuh bersama waktu. Terlahir menjadi sebuah gagasan menjadikan kain sisa sebagai jalan hidup dan kontribusi nyata bagi lingkungan.
Ondang Dahlia, owner Mamata Craft. (Sumber: dok pribadi)
Ayo Netizen 04 Sep 2025, 14:49 WIB

Cuanki, Cari Uang Gak Hanya Modal Janji

Cuanki adalah salah satu kuliner yang populer di Kota Bandung.
Bakso Cuanki Gading (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Ayo Jelajah 04 Sep 2025, 13:04 WIB

Sejarah Bandung, Kota Impian Koloni Eropa yang Dijegal Gubernur Jenderal

Bandung pernah jadi kota impian kolonial, tapi kebijakan tanam paksa kopi menutup Priangan bagi orang asing hingga 1852.
Suasana Bandung tahun 1968. (Sumber: Flickr | Foto: Frank Stamford)