AYOBANDUNG.ID - Belum sah ke Bandung kalau belum menyusuri Dago. Begitu kata orang. Sebentuk ucapan yang lebih mirip azimat promosi pariwisata ketimbang pepatah lokal. Tapi memang begitulah adanya. Dago, dari dulu sampai sekarang, selalu punya daya sihir bagi siapa pun yang menjejakkan kaki di Bandung. Di zaman kiwari, ia menjelma jadi surganya factory outlet dan kafe dengan rooftop memikat. Tapi kalau ditarik mundur ke masa lampau, Dago adalah hutan. Bukan sekadar rimbun dedaunan, tapi betulan hutan yang gelap, penuh misteri, dan katanya, sarangnya binatang buas.
Jalanan Dago hari ini, tempat motor, mobil, angkot, dan travel berdesakan, dulunya adalah kawasan yang dihindari. Orang takut melintas sendirian. Yang hendak ke kota dari utara Bandung memilih untuk berkumpul terlebih dulu, menanti satu sama lain, membentuk kawanan demi keselamatan. Dari sinilah muncul kata "Dago", turunan dari bahasa Sunda “dagoan” alias menunggu.
Sejarawan dan guru besar Unpad, A. Sobana Hardjasaputra, menyebut bahwa Dago bukan sekadar nama jalan, tapi jejak kebiasaan orang tempo dulu. “Habis salat Subuh, biasanya orang Bandung itu suka berbelanja ke pasar,” kata Sobana. Tapi karena Dago kala itu remang-remang dan berbahaya, warga lebih memilih saling silih ngadagoan sebelum berangkat. “Dari situlah nama jalan itu jadi Jalan Dago. Artinya menunggu kata orang Sunda mah.”
Karena itu, Dago bukan sekadar ruang geografis, tapi juga cermin psikologis masyarakat yang mengutamakan rasa aman secara kolektif. Sebuah bentuk solidaritas sosial yang nyaris punah di zaman sekarang, ketika orang lebih suka buru-buru sendirian ketimbang sabar menanti dalam kerumunan.
Baca Juga: Jalan Cepat ke Lembang Gagal Dibangun Sejak Zaman Kolonial
Dago, Gagasan Rumah Peristirahatan Kolonial
Sekitar tahun 1905, seorang Belanda bernama Andre van der Brun memulai langkah penting dalam mengubah wajah Dago. Ia membangun rumah peristirahatan di lereng utara kota, persis di kawasan yang kini bersebelahan dengan Hotel Jayakarta. Waktu itu belum ada Jalan Ir. H. Djuanda, apalagi Borma dan Jabarano.
Sepuluh tahun kemudian, 1915, dimulailah pembangunan jalan besar yang dinamai Dagostraat. Jalan yang membelah pegunungan itu seolah menjadi tapal batas antara kota dan rimba. Baru tahun 1970, nama Dagostraat berubah menjadi Jalan Ir. H. Djuanda, mengikuti irama nasionalisme yang tengah menggeliat.

Tahun 1920 hingga 1940 bisa dibilang sebagai dekade emas pembangunan di Dago. Pemerintah Hindia Belanda kala itu rajin membangun, tak hanya jalan dan rumah, tapi juga sekolah. Technische Hoogeschool te Bandoeng berdiri megah pada 3 Juli 1920, kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Lalu muncul pula SMAK Dago, tempat B.J. Habibie menimba ilmu, dan aula bernama Lyceum Dago yang kini menjadi bagian dari SMAN 1 Bandung.
Bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial itu masih berdiri tegak. Pilar-pilar raksasa, lorong-lorong sunyi, dan jendela kayu yang mengintip ke masa lalu. Kalau saja tembok-tembok itu bisa bicara, mungkin mereka akan menceritakan pertemuan-pertemuan rahasia para dosen Belanda, atau mahasiswa zaman Jepang yang mencuri dengar berita perang lewat radio gelap.
Gaya arsitektur art deco pun bertebaran di kawasan ini. Rumah-rumah kuno yang kini berdampingan dengan bangunan modern, seperti toko kue La Belle atau ruko-ruko jalan Cikapayang. Sebuah jejak kemewahan masa lalu yang enggan pudar, meski terus dilabrak oleh gempuran kapitalisme modern.
Baca Juga: Hikayat Sungai Cikapundung, Pernah Jernih Sebelum Diratap dalam Syair
Hutan yang Dikonservasi, Lalu Dikeruk
Tapi Dago bukan cuma tempat jalan-jalan dan belanja. Di balik punggungan bukitnya, ada kawasan yang sejak lama jadi laboratorium konservasi. Namanya Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda, atau lebih akrab disebut Tahura. Di sinilah Dago Pakar bermula, bukan dari bisnis cafe-cafe yang menjual view bukit dan kopi seharga nasi padang.
Pada tahun 1864, seorang peneliti Belanda bernama Dr. Isaac Groneman menyusuri perbukitan Dago. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kawasan ini menyimpan flora dan fauna langka. Ada anggrek Microstylis Bandongensis dan Nervillea Aragona, juga satwa seperti kancil, meong congkok (yang konon harimau kecil), hingga lutung. Sebuah hutan tropis yang memeluk rahasia.
Kemudian kawasan ini masuk dalam kelompok Hutan Lindung Gunung Pulosari. Lalu pada tahun 1980, lewat Surat Keputusan Menteri Pertanian, statusnya diubah jadi Taman Wisata Alam Curug Dago. Tujuannya jelas: melestarikan alam, mengenalkan keanekaragaman hayati, sekaligus menjaga situs-situs sejarah seperti Gua Jepang dan Gua Belanda.
Tak hanya itu, di dalam Tahura juga ditemukan Situs Cibitung, peninggalan zaman prasejarah. Konon ada batu arca dan makam kuno di sana. Di sekitarnya, ada mata air yang dianggap suci oleh warga sekitar. Sebuah contoh bagaimana manusia dan alam membangun harmoni dalam diam.
Tapi, seperti yang sering terjadi di negeri yang entah kenapa alergi pada ruang hijau, Tahura kini tak luput dari ancaman. Komersialisasi mulai mengintip. Para pengembang melirik lahan dengan embel-embel view Dago, udara sejuk, atau akses langsung ke Tahura. Dari sinilah muncul deretan rumah elit yang mencukur bukit, menyayat tanah, dan meminggirkan hutan.
Dago adalah ironi. Dari tempat menunggu yang penuh ketakutan jadi kawasan elite yang bikin macet. Dari hutan yang penuh satwa langka jadi pusat perbelanjaan. Dari ruang konservasi jadi ladang kapitalisasi.
Yang tersisa kini tinggal potongan sejarah yang terjepit di antara billboard dan kafe. Pilar-pilar Belanda berdiri kaku di antara gerai kopi internasional. Hutan lindung dibingkai pagar beton bertuliskan cluster eksklusif.