Dalam sebuah proses pemilihan penyedia pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pastinya banyak penyedia yang mengajukan pengadaan dengan berbagai mekanisme maupun alur.
Namun, Ketika sebuah proyek pengadaan dimenangkan oleh perusahaan milik kerabat atau kenalan dari pejabat terkait, masyarakat hanya bisa mengelus dada.
Meski terasa janggal, semuanya seolah "sesuai prosedur". Lalu, apakah konflik kepentingan hanya mitos di atas kertas atau ancaman nyata dalam praktik birokrasi kita? Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2025 yang baru saja dirilis menyebut soal pengendalian konflik kepentingan. Namun, muncul pertanyaan: benarkah regulasi ini akan menyentuh akar persoalan, atau hanya jadi pelengkap dalam dokumen formal?
Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2025 dan Permen PANRB No. 17 Tahun 2024 menyebut tentang pentingnya pengendalian konflik kepentingan. Namun, seberapa kuat regulasi ini menjawab realita di lapangan?
Tulisan ini akan mengangkat isu konflik kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagai refleksi dan analisis terhadap integritas birokrasi Indonesia hari ini.
Konflik Kepentingan dalam Proses Pengadaan
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Konflik Kepentingan, Konflik Kepentingan didefinisikan kondisi pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Pengelolaan Konflik Kepentingan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola proses pengambilan Keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan dalam situasi Konflik Kepentingan oleh pejabat Pemerintahan.
Namun yang terjadi pada realitanya pengelolaan konflik kepentingan pada sektor pemerintahan dipandang sebagai ilusi belaka. Hal ini sering kita jumpai dalam Proses dan metode pemilihan pengadaan Barang/Jasa Proyek Pemerintah, yang sering pula disebut sebagai lumbungnya konflik kepentingan baik secara aktual maupun potensial yang kemudian berevolusi menjadi gratifikasi dan memungkinkan membuka praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 telah diterbitkan pada tanggal 30 April 2025, yang mana Perpres ini merupakan Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Diterbikatkannya Perpres tersebut bukan menjadi angin segar justru menimbulkan banyak polemik dan dinilai bisa membuka celah korupsi pengadaan Barang/Jasa.
Beberapa celah yang dapat menjadi muara praktik konflik kepentingan salah satunya pada pasal Pasal 9 ayat (1) huruf f2 akan membuka celah manipulasi prosedural tanpa hukum formal, dimana PA diberi kewenangan menyesuaikan prosedur/jenis kontrak saat terjadi "kekosongan hukum atau stagnasi.
Bahkan, kondisi ini diperkirakan akan memperlihatkan lemahnya pengawasan, longgarnya regulasi, dan rendahnya budaya integritas yang berakibat pada kondisi birokrasi yang rawan disalahgunakan.
Selain itu, pada Pasal Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 41 ayat (5) memperluas lingkup pengadaan melalui mekanisme penunjukan langsung untuk program prioritas Presiden. Ketentuan ini membuka celah subjektif bagi menteri atau kepala lembaga untuk membuat dokumen yang menyatakan suatu pengadaan barang dan jasa merupakan program prioritas Presiden.
Mekanisme penunjukan langsung memungkinkan terbentuknya ruang subjektivitas dalam menentukan program prioritas Presiden, dengan berujung pada konflik kepentingan terselubung yang mengakibatkan meningkatnya potensi praktik kolusi dilewat mekanisme penunjukan langsung, memudarnya transparansi dan akuntabilitas dalam belanja negara, bahkan kemungkinan jangkap panjang, kondisi ini beresiko menciptakan lingkungan birokrasi yang permisif terhadap penyimpangan dan melemahkan efektivitas pengawasan internal.
Peneliti dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), pernah menyatakan bahwa mekanisme penunjukan langsung rawan disalahgunakan, dan seharusnya dibatasi hanya untuk kondisi khusus seperti bencana atau keadaan darurat nasional. Namun, dengan Pasal ini kemungkinan akan semakin memperparah konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa.
Konflik Kepentingan sebagai Akar KKN
Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pengadaan barang dan jasa (PBJ) sebagai salah satuu sektor paling rentan terhadap praktik korupsi.
Menurut Pahala pada saat pemberian paparan pada acara peluncuran hasil SPI 2024 menyebutkan bahwa “Risiko penyalahgunaan dalam pengelolaan PBJ mencapai 97% di kementerian/lembaga dan 99% di pemerintah daerah. Temuan ini berdasarkan jawaban dari 53% responden internal yang mengakui adanya penyalahgunaan di sektor ini”.
Pahala juga memaparkan berbagai temuan SPI dalam pengelolaan PBJ, di antaranya 49% pemilihan pemenang vendor yang sudah diatur semakin banyak; 56% kualitas barang tidak sesuai dengan harga PBJ; dan 38% hasil pengadaan tidak memberikan manfaat. 71% tindakan nepotisme meningkat semakin drastis dan ditemui 46% gratifikasi dari pemberian vendor ke penyelenggara negara dalam proses PBJ.
Beberapa kasus besar KKN di Indonesia sejatinya bermuara dari konflik kepentingan yang dibiarkan atau tidak dikelola secara tepat. Seperti Kasus Suap dan Gratifikasi terkait Pengadaan Barang dan Jasa di dimana terdapat dua tersangka dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa memberi atau menjanjikan sesuatu terkait pengadaan Barang dan Jasa serta penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemerintah.
Demikian pula kasus pengadaan barang dan jasa berupa paket sembako yang bermula dari penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan mekanisme penunjukan langsung dan diduga telah menjalin kesepakatan dengan adanya fee dari tiap-tiap paket bansos. Semua ini menunjukkan bahwa konflik kepentingan bukan sekadar potensi, tapi realita yang menuntut mitigasi serius.
Kasus-kasus ini menjadi gambaran konkret bahwa konflik kepentingan tidak lagi bersifat laten, tetapi telah menjelma menjadi praktik sistemik yang menggerogoti integritas lembaga pemerintah.
Ketika proses pengadaan dipenuhi oleh kompromi dan kesepakatan di balik meja, maka tujuan pengadaan yang semestinya berorientasi pada efisiensi dan kepentingan publik berubah menjadi alat untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu. Semua ini menunjukkan bahwa konflik kepentingan bukan sekadar potensi, tapi realita yang menuntut mitigasi serius dan pendekatan sistemik.
Membangun Sistem Pengadaan yang Bersih dan Tangguh

Mengatasi konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah membutuhkan lebih dari sekadar pembaruan regulasi. Diperlukan pendekatan yang strategis, sistemik, dan berkelanjutan agar kebijakan tidak berhenti pada dokumen formal semata, tetapi benar-benar diterapkan secara konsisten di lapangan.
Pertama, Penunjukan langsung seharusnya hanya diberlakukan dalam keadaan tertentu seperti bencana alam, keadaan darurat nasional, atau situasi luar biasa lainnya. Kriteria program prioritas Presiden yang dapat menggunakan mekanisme ini harus dirumuskan secara objektif, transparan, dan terukur untuk menghindari penafsiran sepihak dari pejabat atau instansi terkait.
Kedua, Pemerintah perlu menyediakan akses terbuka terhadap seluruh tahapan pengadaan barang/jasa melalui platform digital yang mudah diakses oleh masyarakat dan pemangku kepentingan.
Ketiga, peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus diperkuat tidak hanya dalam fungsi pengawasan pasca-kejadian, tetapi juga pada tahap pencegahan. APIP harus diberi kewenangan yang cukup untuk menghentikan atau merekomendasikan koreksi terhadap proses pengadaan yang terindikasi bermasalah, serta dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan.
Keempat, pemerintah perlu membangun dan menerapkan sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) yang aman dan independen. Sistem ini harus menjamin kerahasiaan pelapor serta memberikan perlindungan hukum terhadap ancaman atau intimidasi, sehingga ASN dan masyarakat berani melaporkan potensi konflik kepentingan atau penyimpangan dalam proses pengadaan.
Kelima, Penguatan ASN sebagai Kunci Pencegahan Konflik Kepentingan. Penguatan kapasitas dan integritas ASN merupakan langkah strategis dalam mencegah konflik kepentingan dalam pengadaan.
Pelatihan berkelanjutan tentang etika pengadaan, manajemen konflik kepentingan, dan antikorupsi perlu diberikan, terutama kepada ASN yang terlibat langsung dalam proses pengadaan. Selain itu, integritas harus menjadi bagian dari penilaian kinerja ASN, tidak hanya berdasarkan output, tetapi juga pada kualitas pengambilan keputusan.
Penerapan deklarasi konflik kepentingan dan LHKASN secara berkala wajib diperkuat, disertai dengan pengawasan internal yang transparan. Pembentukan agen perubahan dan unit integritas di setiap instansi juga akan membantu menumbuhkan budaya birokrasi yang bersih dan beretika. Dengan ASN yang kompeten dan berintegritas, tata kelola pengadaan yang bebas dari konflik kepentingan dapat diwujudkan secara berkelanjutan.
Dengan upaya yang menyeluruh dan terintegrasi ini, diharapkan konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa dapat diminimalisasi. Lebih dari itu, langkah-langkah ini juga menjadi pondasi untuk membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Titik Balik Reformasi Pengadaan
Konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah bukanlah isu yang bisa dianggap remeh atau diselesaikan semata-mata melalui regulasi formal. Meskipun Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2025 dan Permen PANRB No. 17 Tahun 2024 telah menggariskan prinsip-prinsip pengelolaan konflik kepentingan, kenyataan di lapangan menunjukkan masih lemahnya implementasi dan pengawasan.
Justru regulasi terbaru ini menimbulkan polemik karena memperluas ruang penunjukan langsung yang rawan disalahgunakan. Ketika celah-celah hukum dimanfaatkan demi kepentingan kelompok atau individu tertentu, maka integritas birokrasi dipertaruhkan. Regulasi kehilangan makna jika hanya menjadi simbol kepatuhan administratif tanpa diiringi budaya integritas yang kuat.
Lebih dari itu, perlu disadari bahwa pengadaan barang dan jasa bukan sekadar proses teknis, melainkan juga arena etika dan tanggung jawab publik. Penunjukan langsung yang dibungkus dalih “program prioritas Presiden” harus diawasi ketat agar tidak menjadi jalan pintas bagi praktik kolusi dan nepotisme.
Untuk itu, diperlukan sistem pengawasan yang transparan dan partisipatif, melibatkan lembaga pengawas independen, media, serta masyarakat sipil sebagai kontrol sosial. Aparat penegak hukum juga harus lebih proaktif dan independen dalam menindak setiap indikasi penyimpangan, tanpa pandang bulu.
Dengan kata lain, menyelesaikan persoalan konflik kepentingan dalam pengadaan tidak cukup hanya mengandalkan perubahan regulasi, tetapi juga menuntut perubahan budaya birokrasi dan komitmen nyata dari para pemangku kepentingan.
Jika tidak, maka peraturan-peraturan yang ada hanya akan menjadi ornamen legal tanpa daya cegah yang memadai. Momentum inilah yang semestinya dijadikan titik tolak untuk membangun tata kelola pengadaan yang bersih, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi. (*)