Mencari Tuhan di Layar Ponsel

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Ditulis oleh Femi Fauziah Alamsyah, M.Hum diterbitkan Minggu 20 Jul 2025, 11:57 WIB
Dua generasi, dua cara bermedia, satu kebutuhan yang sama mencari ketenangan, atau mungkin, mencari Tuhan. (Sumber: Unsplash/Yanping Ma)

Dua generasi, dua cara bermedia, satu kebutuhan yang sama mencari ketenangan, atau mungkin, mencari Tuhan. (Sumber: Unsplash/Yanping Ma)

Saya baru benar-benar menyadari bahwa ponsel bisa menjadi ruang spiritual ketika melihat ibu saya yang sedang kehilangan dompet, kemudian membuka YouTube dan memutar video bertajuk “Doa mencari barang yang hilang”.

Sambil mengulang lafaz, ia berharap dompetnya segera ditemukan. Di kamar sebelah, adik saya mendengarkan dzikir dari TikTok sembari rebahan, lalu menyimak konten motivasi Islami.

Dua generasi, dua cara bermedia, satu kebutuhan yang sama: mencari ketenangan, atau mungkin, mencari Tuhan.

Spiritualitas hari ini tidak lagi hanya hadir di ruang-ruang ibadah fisik, tetapi juga melalui layar ponsel. Kita bisa ikut kajian dari YouTube tanpa harus hadir langsung di masjid, berdzikir lewat podcast, atau membaca Al-Qur’an dari aplikasi dengan fitur langganan.

Transendensi kini juga hadir dalam bentuk yang streaming-friendly.

Digital Religion, Network Society, dan Mediasi Keberagamaan

Fenomena ini dalam studi mutakhir disebut sebagai digital religion, yakni bentuk keberagamaan yang tidak hanya dipindahkan ke medium digital, tetapi juga dibentuk dan dikonstruksi oleh logika platform digital itu sendiri (Campbell, 2013).

Ruang-ruang digital bukanlah ruang kosong yang netral. Ia memiliki algoritma, estetika, dan sistem nilai tertentu yang memengaruhi cara kita berinteraksi, termasuk dengan agama.

Dalam konteks network society sebagaimana dikemukakan Manuel Castells (2010), masyarakat saat ini hidup dalam jejaring yang terbentuk oleh arus informasi dan teknologi digital.

Agama pun masuk dalam ekosistem ini, akses terhadap pengalaman religius menjadi lebih fleksibel dan tersebar pada lintas batas geografis maupun institusi.

Praktik keagamaan tidak lagi terikat waktu dan tempat, melainkan terhubung melalui jaringan simbol dan identitas yang terus bergerak secara real-time. Artinya, pengalaman beragama kini tidak harus terjadi di tempat ibadah fisik seperti masjid, gereja, atau vihara, dan tidak harus berlangsung pada waktu-waktu khusus seperti hari Minggu atau waktu salat.

Dengan bantuan teknologi digital, seseorang bisa mengaji lewat aplikasi Al-Qur’an di pagi hari, ikut kajian virtual tengah malam, atau berdzikir lewat podcast sambil berjalan kaki.

Praktik keagamaan menjadi fleksibel, bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, selama ada koneksi internet dan perangkat digital.

Yang menyatukan bukan lagi ruang dan waktu, tapi simbol-simbol religius yang dibagikan, identitas keagamaan yang dibentuk secara daring, dan rasa keterhubungan spiritual melalui jejaring digital secara seketika.

Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube kini menjadi ruang populer untuk praktik keagamaan. Di sana, konten religi dikemas dengan visual menarik, backsound yang menenangkan, dan durasi yang ringkas.

Tagar seperti #muslimtiktok atau #islamicreminder telah mengumpulkan ribuan tayangan. Konten semacam ini memperluas akses terhadap nilai-nilai spiritual, terutama bagi generasi muda yang terbiasa menyerap informasi secara cepat dan visual.

Namun perkembangan ini bukan tanpa persoalan. Teknologi digital membawa serta budaya kecepatan dan konsumsi instan. Dalam konteks ini, pengalaman keagamaan berisiko menjadi simulasi, bukan kontemplasi.

Jean Baudrillard (1994), dalam teori simulacra, memperingatkan bahwa masyarakat modern sering terjebak dalam realitas semu yang diciptakan media. Doa menjadi tontonan, zikir menjadi latar reels, dan iman tereduksi menjadi performa yang bisa di-like dan di-share.

Komunitas Virtual dan Fragmentasi Sakralitas

Di balik konten-konten tersebut, terbentuk pula apa yang disebut virtual community. Komunitas ini tidak berbasis pada kedekatan fisik, tetapi pada keterhubungan simbolik dan afiliasi nilai.

Penelitian Cheong et al. (2012) menunjukkan bahwa komunitas digital bisa menjadi alternatif ruang religius yang berdaya. Bagi sebagian orang, ruang daring memberi rasa aman, otonomi, dan koneksi spiritual yang tak mereka temukan di ruang fisik.

Namun, komunitas virtual juga menghadirkan ambiguitas. Ia memadukan yang sakral dan profan dalam satu layar. Di sela murottal, kita bisa dengan mudah beralih ke video prank. Saat menonton tausiyah, notifikasi gosip selebriti tetap muncul.

Sakralitas menjadi terfragmentasi, saat seseorang mencoba mendekat kepada Tuhan lewat layar ponsel atau laptop, momen keheningan dan kekhusyukan itu sering terpecah oleh gangguan, seperti notifikasi masuk, pesan yang muncul, atau visual lain yang mengalihkan perhatian.

Akibatnya, pengalaman spiritual itu tidak lagi utuh dan mendalam seperti seharusnya.  Inilah paradoks spiritualitas digital: ia sangat mudah diakses, tapi juga sangat mudah terganggu.

Spiritualitas sebagai Komoditas di Era Komersialisasi Digital

Transendensi kini juga hadir dalam bentuk yang streaming-friendly. (Sumber: Pexels/Phạm Trọng Họ)
Transendensi kini juga hadir dalam bentuk yang streaming-friendly. (Sumber: Pexels/Phạm Trọng Họ)

Perkembangan spiritualitas digital tidak bisa dilepaskan dari logika pasar yang bekerja di balik layar platform. Dalam konteks ini, praktik keagamaan berisiko mengalami komodifikasi, yakni ketika nilai-nilai religius dikemas menjadi produk yang bisa dipasarkan, dipertontonkan, dan dimonetisasi.

Menurut Vincent Miller (2005) dalam bukunya Consuming Religion, budaya konsumsi modern telah mengubah agama menjadi objek gaya hidup.

Praktik keagamaan tidak lagi semata-mata soal makna dan kedalaman spiritual, tetapi juga tentang bagaimana ia dikemas secara visual dan disesuaikan dengan selera pasar.

Dalam media digital, hal ini semakin nyata, seperti konten dakwah yang viral, aplikasi meditasi berbayar, hingga influencer religi yang menawarkan "inspirasi" sekaligus iklan produk halal.

Fenomena ini juga berkaitan erat dengan apa yang disebut ekonomi perhatian (attention economy), konsep yang dijelaskan oleh Thomas H. Davenport dan John C. Beck (2001). Dalam ekonomi digital, perhatian menjadi sumber daya paling berharga.

Maka, konten spiritual pun ikut berlomba menarik perhatian, dengan desain estetik, durasi pendek, musik yang menyentuh, dan narasi yang mudah diklik dan dibagikan. Spiritualitas, dalam kondisi ini, rentan direduksi menjadi konsumsi cepat, lebih untuk dinikmati sesaat daripada direnungi mendalam.

Situasi ini menempatkan kita dalam posisi dilematis. Di satu sisi, digitalisasi membuka ruang dakwah yang luas dan inklusif. Tapi di sisi lain, ia juga mendorong transformasi agama menjadi komoditas simbolik, seperti dikemukakan oleh Adam Possamai (2005) dalam gagasan hyper-real religion.

Ia menjelaskan bahwa dalam masyarakat yang dibentuk media, pengalaman religius bisa digantikan oleh simbol-simbol spiritual yang dibuat sesuai kebutuhan pasar, bukan berdasarkan ajaran otentik.

Dengan kata lain, konten keagamaan bisa tetap terlihat religius, tetapi maknanya perlahan dikendalikan oleh algoritma, preferensi pasar, dan logika branding. Semakin tinggi engagement, semakin dianggap “berhasil.” Padahal, kedalaman spiritual tidak selalu sejalan dengan seberapa sering konten itu dibagikan.

Menuju Spiritualitas yang Sadar Digital

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya bukan menolak teknologi, melainkan menjadi sadar digital. Sadar bahwa layar adalah alat, bukan tempat tinggal spiritual. Sadar bahwa konten religi yang menyentuh hati belum tentu mendalam. Dan sadar bahwa like atau share bukanlah indikator kualitas keimanan.

Kita bisa memulai dari praktik kecil, misalnya menonton kajian tanpa multitasking, berdzikir tanpa scroll, atau mematikan notifikasi saat ingin hening.

Mencari Tuhan di layar ponsel adalah refleksi zaman kita, zaman yang penuh kemudahan, tapi juga kebingungan. Di balik tayangan religius yang viral, banyak orang sebenarnya sedang mencari ketenangan cepat, bukan kedalaman iman.

Layar digital dapat menjadi sarana akses menuju nilai-nilai spiritual, tetapi ia bukan tujuan akhir dari pengalaman keagamaan itu sendiri. Ia memfasilitasi, namun tidak menggantikan ruang batin tempat makna spiritual sebenarnya dibangun.

Dalam kondisi digital yang serba cepat dan penuh distraksi, momen hening tanpa layar justru menjadi ruang penting untuk memperdalam refleksi dan keterhubungan dengan yang transenden. (*)

Disclaimer

Tulisan ini merupakan artikel opini yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan organisasi dan redaksi AyoBandung.id.

Femi  Fauziah Alamsyah, M.Hum
Peminat Kajian Budaya dan Media, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung, Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Nilai artikel ini
Klik bintang untuk menilai

News Update

Ayo Biz 08 Sep 2025, 13:02 WIB

Hanya Buka di Malam Hari, Pelanggan Nasi Kuning Pungkur Ngantre Sampai Subuh

Jika biasanya nasi kuning identik dengan sarapan pagi, lain halnya dengan warung kaki lima yang satu ini. Warung Nasi Kuning Pungkur, yang berlokasi di Jalan Pungkur No. 216, Kota Bandung, justru baru
Nasi Kuning Pungkur (Foto: GMAPS)
Ayo Jelajah 08 Sep 2025, 12:22 WIB

Sejarah Stadion GBLA, Panggung Kontroversi yang Hampir Dinamai Gelora Dada Rosada

Stadion Gelora Bandung Lautan Api lahir dengan ambisi besar untuk menjadi kandang Persib, namun sejak awal pembangunannya sudah penuh polemik, dari kasus korupsi, kerusakan, hingga tragedi suporter.
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) Gedebage yang diproyeksikan jadi kandang Persib.
Ayo Biz 08 Sep 2025, 12:06 WIB

Kisah Panjang Pampam Craft, Kerajinan Rajut yang Muncul dari Kecintaan Terhadap Seni

Di balik setiap helai benang yang terjalin menjadi boneka, tas, atau gantungan kunci, tersimpan kisah panjang tentang kecintaan pada seni rajut. Itulah yang melahirkan Pampam Craft, usaha rajutan yang
Minishop Pampam Craft dan Owner Pampam Craft, Defrina Miftahurrahma. (Foto: Rizma Riyandi)
Ayo Netizen 08 Sep 2025, 12:03 WIB

Mengintip Koleksi Buku Internasional di Festival Big Bad Wolf (BBW) Bandung Barat

Festival Big Bad Wolf merupakan pameran buku internasional yang diselenggarakan di Bandung mulai dari 28 Agustus 2025- 07 September 2025.
Festival BBW Bandung 2025 di Parahyangan Convention (Sumber: Dokumentasi Penulis | Foto: Dias Ashari)
Beranda 08 Sep 2025, 10:15 WIB

Adaptasi Jadi Kunci Hadapi Krisis Iklim: Mulai Kebijakan Global hingga Gotong Royong Masyarakat Lokal

Adaptasi adalah upaya untuk mempersiapkan dan menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim yang sudah terjadi atau yang akan datang.
Siswa SD Darul Hikam Bandung memperingati Hari Bumi 2024 dengan aksi nyata menanam pohon di kawasan Dago Giri. Kegiatan kongkret berperan penting menyerap karbon.
Ayo Netizen 08 Sep 2025, 09:46 WIB

Dialog dengan Cermin: Saat Mesin Mempertanyakan Hakikat Kita

Opini ini menengok kembali derasnya perkembangan kecerdasan buatan yang kini semakin memudarkan sisi kemanusiaan kita.
Ilustrasi teknologi canggih masa kini. (Sumber: Pexels/cottonbro studio)
Ayo Biz 08 Sep 2025, 07:25 WIB

Celana Jeans Ternyata Tidak Dibuat untuk Bergaya

Celana jeans pada dasarnya berfungsi sebagai pakaian bawahan yang nyaman, kuat, dan praktis untuk digunakan sehari-hari.
Foto produk Levi's. (Foto: Levi's)
Ayo Netizen 07 Sep 2025, 19:01 WIB

Bubur Ayam Gang Irit, Roti Cari Rasa Kosambi, dan Kenangan Masa SMA

Berbicara tentang kuliner roti dan bubur ayam legendaris saya selalu teringat saat masa-masa indah SMA dulu, tahun 1986-1988.
Roti Bumbu Cari Rasa di dekat Pasar Kosambi, Kota Bandung. (Sumber: Pemerintah Kota Bandung)
Ayo Biz 07 Sep 2025, 18:20 WIB

Jurig Jadi Cuannya: Cosplay Horor di Ruang Publik, Antara Hiburan dan Peluang Bisnis Kreatif

Di balik kostum dan riasan menyeramkan, ada komunitas kreatif yang menjadikan cosplay sebagai medium ekspresi sekaligus peluang ekonomi.
Di balik kostum dan riasan menyeramkan, ada komunitas kreatif yang menjadikan cosplay sebagai medium ekspresi sekaligus peluang ekonomi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 07 Sep 2025, 16:48 WIB

Treat a Cup Menyulap Minuman Sehat Jadi Gaya Hidup Baru Anak Muda Bandung

Treat a Cup hadir bukan hanya sebagai tempat ngopi, tapi sebagai brand yang merangkul tren hidup sehat dengan cara yang menyenangkan dan tetap kekinian.
Treat a Cup hadir bukan hanya sebagai tempat ngopi, tapi sebagai brand yang merangkul tren hidup sehat dengan cara yang menyenangkan dan tetap kekinian. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Biz 07 Sep 2025, 14:14 WIB

Bandung dari Lensa Kamera: Sarae Hills dan Fenomena Wisata Instagrammable

Wisata swafoto telah menjadi fenomena sosial yang tak bisa diabaikan. Generasi muda menjadikan estetika visual sebagai bagian penting dari pengalaman berwisata.
Sarae Hills destinasi wisata yang tidak hanya indah, tapi juga Instagrammable. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)
Ayo Netizen 07 Sep 2025, 11:27 WIB

Ci Sanggiri Sungai yang Menggentarkan

Ci Sanggiri, aliran sungai di lembah rangkaian pegunungan selatan yang berarus deras, di aliran sungai yang lebar dan dalam.
Tempuran Ci Hurip (kiri) dengan Ci Sanggiri (kanan). (Sumber: Citra satelit: Google maps)
Ayo Jelajah 07 Sep 2025, 10:41 WIB

Kisah Hidup Perempuan Penyintas HIV di Bandung, Bangkit dari Stigma dan Trauma

Kisah nyata tujuh perempuan penyintas HIV di Bandung memperlihatkan perjuangan melawan stigma sosial dan tantangan ekonomi.
Ilustrasi penyintas HIV. (Sumber: Shutterstock)
Ayo Netizen 07 Sep 2025, 07:35 WIB

Beban Ganda Perempuan dan Isu Fatherless lewat Film 'Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah'

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah merupakan film yang sedang tayang di bioskop yang mengangkat isu keluarga dan peran orangtua di dalam rumah.
Poster Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah (Sumber: Instagram | Rapi Films)
Ayo Netizen 06 Sep 2025, 18:59 WIB

Muludan, Rindu Rosul

Semua maha karya itu menegaskan satu kerinduan, kecintaan pada Rasulullah SAW tak pernah lekang dimakan zaman.
Suasana malam di Masjid Raya Al Jabbar. (Sumber: Ayobandung.com | Foto: Irfan Al-Faritsi)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 11:39 WIB

Kenapa Harus Pakai Earphone Bagus?

Earphone adalah perangkat audio kecil yang digunakan dengan cara ditempelkan atau dimasukkan ke dalam telinga untuk mendengarkan suara secara pribadi.
Ilustrasi foto Earphone (Foto: Pixabay)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 10:34 WIB

Kopi Toko Tua, Bukan Hanya Sekedar Tempat Ngopi di Braga

Di tengah padatnya aktivitas Kota Bandung, ada satu tempat yang bisa membuatmu merasa seperti kembali ke masa lalu. Kopi Toko Tua, sebuah kafe bergaya kolonial, menghadirkan suasana vintage yang hanga
Kopi Toko Tua (Foto: GMAPS)
Ayo Biz 06 Sep 2025, 09:38 WIB

Opak Linggar, Cemilan Tradisional dari Rancaekek

Pencinta kuliner khas Sunda baiknya melirik kudapan sederhana yang masih bertahan di tengah gempuran camilan modern. Namanya Opak Linggar, jajanan tradisional yang diproduksi di Linggar, Rancaekek
Ilustrasi Foto Opak Linggar. (Foto: GMAPS)
Ayo Netizen 05 Sep 2025, 19:28 WIB

10 Netizen Terbaik Agustus 2025 dengan Total Hadiah Rp1,5 Juta

Ayobandung.id dengan bangga mengumumkan 10 netizen terpilih dengan kontribusi terbaik di kanal AYO NETIZEN sepanjang Agustus 2025.
Ayobandung.id dengan bangga mengumumkan 10 netizen terpilih dengan kontribusi terbaik di kanal AYO NETIZEN sepanjang Agustus 2025. (Sumber: Unsplash/Bram Naus)
Ayo Biz 05 Sep 2025, 18:42 WIB

Lisung Dulang Resto Menyuguhkan Strategi Etnik di Tengah Tren Wedding Resto Bandung

Di tengah lanskap yang penuh inovasi, Lisung Dulang Resto tampil sebagai salah satu pelaku usaha yang mampu bertahan dan beradaptasi.
Di tengah lanskap yang penuh inovasi, Lisung Dulang Resto tampil sebagai salah satu pelaku usaha yang mampu bertahan dan beradaptasi. (Sumber: Ayobandung.id | Foto: Eneng Reni Nuraisyah Jamil)