AYOBANDUNG.ID - Orang sering mengenal Paseh hanya sebagai kawasan di Bandung Timur yang dipenuhi pabrik tekstil. Padahal, sebelum suara mesin pemintal benang mengisi udara, wilayah ini lebih dulu mengalir sebagai bagian penting Priangan lama. Paseh pernah menjadi lintasan pelancong kolonial, tanah subur incaran Preanger Planters, dan ruang hidup desa-desa Sunda yang tumbuh mengikuti aliran sungai.
Pada masa Hindia Belanda, pemerintah kolonial memandang wilayah Priangan sebagai mesin uang yang tidak boleh macet. Tanahnya subur, musimnya ramah, dan airnya berlimpah. Tak heran banyak perkebunan teh, kopi, dan kina bermunculan.
Di tengah geliat itu, Paseh ikut kebagian perhatian. Desa Loa di Kecamatan Paseh disebut terbentuk sejak zaman kolonial Belanda sekitar tahun 1890-an, menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-19 kawasan Paseh sudah mulai berkembang sebagai wilayah pemukiman yang terorganisir. Nama-nama desa di Paseh seperti Cipaku, Cipedes, Cigentur, dan lainnya mencerminkan tradisi penamaan Sunda yang khas, dengan penggunaan kata "Ci" yang berarti air atau sungai dalam bahasa Sunda, menunjukkan bahwa kawasan ini kaya akan sumber air.
Baca Juga: Hikayat Banjaran, dari Serambi Priangan ke Simpang Tiga Zaman Bandung
Berdasarkan cerita orang tua-tua, Desa Cipedes telah terbentuk sejak zaman penjajahan Belanda, bahkan beberapa puluh tahun sebelum 1900. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur pemerintahan desa di Paseh sudah mulai terbentuk pada paruh kedua abad ke-19, sejalan dengan sistem administrasi kolonial yang diterapkan pemerintah Belanda di Jawa.
Kehidupan desa pada abad ke-19 terus berkembang seiring struktur administratif kolonial. Penduduk dicatat, batas wilayah ditetapkan, dan pusat ekonomi baru bermunculan. Bahkan organisasi Bandoeng Vooruit ikut membangun jalan menuju Kawah Kamojan, menjadikan Paseh bagian dari rencana pengembangan pariwisata kolonial.
Paseh dalam Catatan Wisata Kolonial
Gambaran paling hidup tentang Paseh pada awal abad ke-20 bisa ditemukan dalam Gids van Bandoeng en Midden-Priangan tulisan Steven Anne Reitsma tahun 1927. Panduan itu memberikan cerita perjalanan yang begitu rinci, sampai-sampai pembacanya seolah ikut berada di dalam kereta kuda yang berangkat dari Bandung pada pukul setengah enam pagi.
Rutenya dimulai dari sisi barat lapangan pacuan lalu menuju Bandjaran. Udara masih dingin sehingga Reitsma menyarankan membawa mantel atau selimut. Perjalanan kemudian melewati Sangkoeriang, Dayeuhkolot dengan pusat tenaga uapnya, hingga jembatan di atas Citarum. Setelah itu, jalur membelok menuju Ciparay dan Majalaya, mengikuti rel trem yang menembus kawasan makmur dengan sumber air berlimpah.
Baca Juga: Hikayat Cileunyi, Kampung Sunyi yang jadi Kawasan Sibuk di Bandung Timur
Dari Majalaya, pelancong diarahkan ke jalan pegunungan yang lebih sempit. Reitsma menyebut bahwa perjalanan menuju Paseh sangat indah. Sungai Citarum terlihat berbuih di kejauhan, jembatan besar dan aquaduct berdiri megah sebagai bukti kerja kolonial, dan instalasi irigasi Tjikaso menjaga aliran air tetap stabil. Sekitar pukul tujuh pagi, rombongan sudah sampai di pasanggrahan Paseh.
Setiba di sana, panduan itu menyarankan pelancong segera memesan makan siang kepada mandoer. Bila butuh kuda atau tandu, bantuan bisa diminta kepada camat. Dari Paseh yang berada sekitar 3000 kaki di atas permukaan laut, jalan menanjak menuju Gunung Guntur. Pemandangannya terbuka lebar: hamparan Citarum, Cikudapateuh, Ujungberung, hingga Cicalengka terlihat jelas. Setelah mendaki cukup tinggi, pelancong memasuki bekas perkebunan kopi yang sudah kembali menjadi rimbunan vegetasi alami. Reitsma juga mengingatkan bahwa siapa pun yang ingin bermalam di Paseh harus mengajukan permohonan ke Bupati Bandung terlebih dahulu.
Baca Juga: Sejarah Soreang dari Tapak Pengelana hingga jadi Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung

Jadi Sentra Tekstil
Paseh mengalami perubahan besar pada abad ke-20 ketika tekstil mulai menjadi tulang punggung ekonomi Bandung Raya. Perkembangan ini tidak lepas dari berdirinya Textiel Inrichting Bandoeng (TIB) pada 1922. Lembaga itu dibangun untuk memodernisasi industri tekstil rakyat melalui pelatihan dan penelitian.
Empat perempuan dari Majalaya kemudian dikirim untuk mempelajari teknik ATBM Dalenoord pada 1928. Keahlian mereka menyebar seperti riak air, membangkitkan sentra tenun rakyat yang kemudian membesar menjadi industri tekstil Priangan.
Pada 1970 sampai 1990-an, industri tekstil Indonesia memasuki masa keemasan. Paseh ikut merasakan lonjakannya. Pabrik-pabrik muncul, lapangan kerja tumbuh, dan masyarakat yang sebelumnya agraris beralih ke dunia industri. Struktur sosial berubah, cara hidup berubah, dan ritme desa pun mulai mengikuti shift kerja.
Walau industri berkembang, identitas budaya Sunda masih kuat. Di Cipaku terdapat makam keramat Panjalu, Buyut Narsipan, dan Gajah Lumayung yang terus diziarahi. Di Kampung Pabeyan, kerajinan teko tanah liat masih bertahan meski jumlah pengrajinnya menyusut. Tradisi itu menjadi pengingat bahwa Paseh tidak sepenuhnya larut dalam modernisasi.
Baca Juga: Bandung Teknopolis di Gedebage, Proyek Gagal yang Tinggal Sejarah
Kini Paseh dikenal sebagai kawasan industri, tetapi riwayatnya jauh lebih panjang daripada sekadar deretan pabrik. Dari tanah subur Priangan, rute wisata kolonial ala Reitsma, sampai modernisasi tekstil, Paseh membentuk dirinya melalui banyak zaman. Setiap lapisan sejarahnya masih bisa ditemukan bagi siapa pun yang mau melihatnya dengan lebih perlahan, mengikuti alur cerita Citarum yang tak pernah berhenti mengalir.
