Di Bandung, kota yang selama bertahun-tahun membanggakan diri sebagai pusat kreativitas dan gagasan progresif, kini sedang terjadi sebuah gejala yang mengguncang fondasi etika kebudayaan kita. Setelah Sawala Budaya 2024 - sebuah forum terbuka yang disepakati bersama, dijalankan secara demokratis, dan menghasilkan tujuh Dewan Kebudayaan Kota Bandung (DKKB) yang sah - muncul kelompok-kelompok kecil yang menolak hasil tersebut hanya karena nama-nama yang terpilih tidak sesuai dengan ekspektasi politik mereka. Bukan karena prosesnya cacat. Bukan karena ada penyimpangan etik. Tetapi karena kota ini, melalui forum warganya, tidak memilih orang-orang “aman”, “strategis”, atau akrab dengan orbit kekuasaan.
Inilah bentuk paling telanjang dari ketidakdewasaan politik budaya. Jika sebuah proses yang sah dan demokratis dapat diringkus oleh opini segelintir elite yang tidak mampu menerima kenyataan, maka apa yang sejatinya penting dalam budaya sesungguhnya telah kehilangan maknanya. Para anggota DKKB yang terpilih akhirnya memilih mengundurkan diri pada Nyawalakeun Budaya 2025. Keputusan itu tentu dapat dibaca sebagai sikap etis pribadi, tetapi sekaligus menjadi cermin dari betapa rapuhnya ruang kebudayaan kita ketika berhadapan dengan tekanan eksternal.
Namun, di balik gejolak itu, Sawala Kota Bandung 2025 tetap menghasilkan rumusan-rumusan penting berkat kerja keras para peserta selama dua hari penuh. Perumusan itu lahir dari keseriusan warga, akademisi, pelaku seni, dan penggerak komunitas dalam memikirkan arah kebijakan kebudayaan kota ke depan. Karena itu, mundurnya struktur DKKB tidak seharusnya menggugurkan hasil forum. Justru sebaliknya: mundurnya para pengurus di akhir proses membuka ruang bagi potensi pencatutan, perebutan agenda, atau manipulasi kepentingan oleh pihak-pihak yang tidak mewakili forum.
Sikap yang muncul di dua sisi ini mencerminkan ketegangan mendalam dalam kebudayaan kita. Di satu sisi, terdapat upaya membangun kebudayaan yang demokratis, partisipatif, dan mengakar pada warga. Di sisi lain, masih kuat kecenderungan mempertahankan budaya sebagai komoditas kekuasaan ataupun bagian dari orientasi ekonomi, terutama ketika sebagian pelaku seni masih memaknai kebudayaan sebagai perpanjangan tangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan sebagai tanggung jawab moral membentuk karakter warga.
Di sinilah problem kebudayaan Kota Bandung mengeras: di tengah krisis moral pemerintahan dan lemahnya etika publik, orientasi kebudayaan pun ikut terjerembab, bergerak semakin jauh dari esensinya sebagai sumber nilai, welas asih, dan kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Kebudayaan dan Krisis Moral Kota
Sulit menutup mata terhadap kenyataan bahwa Kota Bandung sedang berada dalam krisis moral yang nyata. Wakil Wali Kota telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan jabatan - sebuah tanda merosotnya integritas pejabat publik. Di berbagai sektor lain, praktik culas, penyalahgunaan wewenang, dan pola kerja yang tidak jujur terus mencoreng wajah pemerintahan kota. Sementara itu, warga masih harus berhadapan dengan persoalan sampah yang tidak selesai, banjir yang semakin mengancam, hingga pelanggaran-pelanggaran HAM yang muncul pada beberapa peristiwa terakhir. Kesemuanya merupakan indikator betapa rapuhnya nilai-nilai dasar yang seharusnya menopang kehidupan kota.
Dalam konteks seperti inilah fungsi lain Dewan Kebudayaan seharusnya dimaknai. DKKB bukan hanya lembaga seremonial yang tugasnya membuat acara atau menghabiskan anggaran. Ia memiliki mandat moral sebagai penjaga nalar publik, penjaga etika bersama, dan - dalam kondisi tertentu - menjadi salah satu fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan. Kehadirannya diperlukan justru ketika negara atau pemerintah kota mengalami kepincangan nilai. Ketika kebijakan-kebijakan mulai melenceng dari kepentingan sosial, budaya, atau ekologis, Dewan Kebudayaan adalah ruang warga untuk mengingatkan, menegur, dan bahkan mengoreksi arah.
Sawala 2025, dalam pandangan saya, harus dipahami sebagai semacam moncong meriam yang diarahkan bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menggugah pusat kekuasaan kota Bandung agar memiliki keberanian membersihkan tubuhnya. Kebudayaan bukan sekadar panggung pertunjukan, melainkan kerja panjang pembentukan karakter kolektif. Kebudayaan yang sehat seharusnya melahirkan pemerintahan yang adil, kebijakan yang berpihak pada lingkungan, dan struktur sosial yang tidak meminggirkan.
Jika kebudayaan berfungsi sebagaimana mestinya, ia akan menjadi ruang moral yang mampu mengimbangi kekuasaan. Dan justru karena itulah, konflik yang muncul pasca Sawala Budaya 2024 bukanlah persoalan teknis belaka, tetapi menyentuh inti dari persoalan kebudayaan kita: apakah kita mau membangun kebudayaan yang mandiri, kritis, dan berani menyuarakan kebenaran ? Atau kita terus mempertahankan kebudayaan yang jinak, patuh pada kepentingan PAD, dan sibuk melayani estetika formal tetapi jauh dari nurani warga kota?
Dua Pandangan, Dua Jalan Kebudayaan
Peristiwa pasca Sawala Budaya 2024 memperlihatkan bagaimana kebudayaan di Bandung tengah berhadapan dengan dua arus kepentingan yang sama-sama membawa konsekuensi etis bagi masa depan kota. Di satu sisi, terdapat keberanian moral forum warga yang menegaskan bahwa proses demokratis harus dihormati. Intervensi segelintir kelompok yang menolak hasil Sawala bukan hanya mengingkari kesepakatan bersama, tetapi juga menunjukkan ketidakdewasaan politik budaya yang membahayakan keberlangsungan ruang kesenian dan kolektivitas warga.
Di sisi lain, keputusan pengurus DKKB untuk mengundurkan diri setelah seluruh proses forum rampung turut menimbulkan persoalan baru. Ruang kosong yang ditinggalkan membuka celah bagi pihak yang berkepentingan untuk mengambil alih hasil, agenda, atau legitimasi forum tanpa harus berhadapan dengan proses deliberatif yang melelahkan namun esensial. Sikap ini, bagaimanapun juga dipahami motifnya, tetap meninggalkan kegamangan di antara peserta yang telah bekerja keras menyusun rekomendasi.
Namun inti persoalannya bukan memilih siapa yang sepenuhnya benar atau keliru. Yang lebih mendasar adalah menyadari bahwa kebudayaan Bandung sedang berada pada titik genting: apakah ia akan berdiri sebagai ruang moral yang menjaga integritas publik, atau kembali jatuh menjadi perpanjangan tangan politik praktis dan kepentingan PAD. Jalan pertama menuntut keberanian, kesabaran, dan komitmen terhadap proses yang demokratis. Jalan kedua, meskipun tampak pragmatis, pada akhirnya hanya akan mengulang siklus ketergantungan dan membuat kebudayaan kehilangan keberpihakan terhadap warga.
Yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar mencari pembenaran di tengah perbedaan pandangan, tetapi membangun kesadaran bersama bahwa masa depan kebudayaan kota hanya dapat dijaga jika kita menempatkan nilai - bukan kedekatan politik atau kepentingan ekonomi - sebagai fondasi. Bandung membutuhkan kebudayaan yang hidup dari keberanian warga, bukan dari kenyamanan kekuasaan.
Paradigma Kebudayaan yang Menyempit
Di luar persoalan Sawala, ada satu problem yang jauh lebih struktural dan sudah berlangsung lama: sebagian pelaku budaya di Bandung masih melihat kebudayaan sebagai sumber PAD, bukan sebagai ruang pembentukan karakter warga. Paradigma ini bukan hanya sempit, tetapi juga berbahaya. Ia menjadikan kebudayaan sebagai industri yang mengabdi pada target-target ekonomi, bukan sebagai ruang penciptaan makna dan nilai.
Ketika kebudayaan dipersempit menjadi urusan pemasukan anggaran daerah, yang hilang bukan hanya etika, tetapi substansi kebudayaan itu sendiri. Kita lupa bahwa kebudayaan adalah fondasi dari seluruh bangunan kehidupan kota—dari etika publik hingga cara kita memperlakukan alam, sesama, dan masa depan. Kota yang menjadikan kebudayaan sebagai komoditas semata akan kehilangan daya kritisnya. Ia mungkin ramai oleh festival, tetapi sepi oleh gagasan dan refleksi.
Padahal Bandung memiliki sejarah panjang sebagai ruang intelektual, ruang eksperimental, ruang pertemuan gagasan. Bandung dulu menjadi kota di mana seni bukan sekadar tontonan, tetapi bahasa kegelisahan moral. Kini, ketika krisis moral melanda pemerintahan kota, kebudayaan seharusnya kembali menjadi ruang pembentuk etika bersama. Tetapi bagaimana mungkin itu terjadi jika sebagian pelaku budayanya sendiri lebih sibuk mengejar peluang proyek dan PAD ?
Kebudayaan sebagai Jalan Pemulihan Kota
Dalam situasi seperti ini, tugas kita adalah memastikan agar Sawala Budaya 2025 tidak berubah menjadi ruang kosong atau alat kepentingan. Sawala harus menjadi momentum untuk merebut kembali martabat kebudayaan kota - sebagai sumber kesadaran, refleksi, dan spiritualitas publik.
Kita perlu mengingatkan bahwa kebudayaan bukan hanya milik seniman atau pejabat dinas, melainkan milik warga kota. Ia adalah jaringan nilai yang menuntun kita pada keputusan-keputusan bermakna: bagaimana memperlakukan sungai, bagaimana memandang ruang publik, bagaimana mengelola sampah, bagaimana menyusun kebijakan yang tidak melukai yang lemah. Kebudayaan yang kuat akan melahirkan pemerintahan yang lebih bersih, masyarakat yang lebih kritis, dan kota yang lebih manusiawi.
Dalam suasana kota Bandung yang sedang dilanda krisis moral, banjir, sampah, dan berbagai pelanggaran HAM, kebudayaan justru seharusnya tampil sebagai ruang keberanian moral terakhir yang kita miliki. Sawala 2025, dalam bentuknya yang paling luhur, adalah panggilan untuk itu: sebuah seruan agar kebudayaan tidak tunduk pada pragmatisme, tetapi menjadi kekuatan transformasi.
Baca Juga: Krisis Tempat Parkir di Kota Bandung Memicu Maraknya Parkir Liar
Menutup: Sebuah Ajakan Kesadaran
Pada akhirnya, persoalan kebudayaan di Bandung bukan hanya soal siapa yang duduk di DKKB, siapa yang sah, siapa yang menolak, atau siapa yang mundur. Itu semua hanyalah permukaan dari persoalan yang jauh lebih dalam: Apakah kita ingin kebudayaan yang menjaga martabat kota, atau kebudayaan yang melayani kenyamanan kekuasaan?
Kita sedang berdiri di tengah jurang nilai, dan hanya kebudayaan yang reflektif dan berani yang dapat menuntun kita kembali. Kita memerlukan DKKB yang tidak jinak, tidak tunduk, dan tidak terkooptasi. Kita memerlukan pelaku budaya yang tidak hanya sibuk dengan panggung, tetapi juga peduli pada keberadaban kota. Kita memerlukan pemerintah kota yang menyadari bahwa kebudayaan bukan ornamen, tetapi fondasi moral.
Karena pada akhirnya, kota yang kehilangan kebudayaannya bukan hanya kehilangan masa lalu, tetapi kehilangan masa depan. (*)
