Pak Farhan, Bandung sedang sibuk menata wajah kota, namun lupa menata nasib warganya yang tidur di trotoar. Di saat gedung baru dan kafe terus bermunculan, selimut karton masih menjadi atap banyak orang di sudut-sudut jalan. Mereka ikut membayar harga mahal urbanisasi, tetapi tak pernah diajak bicara soal masa depan kota. Pertanyaannya sederhana: untuk siapa sebenarnya Bandung dibangun hari ini.
Selama satu tahun kepemimpinan Anda, homeless masih dipandang sebagai masalah ketertiban, bukan korban ketidakadilan struktural. Operasi penertiban lebih sering terdengar dibanding kabar kebijakan yang benar-benar mengangkat mereka dari jalanan. Tubuh-tubuh lelah itu digeser dari satu sudut kota ke sudut lain, seolah hanya noda di atas kanvas pariwisata. Kota tampak bersih di foto, namun semakin kejam bagi mereka yang tak punya alamat.
Kota yang Anda janjikan akan inklusif, memilih siapa yang diterima dan siapa yang tidak. Meskipun istilah kelompok rentan sering di gaungkan di ruang rapat, nyatanya di jalanan mereka menghadapi razia, stigma, dan pandangan curiga. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal hanya muncul sebagai angka, bukan individu yang memiliki sejarah, luka, dan harapan.
Pak Farhan, tanpa data terbuka dan jujur tentang jumlah serta kondisi warga tanpa rumah, publik sulit mengawasi janji-janji Bapak. Transparansi bukan sekadar unggahan infografik, tetapi kesediaan membuka angka yang mungkin memalukan bagi pemerintah. Warga perlu tahu berapa yang sudah dijangkau, berapa yang kembali ke jalan, dan apa yang salah dari program sebelumnya. Tanpa itu, slogan keadilan sosial hanya jadi kalimat manis di baliho kota.
Di saat anggaran kota mengalir deras untuk event, festival, dan proyek beraroma selfie, rumah singgah masih terbatas dan layanan psikososial minim. Kebijakan seperti ini memberi sinyal jelas bahwa hak hidup layak warga paling miskin kalah penting dibanding pesta ruang publik. Sementara, sebagian besar penduduknya hanya menjadi bayangan di belakang panggung, Bandung dipromosikan sebagai destinasi. Inilah wajah ketimpangan yang lahir dari pilihan politik, bukan kebetulan.
Lebih parah lagi, mereka yang hidup atau pernah hidup di jalan hampir tak pernah duduk setara di meja perumusan kebijakan. Suara mereka disaring lewat laporan, bukan diundang sebagai saksi langsung atas kegagalan sistem. Kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang terdampak hanya akan mengulangi pola kekerasan yang sama. Kota kehilangan kompas moralnya ketika tidak memberikan kesempatan untuk berbicara.
Namun, pada saat inilah Bapak memiliki kesempatan untuk mengubah tujuan dan menjadikan janji "Bandung inklusif" menjadi kenyataan. Mulailah dengan mengakui orang yang tidak memiliki tempat tinggal sebagai warga kota yang berhak atas hak penuh atas hunian, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang bermartabat. Mengubah bahasa pejabat dan aparat dari "penertiban gelandangan" menjadi "pemenuhan hak warga tanpa rumah". Bahasa menunjukkan kepedulian, dan warga dapat merasakannya.
Tidak hanya sekedar program musiman ini harus memiliki rencana tindakan yang jelas, terukur, dan dapat diawasi oleh masyarakat. Tetapkan target tahunan, berapa orang yang harus keluar dari jalan secara permanen, bukan hanya terjaring razia. Sertakan rencana anggaran yang berani, karena keadilan sosial tidak lahir dari sisa-sisa dana proyek infrastruktur. Undang akademisi, organisasi akar rumput, dan komunitas pendamping jalanan untuk menguji rencana itu bersama-sama.
Pak Farhan, ubah pendekatan pembinaan menjadi pemberdayaan yang sungguh-sungguh membuka pintu keluar dari kemiskinan. Rumah singgah harus menjadi awal perjalanan, bukan ruang tunggu sebelum seseorang kembali ke trotoar. Berikan pelatihan keterampilan yang relevan, akses kerja dengan upah layak, dan pendampingan intensif hingga mereka benar-benar mandiri. Kota adil adalah kota yang berani menginvestasikan anggaran pada manusia, bukan hanya beton.
Selain itu, kebijakan perumahan harus beralih dari perspektif pasar penuh untuk memprioritaskan kelas pekerja miskin dan penduduk tanpa rumah. Bandung memiliki kesempatan untuk memulai model housing first versi lokal dengan memberikan hak dasar untuk hunian yang sederhana, aman, dan terjangkau. Selanjutnya, gabungkan layanan kesehatan, konseling, bantuan hukum, dan dukungan sosial lainnya. Tanpa atap yang pasti, semua program lain hanya akan berputar di lingkaran kegagalan.
Baca Juga: Ini Titik-Titik Kemacetan di Kota Bandung menurut Wali Kota Farhan: Mana Tata Kelolanya?
Jangan curigai solidaritas warga yang turun langsung membantu masyarakat jalanan, rangkul mereka sebagai mitra politik kesejahteraan. Inisiatif komunitas membagikan makanan, mengelola dapur umum, atau menyediakan ruang aman adalah modal sosial berharga. Pemerintah kota bisa membangun skema kolaborasi yang melindungi mereka dari kriminalisasi dan memperkuat jaring pengaman. Kota yang sehat adalah kota yang memberi ruang bagi warganya untuk saling menjaga, bukan melarang.
Pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat betapa ramainya festival atau seberapa terang lampu kota. Sejarah akan menilai apakah masa jabatan Bapak membuat Bandung menjadi rumah yang layak bagi mereka yang sebelumnya tak punya rumah. Bapak bisa memilih menjadi wali kota yang merapikan kota demi wisatawan, atau pemimpin yang merapikan kota demi warganya sendiri. Jika Bapak berpihak pada yang paling rentan hari ini, nama Bapak akan diingat bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai sesama warga yang berani melawan ketidakadilan. (*)
