Rasanya lelah ketika kota yang menjadi tempat kelahiran kita dipimpin oleh mereka yang selalu kehilangan arah. Dari mereka yang dahulunya menjadi calon pemimpin Kota Bandung meneriakkan segala visi dan misinya yang indah itu. Berjanji akan menyelesaikan permasalahan kompleks yang Kota Bandung alami sejak lama yaitu banjir, permasalahan sampah hingga kemacetan. Janji hanya sekedar janji tanpa aksi nyata kecil yang dimulai sejak dini.
Kejemuan akan masa kampanye yang berulang dengan pola yang sama--nyatanya masih bisa memikat hati masyarakat secara luas. Selalu ada harapan kecil dari hati masyarakat bahwa para pemimpin yang baru akan membuat perubahan--meski hanya sedikit. Namun lagi dan lagi masyarakat selalu menjadi korban yang dikhianati.
Setelah mendengar kabar bahwa Wakil Wali Kota Bandung, Erwin telah ditetapkan menjadi tersangka korupsi dalam kasus jual beli jabatan di Pemkot Bandung--pupus sudah harapan Bandung untuk bisa menjadi kota yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Tak hanya itu berita ini juga ikut mencederai Visi-Misi dari Farhan-Erwin "Mewujudkan Kota Bandung yang Unggul, Terbuka, Amanah, Maju dan Agamis melalui pemerintahan yang berorientasi melayani serta berkelanjutan dalam mendukung pembangunan nasional".
Bandung semakin semrawut dalam 10 bulan kinerja pemerintahan Kota Bandung yang baru. Permasalahan sampah yang kian pelik, kondisi banjir yang sudah meluas ketika musim penghujan hingga kemacetan yang kerap menghantui setiap harinya.
Volume Sampah yang Kian Meningkat
Sampah menjadi masalah krusial yang dihadapi oleh masyarakat Kota Bandung. Gaya hidup modern membuat produsen berlomba-lomba untuk memproduksi sejumlah makanan kemasan yang dianggap bisa mengefisienkan waktu yang dimiliki masyarakat hari ini. Menjadi masalah yang pelik ketika limbah sampah tersebut tidak diolah dengan baik dan bahkan dibiarkan saja menumpuk di setiap sudut kota, menggunung di emperan pertokoan hingga dibiarkan hanyut di sejumlah sungai Cikapundung atau Citarum.
Dilansir dari detik.com bahwa sampah yang dihasilkan 1500 ton perhari hanya mampu dikelola sebanyak 160 ton saja. Tentu fakta yang sangat menggemparkan dengan perbandingan yang sangat kecil antara sampah yang dibiarkan dengan sampah yang dikelola.
Saat pencalonannya sebagai kepala daerah pada tahun 2024 Farhan-Erwin bertekad untuk mengoptimalkan penangan sampah yang sudah menjadi masalah krusial di Kota Bandung. Dilansir dari laman Bandung Utama Farhan-Erwin memberi janji akan menjadikan program prioritas selama tiga bulan kepemimpinannya.
Pemerintah harus serius dalam mengatasi permasalahan sampah ini. Saya menjadikan penanganan sampah ini sebagai program prioritas dalam tiga bulan pertama kepemimpinan kami (bersama calon walikota, Erwin) pada tanggal )14/10/2024.
Faktanya dengan anggaran yang mencapai 300 Miliyar belum mengubah apapun terhadap masalah yang kompleks ini. Sampah memang permasalahan bersama yang harus dituntaskan secara kolaborasi antara pemimpin dengan masyarakatnya. Namun masyarakatnya pun perlu arahan yang jelas dan sistem yang terus diupayakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Sosialisasi tidak cukup diberikan dalam satu atau dua bulan tapi harus secara konsisten setiap hari untuk merubah pola hidup dan kesadaran masyarakat. Dan hal ini belum terjadi di era kepemimpinan Bandung hari ini.
Alih Fungsi Lahan yang Menyebabkan Banjir

Sebagai warga yang tinggal di sekitar Bandung Selatan saya sering melihat banyak alih fungsi lahan yang rasanya dibiarkan begitu saja. Para pemangku kebijakan memberikan izin operasional pembangunan secara masif tanpa memperhitungkan dampak yang akan terjadi di kemudian hari. Hamparan sawah mulai berubah menjadi sejumlah perumahan.
Sebetulnya bukan hal baru jika Bandung Selatan selalu menghadapi banjir musiman. Seperti sudah bisa diprediksi banjir tahunan akan terjadi di penghujung Desember saat curah hujan meningkat. Namun di awal bulan Desember masyarakat di sekitar saya tinggal cukup mengalami kejutan yang tidak mengenakan. Saat itu di tanggal 4 Desember 2025 terdapat hujan dari siang menjelang sore tapi bukan dengan curah yang besar.
Mendadak di jam 4 sore keluarlah ular besar dari selokan--seolah ular itu sudah mengetahui bahwa banjir besar akan datang. Tak lama setelah ular tersebut diamankan warga, air dari selokan dan kawasan Citarum mulai meluap ke jalanan. Tidak ada satu warga pun yang bersiap untuk mengemasi barang-barang. Justru sebagian diantaranya masih sibuk membicarakan ular. Siapa sangka air terus naik hingga masuk ke rumah-rumah yang memiliki kontruksi pendek. Beberapa toko sedikit tenggelam oleh air bahkan beberapa rumah yang berlokasi di pinggir Citarum sudah menghanyutkan beberapa perkakas yang dimiliki warga.
Setelah berita banjir tersebut pada tanggal 6 Desember 2025, KDM mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan sementara pengeluaran izin pembangunan rumah di Bandung Raya.
Setelahnya Farhan selaku Wali Kota baru menanggapi kebijakan KDM tersebut dengan mengatakan pentingnya langkah tersebut sebagai mitigasi bencana sekaligus memastikan bahwa pembangunan berjalan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Menurut saya ada baiknya seluruh jajaran pemerintah kota/kab Bandung melakukan upaya ini jauh sebelum banjir atau bencana baru melanda masyarakat. Sepertinya "Sedia payung sebelum hujan" memang tidak benar-benar terealisasi dalam menanggulangi permasalahan yang ada di Kota Bandung.
Kemacetan yang Semakin tidak Terkendali

Setelah sejumlah titik terdampak banjir tentu Rancamanyar menjadi akses bagi sebagian masyarakat Bandung selatan untuk melakukan mobilisasi. Jika tidak terjadi banjir kawasan Rancamanyar selalu menjadi zona merah kemacetan maka ketika banjir kemacetan akan naik berkali-kali lipat dan rawan stagnan dan tidak terurai secara cepat.
Perjalanan Rancamanyar--Kota Bandung yang biasanya bisa diakses dengan 30 menit hingga 60 menit berubah menjadi 4 jam. Setelah sejumlah titik banjir yang menghambat laju kendaraan. Jumlah motor yang menggila pun kian memperparah kemacetan.
Tidak ada aparat yang bertugas untuk mengurai kemacetan. Hanya ada warga sekitar yang mencoba memimpin laju jalanan dengan teknik seadanya. Ada beberapa masyarakat yang bisa diatur tapi ada pula yang tetap dengan keegoisan dirinya. Tak jarang sering menimbulkan keributan dan perdebatan. Yang justru membuat suasana di jalanan makin kacau setelahnya.
Dari ketiga masalah krusial di atas tidak ada yang benar-benar mengalami perubahan. Semua visi dan misi yang tertuang dengan baik bagi saya sejauh ini belum terasa dampaknya bagi keadaan Kota maupun Kabupaten Bandung.
Saya rasa Bandung telah kehilangan kepemimpinan yang progresif. Bukan sekedar pemimpin yang hanya memprioritaskan jabatan bahkan dengan tega memperjualbelikan jabatan. Namun pemimpin yang selalu berupaya untuk mendorong perubahan positif baik bagi warga dan lingkungannya.
Bandung telah kehilangan arah kepemimpinan yang inovatif yang secara terus-menerus mencari cara baru untuk menyelesaikan masalah kotanya. Pemimpin yang inovatif bukan sekedar memacu masyarakatnya untuk berbuat tapi harus serta merta melibatkan dirinya untuk bersama-sama membuat Bandung menjadi lebih baik lagi.
Saya rasa Bandung lagi dan lagi kehilangan pemimpin yang Bertanggungjawab serta berintegritas. Kembali lagi warga Bandung dikhianati oleh kasus korupsi para pemimpinnya. Setelah sebelumnya Dada Rosada dan Yana Mulyana terjerat kasus korupsi, kini Erwin pun yang sedang menjabat sudah ditetapkan menjadi tersangka.
Seluruh permasalahan kota Bandung yang saya sajikan tentu tidak akan berjalan dengan baik jika hanya mengandalkan pemerintahan. Butuh kerja sama yang solid antara pemimpin dengan rakyatnya.
Namun menurut saya pemimpin yang progresif menjadi kunci terciptanya kerjasama antara dua belah pihak.
Baca Juga: Tren Olahraga Padel Memicu Pembangunan Cepat Tanpa Menperhitungkan Aspek Keselamatan Jangka Panjang?
Sampah, banjir dan kemacetan bisa diatasi bersama ketika para pemimpin sanggup membuat sistem yang tegas dan transparan. Tidak sekedar mengimbau masyarakat untuk memilah sampah tapi ikut serta dalam memonitoring bahwa sampah tersebut bisa diolah dengan baik bahkan bisa menciptakan nilai jual.
Banjir pun demikian bagaimana pemerintah bisa mengurangi izin alih lahan sawah menjadi perumahan. Tapi masyarakat pun harus sadar dan mengurangi kepemilikan lebih dari satu properti agar pemerataan rumah bisa adil untuk masyarakat lainnya.
Kemacetan pun seharusnya bisa diatasi oleh Pemda untuk mengeluarkan peraturan daerah demi mengurangi jumlah motor yang ada. Tapi masyarakat pun harus berkontribusi dengan mengurangi pembelian kendaraan pribadi. Sejalan dengan itu pemerintah pun harus siap menyediakan transportasi umum yang layak bagi masyarakat dan bisa terhubung ke berbagai daerah terpencil. (*)
