AYOBANDUNG.ID - Setiap kali kendaraan meluncur di atas Jembatan Layang Pasupati, suara mesin dan desing angin di lembah Cikapundung seolah menutupi sejarah panjang yang membentang lebih dari satu abad. Di bawah bentangan beton sepanjang 2,8 kilometer itu, tersimpan jejak para perencana, krisis politik, dan impian kota modern yang berkali-kali tertunda sebelum akhirnya menjadi nyata.
Sejarahnya bermula jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1920-an, Bandung masih menjadi kota resort bagi kaum elite Hindia Belanda. Mereka menyebutnya Paris van Java, sebuah kota pegunungan dengan taman-taman rapi dan udara sejuk, tempat pejabat kolonial beristirahat dari hiruk-pikuk Batavia. Namun, di balik keindahan itu, masalah klasik kota mulai terasa: kemacetan di kawasan lembah Cikapundung yang memisahkan wilayah barat dan timur kota.
Thomas Karsten, seorang arsitek dan perencana kota Belanda yang idealis, melihat celah itu sebagai tantangan. Dalam rancangan besar Autostrada, proyek ambisius untuk membangun jaringan jalan modern di Bandung, ia menyisipkan ide membangun jalan layang yang menghubungkan Pasteurweg (sekarang Jalan Pasteur) di barat dengan Dagoweg atau jalan Dago di timur. Rancangan itu bukan sekadar proyek transportasi, melainkan bagian dari visi kota taman yang terintegrasi dengan lanskap alam.
Karsten membayangkan sebuah jalan yang melayang di atas lembah, menghindari jalur padat di bawah seperti Pasir Kaliki, Cipaganti, dan Cihampelas. Namun, teknologi beton bertulang dan dana pembangunan di masa itu belum memungkinkan proyek semegah itu diwujudkan. Pemerintah kolonial pun lebih sibuk menggelontorkan anggaran ke Batavia, pusat administrasi Hindia Belanda.
Baca Juga: Sejarah Panjang ITB, Kampus Insinyur Impian Kolonial di Tanah Tropis
Beberapa sumber mencatat rancangan Karsten sempat disebut sebagai “Paspati”, sebuah nama yang kemudian dihindari karena berkonotasi “pas mati” dalam bahasa Sunda. Maka, lahirlah nama “Pasupati,” akronim dari Pasteur-Surapati, yang kelak lebih berterima dan menggambarkan fungsi utamanya: penghubung dua arteri kota Bandung.
Tapi setelah itu, rencana itu mengendap di laci sejarah selama puluhan tahun. Krisis ekonomi 1930-an dan Perang Dunia II menenggelamkan banyak proyek kolonial ambisius. Dan ketika Republik Indonesia berdiri pada 1945, mimpi itu masih sebatas sketsa tua di arsip perencana kota.
Baru Terealisasi Setelah Reformasi
Lompatan besar baru terjadi hampir delapan dekade kemudian. Pada awal 1990-an, Bandung kian padat. Jalan Pasteur, sebagai pintu utama dari arah Jakarta, macet saban akhir pekan. Lalu lintas di lembah Cikapundung menjadi mimpi buruk: kendaraan dari arah barat ke timur tersendat, sementara pembangunan kota terus bergerak. Para insinyur mulai menggali kembali arsip-arsip tua, dan nama “Pasupati” muncul lagi.
Tapi, ide besar butuh dana besar. Pemerintah Indonesia akhirnya menggandeng Kuwait Fund for Arab Economic Development (KFAED) untuk membiayai proyek senilai Rp 437 miliar. Sebuah langkah yang, di atas kertas, tampak menjanjikan. Meskipun di lapangan penuh drama.
Krisis moneter Asia 1998 menghantam keras. Ketika nilai rupiah terjun bebas dan Soeharto lengser, proyek yang baru disetujui itu langsung kena imbas: pinjaman dihentikan sementara. Dana mengering, alat berat berhenti bekerja, dan para pekerja pulang. Loan suspension dari Kuwait berlangsung dua kali, membuat proyek ini seperti mayat hidup: ada di daftar pembangunan nasional, tapi tak bergerak sedikit pun.
Baca Juga: Sejarah Stadion Sidolig, Saksi Bisu Perjuangan Sepak Bola Bandung

Butuh diplomasi panjang antara Jakarta dan Kuwait City untuk menghidupkan kembali proyek itu. Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dengan lobi lintas kementerian dan dukungan politik tingkat tinggi, KFAED akhirnya menyetujui renegosiasi. Pada 19 Juli 2003, proyek Pasupati resmi dilanjutkan.
Pembangunan dimulai serius pada Oktober 2001 dan berlangsung hingga 2005, dengan PT Wijaya Karya dan PT Waskita Karya menggandeng kontraktor Kuwait, Combined Group Co. Tapi sekali lagi, tak semua berjalan mulus. Lahan di Tamansari, daerah padat penduduk di bawah trase jembatan, menjadi medan perlawanan. Puluhan keluarga menolak direlokasi, menuntut ganti rugi yang lebih layak. Pemerintah Kota Bandung harus turun tangan, menengahi sengketa yang berlarut-larut.
Di tengah semua itu, ada pula tantangan teknis. Lembah Cikapundung bukan tempat ramah bagi konstruksi berat. Curam, berangin, dan rawan gempa. Untuk itu, para insinyur memutuskan memakai teknologi cable stayed bridge atau jembatan gantung tanpa tiang tengah sepanjang 161 meter, menopang bentang utama dengan 19 kabel baja raksasa.
Baca Juga: Sejarah Tol Cipularang, Jalan Cepat Pertama ke Bandung yang Dibangun dari Warisan Krisis
Selain itu, ada pula inovasi anti-gempa: 76 unit Lock Up Device (LUD) buatan Prancis dipasang di bawah jembatan untuk menyerap getaran bumi. Ini adalah teknologi pertama di Indonesia yang diterapkan pada proyek publik besar. Setiap segmen beton precast seberat 80 hingga 140 ton diangkat perlahan, seperti potongan puzzle yang membentuk tubuh raksasa di atas lembah.
Pada awalnya, pemerintah menargetkan Pasupati rampung sebelum Konferensi Asia Afrika pada April 2005 unuk memamrkan simbol anyar Bandung baru di mata dunia. Tapi jadwal itu meleset. Uji coba baru dilakukan pada 26 Juni 2005, dan peresmian resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono digelar pada 12 Juli 2005.
Bukan hal yang mengejutkan bagi warga Bandung, yang sudah terbiasa dengan proyek besar yang molor. Tapi begitu jembatan itu dibuka, hasilnya langsung terasa: lalu lintas Pasteur–Surapati yang dulunya padat kini mengalir lancar. Warga menyambutnya dengan euforia. Malam hari, lampu-lampu di kabel jembatan menjadikan Pasupati seperti gelang cahaya raksasa yang melintang di langit kota.
Pemerintah Kota Bandung kemudian memanfaatkan ruang di bawah jembatan menjadi taman kota. Taman Pasupati—atau yang dikenal warga sebagai Taman Jomblo—menjadi simbol baru kota muda yang kreatif. Beton, yang biasanya dingin dan kaku, diubah menjadi ruang sosial yang hidup.
Waktu berjalan cepat. Pada 1 Maret 2022, di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil, jembatan itu resmi berganti nama menjadi Jembatan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Nama baru itu adalah penghormatan untuk sosok besar asal Bandung, ahli hukum laut internasional yang memperjuangkan konsep Wawasan Nusantara di forum dunia.
Ridwan Kamil beralasan, perubahan nama ini bukan sekadar simbolik. Mochtar adalah figur yang “menyatukan” wilayah laut Indonesia, sebagaimana jembatan ini menghubungkan dua bagian kota yang lama terpisah. “Dua-duanya menghubungkan—satu daratan, satu lautan,” ujarnya dalam peresmian kala itu.
Tapi di benak warga, nama “Pasupati” tetap melekat. Mereka masih menyebutnya begitu, baik di peta digital maupun obrolan sehari-hari. Nama itu sudah menjadi bagian dari identitas Bandung layaknya Dago, Braga, dan Cihampelas.
Kini, dua puluh tahun sejak diresmikan, Jembatan Pasupati telah menjadi saksi perubahan wajah Bandung. Dari kota yang dulu sejuk dan tenang, kini penuh dengan lampu-lampu kendaraan dan gedung tinggi yang memantulkan cahaya malam.
Baca Juga: Sejarah Pindad, Pindah ke Bandung Gegara Perang Dunia
Di bawahnya, lalu lintas tak pernah berhenti. Di atasnya, angin selalu berhembus kencang, membawa kenangan panjang tentang impian yang sempat tertunda hampir satu abad—tentang kota yang selalu ingin bergerak maju, meski langkahnya sering terseok oleh politik, krisis, dan waktu.
Flyover Pasupati, atau apapun orang menyebutnya hari ini, tetap berdiri sebagai monumen dari daya tahan ide dan waktu. Sebuah jembatan yang bukan hanya menghubungkan dua ruas jalan, tapi juga dua era: Bandung yang dulu, dan Bandung yang sekarang.
