AYOBANDUNG.ID -- Keberlanjutan bukan lagi sekadar jargon industri kreatif. Di tangan generasi milenial dan Gen Z, konsep ini menjelma menjadi gaya hidup yang menuntut transparansi, nilai, dan tanggung jawab sosial. Produk upcycle, yang mengolah limbah menjadi barang bernilai, kini menjadi simbol perubahan yang digerakkan oleh kesadaran kolektif.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), generasi milenial dan Gen Z mencakup lebih dari separuh populasi Indonesia. Mereka tumbuh di era digital, terbiasa dengan informasi cepat, dan memiliki preferensi kuat terhadap produk yang memiliki “story behind the product”. Inilah yang menjadikan produk berkelanjutan semakin relevan dan diminati.
Namun, tantangan besar masih membayangi. Limbah tekstil, misalnya, menjadi salah satu penyumbang signifikan dalam timbulan sampah nasional.
Berdasarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK, limbah tekstil dari sektor industri dan rumah tangga belum tertangani secara optimal, meski volumenya terus meningkat setiap tahun.
“Isu upcycle dan sustainable itu penting banget, karena kan kalau dilihat kain itu untuk melebur dan hancur itu perlu waktu lama,” ujar Ondang Dahlia, pendiri Mamata Craft saat berbincang dengan Ayobandung.
Ia menyebut bahwa kain sisa konveksi dan garmen, atau yang disebut “majun”, bisa bertahan puluhan tahun di lingkungan tanpa terurai. Melihat kenyataan tersebut, Ondang memilih jalur kreatif dengan mengolah limbah tekstil menjadi tas dan aksesori yang tidak hanya fungsional, tetapi juga estetis.
“Sebenarnya masa depan recycle itu adalah tema yang hot saat ini. Selain kita bertanggung jawab terhadap bumi, aku sih pengennya, kalau misalnya bisa, mari kita tingkatkan produk kita tuh jangan sampai orang melihat bahwa produk itu adalah barang recycle,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya kualitas dalam produk daur ulang. Standar tinggi ini menjadi fondasi agar produk upcycle bisa bersaing di pasar yang semakin selektif.
“Kita tuh harus membuat produk kita itu selain value kita dari recycle, kita tuh harus punya standar tinggi, bagaimana produk kita tuh tetap bagus,” lanjut Ondang.
Saat ini, Mamata Craft masih dalam tahap riset dan pengembangan untuk memastikan seluruh komponen tas berasal dari bahan daur ulang. Ia berupaya mencari alternatif yang tetap kuat namun ramah lingkungan.
“Selama ini kan gantungan tasnya itu masih kita beli dari besi,” katanya.
Proses produksi masih dilakukan sendiri, namun Ondang mulai melatih beberapa rekan agar bisa mengikuti SOP ketat yang ia tetapkan. Ia ingin agar kualitas menjadi identitas utama produknya.
“Balik lagi ini standar yang aku tetapkan harus tinggi, supaya orang tuh tidak akan tahu kalau ini recycle,” ujarnya.
Kolaborasi menjadi strategi penting dalam memperluas dampak. Pendekatan ini mencerminkan semangat kolektif yang tumbuh di kalangan pelaku usaha kreatif.
“Maka saya akan bekerja sama dengan UKM lain untuk menjahit. Jadi memang aku ingin bisnis ini pengen kita bareng-bareng. Kalau misalnya saya maju, tapi juga bisa maju berdampak,” kata Ondang.
Tak hanya soal bisnis, Ondang juga mendorong pemberdayaan sosial. Ia mengajarkan keterampilan merajut kepada ibu rumah tangga agar mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan.
“Minimal dapat membantu income di rumah tangga. Ada beberapa orang yang memang nge-reach out aku buat ikut belajar,” ungkapnya.
Generasi muda menjadi motor penggerak perubahan. Namun, ia juga menyadari bahwa generasi yang lebih tua belum tentu memahami pentingnya pengolahan limbah dan nilai produk berkelanjutan.
“Sebenernya kalau masalah isu limbah, apalagi anak muda sekarang kan memang katanya mencari story behind the product,” kata Ondang.
Pengalaman Ondang saat mengikuti pameran menunjukkan bahwa apresiasi terhadap produk upcycle lebih besar datang dari luar negeri. Ia menilai bahwa konsumen luar negeri lebih memahami nilai dari produk handmade dan berkelanjutan.
“Mereka kayak tahu produk gitu itu perlu waktu, perlu skill, perlu tenaga. Yang kedua tas ini adalah produk dari upcycle dan mereka orang luar itu lebih mengerti pada produk yang bervalue dan sustainable,” tambahnya.
Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan edukasi pasar lokal. Pemerintah Indonesia telah merespons isu ini melalui regulasi seperti Peraturan Menteri LHK No. 12 Tahun 2025 tentang baku mutu air limbah industri tekstil.
Regulasi ini menjadi langkah awal dalam mendorong industri yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Namun, regulasi saja tidak cukup. Diperlukan partisipasi aktif dari pelaku industri kreatif, komunitas, dan konsumen untuk menciptakan ekosistem yang mendukung produk berkelanjutan.
Edukasi, akses, dan kualitas menjadi tiga pilar utama dalam membangun kesadaran kolektif. Produk upcycle seperti Mamata Craft bisa menjadi contoh bahwa limbah bisa menjadi sumber daya.
Dengan pendekatan yang menggabungkan estetika, fungsi, dan nilai sosial, produk daur ulang bisa menjadi pilihan utama generasi muda yang ingin berkontribusi terhadap perubahan.
Semangat milenial dan Gen Z terhadap sustainability adalah peluang besar. Di tangan kreatif seperti Ondang Dahlia, produk upcycle bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga simbol gaya hidup baru yang lebih sadar, inklusif, dan berdampak.
“Kalau anak muda sekarang bisa melihat limbah bukan sebagai sampah, tapi sebagai peluang, itu udah separuh jalan menuju perubahan. Sisanya tinggal kita bareng-bareng jaga kualitas, jaga cerita, dan jaga semangatnya biar produk berkelanjutan bukan cuma wacana, tapi jadi kebiasaan,” pungkasnya.
Alternatif pembelian produk upcycle dan sustainable:
